Senin, 13 Oktober 2014

Kotbah Minggu Biasa ke 27 - A

KEBUN ANGGUR ITU AKAN DISEWAKAN
KEPADA PENGGARAP-PENGGARAP YANG LAIN

Bacaan 1, Yesaya 5,1-7; Mazmur Tggp, 80; Bacaan 2: Filipi 4,6-9; Bacaan Injil: Matius, 21,33-43


INTRODUKSI
Ada sepasang keluarga muda yang baru menikah. Mereka terpaksa harus berpisah karena sang suami harus ikut wajib militer di negeri yang jauh, entah untuk berapa lama. Karena perang itu bisa berlarut-larut, maka sebelum berpisah sang suami berpesan kepada isterinya, “Aku sangat mencintaimu. Namun, aku tidak sampai hati menyiksamu sendirian dalam kesendirian dan kesepian. Sekiranya ada pria lain mencintaimu dan kamu mencintainya, aku ikhlaskan kalian untuk menikah.”
Berangkatlah sang suami ke medan perang. Tahun demi tahun berlalu. Ia tidak pernah sekalipun mengirim surat kepada isterinya. Akhirnya, perang selesai dan ia boleh pulang. Lalu ia menulis surat kepada isterinya, “Kalau kamu tidak menikah lagi dengan pria lain dan setia menunggu kedatanganku, tolong memberi tanda dengan mengikatkan seutas sapu tangan kuning pada sebuah cabang pohon oak yang tumbuh di depan rumah kita. Tapi kalau kamu sudah menikah dengan pria lain, kamu tidak perlu memberi tanda apa-apa. Aku akan berbalik dan meninggalkan rumah kalian.”
Pada suatu senja hari sampailah ia di depan rumah mereka. Ia hampir tak sanggup menatap ke ranting-ranting pohon oak itu. Dengan segala kekuatannya dia memandang lurus-lurus ke pohon oak itu. Ia hampir tak percaya. Ia bukan hanya melihat seutas sapu tangan kuning, melainkan puluhan sapu tangan kuning yang melambai-lambai kepadanya. Ia segera masuk ke rumah dan menjumpai isterinya yang setia selamanya.
Kesetiaan adalah kunci keutuhan keluarga. “Aku akan setia kepadamu dalam untung dan malang, saat sehat maupun sakit,” itulah janji pernikahan suami isteri yang harus selalu diperjuangkan. Keluarga yang utuh ditentukan oleh kualitas cinta kasih suami isteri.

URAIAN KITAB SUCI
Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengajak kita untuk merenungkan dua hal pokok dalam hidup keberimanan kita. Kedua hal itu ialah kesetiaan dan tahu diri.
Bacaan Injil hari ini sangat menarik karena mengisahkan tentang seseorang yang memiliki kebun anggur. Dia membuka kebun anggur, kemudian menanam anggur dan kemudia dia pergi ke luar negeri. Namun sebelum dia berangkat, dia menyewakan kebun anggur itu kepada penggarap-penggarap; yang tentu pada suatu ketika kalau dia kembali dari luar negeri, dia akan mengadakan perhitungan-perhitungan dengan mereka mengenai keuntungan yang didapat.
Menurut bacaan pertama, pemilik kebun anggur ialah Tuhan sendiri, kebun anggur adalah bangsa Israel sedangkan penggarap-penggarap ialah para pemimpin politik dan spiritual bangsa Israel. Jadi bangsa / masyarakat / rakyat Israel diibaratkan sebagai kebun anggur. Keberadaan dan hidup mereka diserahkan Tuhan atau “disewakan” kepada para pemimpin politik dan spiritual (ahli Taurat dan Orang Farisi) untuk menjaganya dan merawatnya serta mengembangkannya untuk dapat bertumbuh dengan baik sebagai masyarakat atau bangsa pilihan Tuhan.
Teteapi dalam kenyataannya, para pemimpin orang Israel ini tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Mereka malah membenci utusan-utusan Tuhan dalam diri para Nabi, dan bahkan Putera-Nya sendiri dan bahkan membunuh mereka semua. Para pemimpin bangsa Israel menjadi tidak setia, tidak mau bertanggung jawab atas pemeliharaan hidup bangsa Israel. Mereka bahkan berusaha memeras umat dengan pajak yang tinggi, menuntut persembahan di atas altar, serta aturan-aturan lain yang menguntungkan pribadi mereka.
Tindakan-tindakan seperti inilah yang tidak disukai Tuhan, yang akhirnya menyebabkan Tuhan mengambil kembali kebun anggur-Nya dan dikelola atau dirawat oleh penggarap-penggarap yang lainnya.

APLIKASI - PRAKTIS
Nabi Yesaya dalam bacaan pertama dan Matius melalui bacaan Injil pada hari minggu ini, mengajak kita untuk merenungkan beberapa hal untuk dihidupi selama minggu ini:
  1. Yesus mengajak kita untuk menerima tugas dengan setia. Para penggarap kebun anggur menjadi contoh orang-orang yang tidak setia (Mat 21:33-43). Mereka menyalahgunakan kepercayaan. Hati mereka jahat dan dipenuhi nafsu membinasakan sesama. Bapak-ibu (suami isteri) serta anak-anak mendapat kepercayaan dari Tuhan untuk membangun rumah tangga yang bahagia. Sebagai anggota religius, diajak untuk setia memelihara komunitas religius atau biara agar semua memiliki kebahagiaan bersama.
  2. Yang kedua, adalah bahwa jika kita semua telah dengan setia membangun rumah tangga atau komunitas dan juga dengan setia menjaga dan merawat orang-orang yang dipercayaan kepada kita (yang diibaratkan dengan kebun anggur), maka kita telah berusaha bertanggung jawab dengan itu. Semua orang yang tinggal bersama kita, entah siapapun itu: suami, istri, anak-anak, teman sekomunitas biara, mereka adalah titipan Allah yang harus dijaga dengan baik dan secara bertanggung jawab. Sudahkah kita bertanggung jawab memelihara dan menjadi orang-orang yang hidup bersama kita?
  3. Sikap ketiga ialah tahu diri. Para penggarap dalam bacaan pertama dan kedua, telah menunjukkan pribadi sebagai orang yang tidak tahu diri. Kepada mereka sudah dipercayakan kebun anggur, tetapi akhirnya mereka ingin merampasnya dari Tuhan, dan mereka membuat para utusan Tuhan susah, menderita, dan bahkan anak pemilik kebun anggur juga ditangkap dan dibunuh. Ini tindakan keji dan sangat tidak baik. Kepada kita diajak untuk juga tahu diri. Berhadapan dengan titipan Tuhan (mereka yang hidup bersama kita), kita hanya bisa merawat, memelihara dan membuat dia atau mereka berkembang. Tetapi kita tidak dibenarkan memeras mereka, mengambil untung sebesar-besarnya dari mereka, melalui tindakan mencuri, korupsi, mengambil laba yang besar sekali, dan akhirnya membuat orang lain tercekik lehernya dan sulit membuat wajahnya tersenyum karena beratnya beban yang ditanggungnya.
Kita menyerahkan seluruh niat baik kita kepada Tuhan, sembari berharap agar Tuhanlah yang dapat menolong kita untuk hidup dengan layak, setia, bertanggung jawab dan tahu diri dalam berelasi dengan Tuhan setiap hari dalam hidup kita. Amin

Telukdalam, 05 Oktober 2014

Kotbah Minggu Biasa ke 28 - A

KESELAMATAN:
ANTARA TANGGAPAN DAN KEPANTASAN  MANUSIA

Bacaan 1, Yesaya 25,6-10a; Mazmur Tggp: 23; Bacaan 2: Filipi 4,12-14;19-20; Bacaan Injil: Matius, 22,1-14


INTRODUKSI
Saudara/i...,
Kegiatan menghadiri pesta nikah bukan hal baru dalam masyarakat kita. Kit akan merasa senang jika kita menerima undangan, baik lisan maupun secara tertulis. Kita akan merasa dihormati sekali, apalagi kalau ketika kita sampai di tempat pesta, orang yang mengundang itu datang dan mengajak kita untuk duduk dan mengikuti acara-acara selanjutnya.
Bahkan kita akan merasa bersalah apabila kita tidak bisa hadir dalam pesta nikahnya. Mungkin kita harus mencari banyak alasan untuk dikatakan kepada yang bersangkutan, ketika kita bertemu, sebelum pertanyaan ke luar dari mulutnya: “Mengapa kamu tidak dapat waktu pestaku?”

URAIAN KITAB SUCI
Saudara/i...,
Dalam Injil hari ini difirmankan, “Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya.” Ungkapan ini kiranya mengantar kita kepada pemahaman bahwa menghadiri “perjamuan nikah” bukan hanya sekadar hadir dalam resepsi duniawi, melainkan mengikuti upacara suci. Mengapa diistilahkan dengan upacara suci? Karena “perjamuan nikah” tidak hanya diartikan sebagai kesatuan keakraban antara pengantin pria dan wanita, melainkan suatu kesatuan keakraban antara Allah sendiri dan manusia ciptaan-Nya, antara Kristus dan Gereja-Nya. Kebenaran kebenaran keakraban antara dua orang, pria dan wanita, seperti yang banyak dikisahkan dalam Kitab Suci Kidung Agung, seperti kisah di mana kedua mempelai saling memuji keelokan masing-masing (Kid 1:9; 2:7), saling mengungkapkan rasa rindu (Kid 3:1-5; 5:2-8), dan saling mengungkapkan nikmatnya saat berduaan (Kid 7:6-8:4), mengungkapkan kedekatan antara Allah dan manusia. Allah mengungkapkan kerinduan-Nya kepada manusia, ingin berduaan dengan manusia, dan mengadakan perjamuan juga dengan manusia.

Saudara/i terkasih...,
Di dalam kidung-kidung itu, kasih antara kedua mempelai tampil sebagai tempat kehadiran yang ilahi. Kehadiran-Nya nyata dalam hal yang paling bisa dirasakan. Oleh karena itu, bagi orang Yahudi, ikut serta dalam perjamuan nikah berarti mendekatkan orang pada kemanusiaan dan keilahian sekaligus. Sebaliknya, penolakan terhadap undangan ikut serta dalam perjamuan nikah bukan hanya sekadar tidak ikut pesta duniawi, sebagaimana yang kita pahami dalam masyarakat.
Perumpamaan hari ini sungguh luar biasa. Sang Raja sungguh rendah hati dan sabar. Perjamuan nikah sudah siap. Akan tetapi, para undangan tidak mau datang. Mereka bukan hanya menolak undangan, melainkan membunuh pengantar undangan. Keadaan yang sungguh mengecewakan. Tampaknya justru inilah pesan pokok yang hendak ditunjukkan sang pewarta, yakni Allah yang kecewa, karena kasih-Nya bertepuk sebelah tangan, kasih-Nya tidak mendapatkan tanggapan dari manusia.
Sungguh luar biasa, sang raja tidak patah arang. Melalui para hambanya ia mengundang orang yang berada di persimpangan jalan. Akhirnya, pesta nikah itu dimeriahkan oleh kehadiran orang-orang yang berasal dari persimpangan jalan.
Sang Raja berpikir, bahwa harus ada orang-orang yang hadir, karena hidangan telah disiapkan dan nanti Tuhan akan menghapus setiap air mata dari wajah setiap orang. Tuhan Yahwe tidak ingin umat Israel menangis dan merasa ditinggalkan; namun Tuhan menghidangkan bagi mereka perjamuan. Inilah yang ditekankan pada bacaan pertama dari Nabi Yesaya. Hidangan ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang punya jabatan penting dalam masyarakat, melainkan juga kepada mereka yang berada di persimpangan jalan.
Persimpangan jalan ialah suatu tempat di mana orang berkumpul dengan aneka macam keperluan: istirahat, menunggu kesempatan kerja, menunggu mobil untuk ditumpangi, melewatkan waktu sambil bersantai-santai, berjualan, membeli, dan sebagainya. Orang-orang seperti itulah yang diundang datang ke perjamuan nikah. Tampak di sini bahwa sang raja ingin berbagi kegembiraan. Kegembiraan akan menjadi lengkap jika orang yang diundang ini datang dan ikut merasakan bersama kebahagiaan itu.

APLIKASI - PRAKTIS
Bagian akhir Injil hari ini agak mengejutkan. Mengapa? Karena setelah ruangan pesta penuh, dimeriahkan oleh orang-orang dari persimpangan jalan, tiba-tiba sang raja marah dan menegur orang yang datang tanpa mengenakan pakaian pesta.
Teguran sang raja kiranya bisa dijelaskan sebagai berikut: bahwa dalam cara pikir orang Semit (Yahudi – Timur Tengah), pakaian memberi bentuk kepada orang yang memakainya. Artinya, dengan pakaian yang dikenakan, ia dapat dikenali. Dengan berpakaian pesta, ia memang mau menghadiri pesta itu, dan bukan untuk rapat RT atau urusan lain. Oleh karena itu, dengan tidak mengenakan pakaian pesta, berarti ia tidak sungguh-sungguh ingin datang mengikuti pesta.

Saudara/i terkasih...,
Ada beberapa hal yang hendak disampaikan kepada kita pesan Sabda Tuhan hari Minggu Biasa ke 28 ini:
Pertama, Kerajaan Surga bukanlah tempat yang sudah jadi, seperti sebuah rumah yang siap untuk diberkati dan ditempati. Sebaliknya, Kerajaan Surga itu seperti bakal rumah yang siap untuk kita bangun. Bahan-bahan sudah ada, seperti kesempatan berbuat baik, rajin berdoa, melakukan sedekah, mengutamakan kejujuran, dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk tingkah laku inilah yang seharusnya kita bangun, karena hasilnya ialah Kerajaan Allah kita. Karena itu kita diajak untuk membangun nilai-nilai ini. Kita tidak hanya mendengar ajakan atau undangan, tetapi kita kita harus mengikuti dan menghadiri undangan itu dengan meninggalkan sikap santai kita di persimpangan jalan hidup kita, meninggalkan perasaan malas-malasan di rumah, dengan pergi ke perkumpulan doa atau ekaristi di Gereja, dll. Inilah wujud bahwa kita ingin ikut ke pesta perjamuan itu. Injil hari ini menunjukkan kepada kita tentang Allah yang kecewa, bertepuk sebelah tangan, kasih-Nya membentur dinding. Dia berusaha menyelamatkan, namun manusia menolaknya. Apakah kita juga akan menambah jumlah orang yang mengecewakan Allah?
Kedua, ialah ajakan untuk merindukan kebahagiakan kekal, dengan meningkatkan kepantasan hidup kita – pakaian pesta (hidup di surga bersama Allah Bapa, dan Putera dan Roh Kudus). Namun anehnya, justru kita sering menolak undangan Tuhan agar kita bisa menikmati kebahagiaan Surga itu. Bentuk-bentuk penolakan itu misalnya 1) tidak bertekun mengikuti Perayaan Ekaristi; 2) malas berdoa pribadi atau bersama secara rutin; 3) tidak tertarik masuk ke dalam kegiatan rohani / kategorial misalnya doa legio maria / OFS atau kegiatan gerejani lainya, tidak ingin hadir dalam pendalaman APP atau pendalaman Kitab Suci karena sibuk (tapi kalau diajak teman untuk memancing, pasti punya banyak waktu). Kita malah sibuk dengan urusan duniawi yang menurut kita lebih penting daripada urusan rohani yang menyelamatkan. Jadi kita diajak untuk memiliki kerinduan akan Kerajaan Allah itu melalui aktif menghadiri kegiatan-kegiatan rohani, karena dengan itu kita membangun Kerajaan Allah kita. Amin

Telukdalam, 12 Oktober 2014

Kotbah Minggu Biasa ke 26 - A

JANGAN BIARKAN ORANG LAIN 
LEBIH DULU MASUK KERAJAAN ALLAH

Bacaan 1: Yehezkiel 18,25-28; Mazmur Tggp: 25; Bacaan 2: Filipi 2,1-11; Bacaan Injil Matius, 21,28-32

INTRODUKSI

Ada empat tipe perjalanan hidup rohani. Pertama, orang yang sejak lahir hingga matinya sebagai orang yang baik. Kedua, orang yang lahir hingga remajanya jahat, tetapi kemudian setelah dewasa bertobat dan ia pun meninggal sebagai orang yang baik. Ketiga, orang yang sejak lahir dia itu baik, tetapi di akhir hidupnya hingga meninggalnya sebagai orang yang jahat. Keempat, yang tak habis pikir adalah orang yang sudah sejak mula nakal dan jahat, meskipun sudah dinasihati dan sudah keluar masuk penjara pun, bahkan sampai meninggalnya ia tetap sebagai orang jahat. Kita termasuk yang mana?

URAIAN KITAB SUCI
Bacaan-bacaan hari ini mengajak kita melihat tentang sebuah arti perjalanan hidup rohani melalui pertobatan; yaitu bagaimana orang dapat berbalik dari situasi berdosa, dan kemudian berjalan menuju keselamatan pribadinya.
Nah, bagaimana Kitab Suci melihat arti perjalanan rohani ini? Nubuat nabi Yehezkiel dengan sangat jelas mengatakan bahwa “bila si jahat berbalik dari kejahatan yang telah dilakukannya, maka pada saat itu dia telah menyelamatkan hidupnya”. Sementara “bila orang benar berbalik dari kebenarannya, maka ia harus mati karena kesalahan yang dilakukannya”.
Nabi Yehezkiel di sini mempromosikan suatu revolusi dalam ajarannya tentang pahala atau ganjaran. Yehezkiel katakan, “kalau dulu pahala itu diberi kepada seluruh umat, maka sekarang hanya kepada pribadi-pribadi yang benar-benar melakukan hal benar, terutama hal-hal cinta kasih”. Dia akan memiliki masa depan yang cerah, terutama akan berada di dalam Kerajaan Allah. Malah secara keras dikatakan, bahwa Allah akan menghukum dengan sangat keras “mereka yang tetap hidup di dalam kesalahannya”.
Nubuat nabi Yehezkiel dalam bacaan pertama, mendapat penekanan oleh Yesus dalam bacaan Injil Matius,  melalui perumpamaan tentang anak sulung dan anak bungsu.
Kalau kita bandingkan dengan keempat tipe dalam pengantar tadi, maka cerita anak sulung dan anak bungsu ini mencerminkan dua tipe kehidupan: yaitu tipe kedua (orang yang lahir hingga remajanya jahat, tetapi kemudian setelah dewasa bertobat dan ia pun meninggal sebagai orang yang baik) dan tipe ketiga (yaitu orang yang sejak lahir dia itu baik, tetapi di akhir hidupnya hingga meninggalnya sebagai orang yang jahat).
Diceriterakan bahwa seorang anak telah menjawab “ya” namun tidak melaksanakan perintah ayahnya (tipe 3) dan ada seorang anak lainnya yang menjawab “tidak” namun kemudian melaksanakan perintah ayahnya (tipe 2).
Memang akan terlihat sempurna, bila seorang menjawab “ya” dan kemudian melaksanakannya juga apa yang diperintahkan kepadanya. Namun, hal itu sedikit saja orang yang memilikinya. Kebanyakan dari kita adalah manusia yang memerlukan pertobatan, menyadari kesalahannya dan segera mengubah arah. Demikianlah, Allah pun sangat berkenan kepada orang berdosa yang bertobat. Yesus sendiri bahkan disebut sahabat pemungut cukai dan orang berdosa, karena Ia begitu dekat dan mencintai mereka.
Tidak semua perintah Allah mudah untuk dilaksanakan. Misalnya, perintah untuk saling mengasihi. Maka, yang sering terjadi adalah kita melupakannya daripada mengingatnya. Kita tidak mau mengasihi sesama karena takut kehilangan apa yang “baik” menurut kita, yakni harga diri. Hingga kita jatuh pada dosa yang sama dan sama, memandang sesama sebagai musuh dan harus lebih rendah dari kita. Sepertinya kelemahan kita telah dikuasai oleh kejahatan atau kita sendiri yang terlalu fokus pada rasa sakit karena dilukai.

APLIKASI - PRAKTIS
Mungkinkah kita akan menjadi pentobat di saat yang demikian? Mungkin saja, ya sangat mungkin. Akan tetapi, menjadi pentobat dalam situasi itu diperlukan rahmat dari Tuhan sendiri. Kita tetap berusaha, namun hanya rahmat yang membuat kita mengalami pertobatan sejati. Kita berusaha mencari tempat dan situasi untuk bertobat, dan bagi yang ingin membantu orang lain bertobat, berikan dan usahakan tempat dan situasi yang berguna bagi usaha pertobatannya, sambil mendoakannya.
Seorang yang ingin menjadi pentobat sejati perlu usaha keras dalam latihan rohani: berusaha memperbaiki diri setiap saat, memperbanyak kesalehan, dan membaca kitab suci. Salah satu latihan rohani lainnya adalah masuk ke dalam keheningan batin, yaitu meditasi seperti meditasi kristiani atau doa menyerukan nama Yesus. Hal itu dilakukan supaya kita mencapai titik di mana kita sehati, sepikir dan sejiwa dalam satu tujuan.
Beberapa pesan sabda Tuhan untuk kita pada hari Minggu Biasa ke 26 ini:
  1. Panggilan dasar kita ialah menjadi baik (dan kita memang telah baik) sejak kelahiran kita. Dan karena itu, kita dipanggil untuk selalu menjadi baik sampai akhir, di mana kita boleh bertemu muka dengan muka bersama Yesus, dan bersama Allah Tritunggal.
  2. Walaupun kita diciptakan baik, namun kita adalah orang-orang yang memiliki kelemahan dan akan sering kali jatuh ke dalam kesalahan, kekeliruan dan dosa. Karena itu panggilan kita ialah berusaha terus menerus dan sekuat tenaga untuk mempertahankan yang baik itu. Tuhan akan mempertimbangkan usaha dan kerja keras kita untuk bertobat, untuk “menjawab tidak, namun ya dalam dalam pelaksanaannya”.
  3. Tuhan mungkin tidak akan memperhatikan orang-orang yang beranggapan bahwa “ah, sekarang kita berbuat dosa dululah, toh nanti setelah menjelang tua baru kita bertobat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik”. Kita juga harus tahu bahwa Tuhan akan memperhitungkan orang-orang yang melakukan perbuatan baik yang muncul dari hati, tulus dan apa adanya, dan bukan melakukan perbuatan baik dengan motif-motif yang tidak sehat dan tidak terpuji. Amin

Telukdalam, 27 Septemberi 2014

Minggu, 12 Oktober 2014

Kotbah Minggu Biasa ke 25 - A

IRI HATIKAH ENGKAU, 
KARENA AKU MURAH HATI?

Bacaan 1: Yesaya 55,6-9; Mazmur Tggp 144; Bacaan 2: Filipi 1,20c-24.27a; Bacaan Injil: Matius, 21,1-16a

INTRODUKSI

“Cemburu”. Mungkin itulah salah satu aspek negatif yang manusia miliki ketika melihat orang lain mendapatkan sesuatu yang lebih darinya. Suatu kali, seorang kepala tukang mencari beberapa tenaga tukang dan memperkerjakan mereka dalam suatu pembangunan gereja stasi. Setelah seminggu bekerja, para tukangpun menerima upah mereka, masing-masing Rp. 180.000,. untuk 6 hari kerja. Setelah sebulan berlalu, kepala tukang akhirnya berpikir, “saya harus membayar lebih kepada tukang A karena dia lebih sungguh-sungguh bekerja dan sangat bertanggung jawab. Karena itu, ketika hari sabtu berikutnya, sang kepala tukangpun membayar lebih Rp. 10.000,. kepadanya, menjadi Rp. 190.000,. Melihat ini, teman-teman yang lainpun mengamuk dan bertanya kepada kepala tukang: “Mengapa engkau berlaku tidak adil, dan mengapa si A menerima lebih dari kami yang lain? Bukankah sudah kita sepakati bahwa gaji per hari adalah Rp. 30.000.,?

URAIAN KITAB SUCI
Bacaan hari Minggu ini mengisahkan perumpamaan tentang “majikan yang baik”. Majikan yang baik ditunjukkan dalam sikap yang tidak mengutamakan aturan-aturan standar (seperti membayar upah berdasarkan kesepakatan awal) melainkan membayarkan upah secara lebih kepada siapa saja, dengan tetap mengutamakan dahulu standar minimal. Matius penginjil mengatakan bahwa inilah ciri khas keadilan yang ditunjukan oleh majikan yang baik itu.
Sang majikan telah membayar sesuai dengan aturan, yaitu kesepakatan yang telah dibuat di pagi hari kepada kelompok yang masuk pertama, di pagi hari. Jika pada sore hari, sang majikan membayar secara lebih kepada mereka yang baru masuk kerja di sore hari, dan mungkin hanya 30 menit kerja, maka itu bukanlah pelanggaran kesepakatan tetapi itu adalah sikap “memperhatikan dan mengasihi secara lebih”. Cinta kasih dan keadilan majikan tidak dihayati dan dilaksanakan berdasarkan kesepakatan, tetapi dilaksanakan secara lebih berdasarkan belas kasih dan cinta yang ditunjukkannya.
Matius mencatat bahwa inilah sifat Allah, bahwa Dia mencintai dan mengasihi manusia bukan hanya berdasarkan kesepakatan, melainkan atas dasar belas kasihnya yang tidak terhingga, yang secara bebas diberikan kepada semua orang tanpa harus diminta dan disepakati dengan manusia.
Perhatian dan cinta kasih dari Allah diberikan oleh Yesus dalam konteks cerita Injil hari ini ialah ketika “semakin meningkatnya perlawanan kepada Yesus”. Pewartaan Yesus nampaknya telah merusak kenyamanan orang Farisi dan Ahli Taurat, dan ditambah lagi karena mereka tidak menerima pewartaan Yesus. Kedegilan hati mereka inilah yang tidak disukai oleh Yesus, dan karena itu Ia katakan bahwa “iri hatikah kamu kalau Aku murah hati”?
Dalam Injil, Matius memberikan perbedaan pemahaman tentang kemurahan hati: yaitu antara kemurahan hati manusia dan kemurahan hati Allah. Manusia memikirkan bahwa kemurahan hati (dalam tradisi semit), adalah sikap adil yang harus ditunjukkan berdasarkan aturan-aturan yang telah disepakati. Sedangkan pemahaman tentang kemurahan hati dari pihak Allah ialah bahwa “Allah bebas untuk memberikan dan menganugerahkan kepada siapapun, ke manapun dan kapanpun; lepas dari apakah itu disepakati dengan manusia atau tidak”. Di sini nampak bahwa Allah berbuat baik bukan atas dasar aturan hukum, melainkan atas apa yang dianggap perlu untuk manusia.
Di sini juga nampak apa yang ditekankan oleh nabi Yesaya dalam bacaan pertama, bahwa “pikiran Allah adalah berbeda secara mendasar dari pikiran manusia”. Manusia memikirkan belas kasih berdasarkan aturan atau hukum, sedangkan Allah memikirkan berdasarkan ketulusan dalam memberi.
Dengan itu Yesus ingin mengatakan kepada orang Yahudi untuk menjauhkan diri dari sikap sombong dan tinggi hati. Di hadapan Allah, kamu tidak memiliki apa-apa. Yesus justru menuntut untuk percaya kepada-Nya, namun karena mereka lama dan lambat untuk percaya, maka merekalah yang akhirnya menjadi terakhir diselamatkan.
Ini sejalan dengan kata Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi, bahwa jemaat Filipi akan kehilangan keselamatan karena tidak percaya kepada Kristus. Paulus mengatakan bahwa Kristus menjadi yang utama. Karena itu Paulus mengatakan “Bagiku hidup adalah Kristus”. Paulus yakin bahwa dengan menempatkan Kristus yang paling utama dan pertama, ia akan mendapatkan keselamatan. Paulus ingin menempatkan cintanya kepada Kristus sebagai yang paling utama dan pertama, karena ia yakin akan keselamatan yang akan diberikan kepadanya.

APLIKASI - PRAKTIS
Ada beberapa pesan Tuhan untuk kita pada hari minggu biasa ke-25 hari ini:
  1. Kita diajak oleh Gereja dan oleh Tuhan untuk dari hari ke hari menempatkan pikiran Allah dalam pikiran kita. Kita diajak untuk membiarkan Allah, melalui sabda-Nya, untuk menguasai pikiran kita, dan menghindari menempatkan pikiran kita ke dalam pikiran Allah. Kalau kita memaksa menempatkan pikiran kita ke dalam pikiran Allah atau menjadi pikiran Allah, maka kita menguasai Allah, dan kita akhirnya menjadi manusia yang tinggi hati dan sombong karena mau menguasai Allah. Inilah yang disebut dengan dosa asal dan dosa pertama: menguasai Allah melalui pikiran kita.
  2. Dalam kegiatan mengasihi, kita diajak untuk melakukan hal baik secara jujur dan tulus, dari hati, dan bukan karena ada aturan  khusus dalam melakukan perbuatan baik. Banyak orang berbuat baik karena ingin melaksanakan salah satu dari ke-10 perintah Allah., atau karena takut dihukum oleh Allah, atau karena ingin dipuji atau dinilai baik oleh orang lain. Padahal Yesus mengajarkan kita hari ini: “Jika kita ingin bermurah hati, bermurah hatilah secara tulus”, lepas dari apakah kemurahan hati kita akan dibalas atau tidak.
  3. Sifat dasar negatif kita ialah cemburu dan iri hati. Melalui bacaan-bacaan, terutama Injil hari ini, kita diajak untuk mengurangi sikap cemburu dan iri hati jika suatu ketika kita melihat ada seseorang yang berbuat baik. Kita kadang lebih sibuk bertanya dalam hati: “mengapa dia berbuat baik”, ada maksud apa dia berbuat baik, apakah ada udang di balik batu? Hari ini kita diajak untuk berpikir secara positip tentang setiap perbuatan baik yang dikerjakan oleh sesama kita, dan menghindari pikiran-pikiran negatif, yang justru dapat merusak kebersamaan hidup. Amin

Telukdalam, 21 Septemberi 2014

Kotbah Minggu Biasa ke 22 - A

ENYAHLAH IBLIS, 
KARENA ENGKAU BUKAN MEMIKIRKAN 
APA YANG DIPIKIRKAN ALLH!
Bacaan 1: Yeremia 20,7-9; Mazmur Tggp : 62; Bacaan 2 Roma 12,1-2; Bacaan Injil : Matius, 16,21-27

INTRODUKSI

Kisah dua keluarga di kampung yang membangun rumah. Mereka sama-sama merantau, kuliah, bekerja (di Hotel dan juga di salah satu jabatan di birokrasi). Setelah mereka memiliki pekerjaan, mereka menikah, dan juga berusaha membangun rumah. Yang bekerja di birokrasi, membangun secara perlahan namun pasti, walaupun jenis bangunan rumahnya tidak terlalu indah,  namun bagus untuk dihuni. Sedangkan yang bekerja di hotel ini, nampaknya dia begitu cepat selesai dan mungkin hanya dalam tempo 2 bulan, semuanya sudah selesai.
Orang-orang pun mulai bertanya, mengapa diaa begitu cepat membangun rumahnya, padahal dia hanya sekedar pegawai hotel di salah satu kota propinsi. Setelah dicari tahu, rupanya dia sering meminta tambahan dana secara diam-diam kepada tamu hotel, dan membuat juga tamu-tamu hotel tidak suka kepadanya dan menjadi enggan untuk datang menginap di hotel itu. Pengunjungpun makin sedikit, dan setelah diselidiki, diketahui bahwa penyebabnya ialah dia, dan karena itu, pemilik hotelpun memecat dia dari pekerjaannya.
Sedangkan yang bekerja di salah satu kantor pemerintahan, tetap menikmati rumahnya yang sederhana itu dengan perasaan bahagia bersama keluarganya.
  
URAIAN KITAB SUCI
Bapak, ibu... untuk mencapai situasi dan status bahagia sejati, bukanlah hal yang gampang dan mudah. Membutuhkan usaha, kesetiaan dan keseriusan dalam menekuni jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati itu. Dalam tulisan-tulisan biblis, orang sering mengatakan bahwa sering kali bahwa hal-hal yang sulit itulah yang dikategorikan sebagai jalan pikiran Allah, sedangkan jalan pikiran manusia sering mengambil jalan pintas, ingin cepat selesai, ingin yang gampang-gampang dan mendapatkan hasil yang banyak. Tentu beda, antara apa yang dipikirkan Allah dan apa yang dipikirkan manusia. Pada hari Minggu biasa yang ke 22 ini, kita diajak untuk memikirkan yang dipikirkan Allah.
Kisah Petrus dalam Injil dan Yeremia dalam bacaan pertama, memiliki kesamaan. Walau Yeremia diejek, dicemoohkan dan dihina oleh orang Israel, namun dia tetap bersusaha setia melaksanakan rencana Allah, mengajak orang Israel bertobat. Walaupun Petrus sering menjawab pertanyaan yang tidak pas, namun dia tetap menjadi andalan dalam untuk melaksanakan misi dan visi keselamatan yang dibawa oleh Yesus sendiri.
Misi Yesus itu rupanya sering tidak sesuai dengan misi Petrus. Misi Yesus sering bertentangan dengan misi manusia. Dalam Injil, diketengahkan pertentangan ini: misi Yesus dengan misi Petrus (dan para murid). Misi Yesus ialah pergi ke Yerusalem untuk menderita dan mati, sedangkan misi Petrus (dan para murid) ialah menghindari diri, atau bahkan melarikan diri dari rasa sakit dan kematian di Yerusalem.
Karena pertentangan misi inilah, makanya Yesus katakan kepada Petrus, “Enyahlah iblis”! Yesus tahu bahwa untuk sampai kepada keselamatan, jalan satu-satunya ialah melalui salib. Salib di sini dilihat sebagai simbol perjuangan dan simbol usaha untuk sampai kepada kebahagiaan dan keselamatan.
Nabi Yeremia dalam bacaan pertama juga sangat menghayati hal ini, bahwa dia, walau diejek, dicemoohkan dan bahkan dihina oleh rekan-rekannya, namun dia tetap berusaha berjuang mengatakan tentang pertobatan kepada bangsa Israel. Teman-temannya melihat bahwa usaha Yeremia adalah sia-sia dan tidak bermanfaat, namun Yeremia yakin bahwa, apa yang dikatakannya akan memberi dampak positip di mana bangsa Israel akan selamat. Yeremia tidak mau lari atau tidak mau menghindar dari situasi itu, tetapi dengan berani menghadapi situasi itu.
Dalam Injil, Yesus menegur Petrus yang mau menghindarkan diri, atau melarikan diri dari misi Yesus, namun Yesus dengan tegas mengatakan: “Enyahlah iblis”. Hanya ada dua pilihan Petrus dan Yeremia: mengikuti kehendak Allah dengan tetap menderita dan bahkan resiko mati, atau menyelamatkan diri dari masalah itu dengan memilih hal-hal yang menyenangkan namun tidak menyelamatkan.

APLIKASI - PRAKTIS
Bapa,ibu..., dalam hidup, kita selalu berhadapan dengan dua pilihan besar, melaksanakan kehendak Allah atau melaksanakan kehendak pribadi; melaksanakan apa yang dipikirkan Allah, atau melaksanakan apa yang kita pikirkan; melaksanakan hal sulit yang membawa kebahagiaan, atau melaksanakan hal mudah namun membawa kepada kerugian dan siap-siap berhadapan dengan hukum positip; berusaha bekerja dengan tekun, serius dan kerja keras sampai merasa sakit, atau bekerja dengan duduk-duduk dan santai-santai tetapi akhirnya mendapatkan keuntungan yang tidak terhingga dan menyebabkan penderitaan karena dikejar rasa takut.
Hari ini, kita diajak untuk menghormati dan menghargai kerja keras kita, bahwa kebahagiaan sempurna dan utuh akan kita peroleh melalui sebuah pengorbanan dan kerja keras. Yesus telah menunjukkan contoh itu, bahwa untuk sampai pada keselamatan dan membuat orang lain selamat, harus dijalani melalui jalan salib, pergi ke Yerusalem untuk menderita dan mati di sana. Ini juga mau mengajak kita untuk rela berkorban dan berjuang, dan tidak ingin cari gampang. Untuk sampai pada kebagiaan sejati, kita harus melalui kerja keras dan pengorbanan itu... Amin

Telukdalam, 13 Juli 2014

Kotbah Minggu Biasa ke 21 - A


PENTINGNYA PENGENALAN  JATI DIRI



INTRODUKSI

Bapa, ibu..., “kunci”. Apa yang bisa kita lakukan jika memiliki kunci? Apa yang bisa kita lakukan jika seseorang memberikan kunci rumahnya kepada kita? Apa yang bisa kita lakukan jika seseorang memberikan kunci lemari kepada kita? Apa yang bisa kita lakukan jika seseorang memberikan kunci sepeda motor kepada kita? Apa yang bisa kita lakukan jika seseorang memberikan kunci atau “pasword” email, atau pasword Facebooknya, atau pasword atau PIN ATM kepada kita?
Dengan kunci, atau pasword, atau PIN, telah diserahkan kepada kita semacam kuasa, kewenangan dan otoritas untuk melakukan apa yang dapat kita lakukan. Kita memiliki kewenangan seluas-luasnya dalam menentukan dan menggunakan apa yang seharusnya dapat kita lakukan.
Namun, tentu ada syarat sehingga sehingga seseorang mempercakan kunci tertentu kepada kita. Seseorang tidak beri begitu saja kunci itu, namun dia harus tahu dan kenal dengan baik, siapa orang yang akan diserahi kunci rumah / sepeda motor / mobil / atau bahkan PIN ATM. Tentu hanya orang yang sudah sungguh dipercaya dan memiliki sebuah hubungan kesalingpercayaan di antara mereka; karena menyerahkan kunci, pasword ataupun PIN kepada seseorang, itu sama dengan menyerahkan sebagian atau bahkan seluruh apa yang dia miliki kepada orang lain.

URAIAN KITAB SUCI
Sabda Tuhan hari minggu ini, mengetengahkan dan mengajak kita untuk merenungkan tentang makna kunci, tetapi bukan tentang kunci rumah, atau kunci kendaraan, atau pasword atau PIN ATM, melainkan tentang “kunci Kerajaan Allah”.
Dalam bacaan pertama, dikatakan bahwa Yakwe meletakkan kunci rumah Daud kepada Elyakim bin Hilkia. Sebelumnya kunci rumah Daud itu ada di tangan kepada istana raja Daud, yitu Sebna, tetapi karena dia tidak dapat mengatur rumah Daud dengan baik, maka Yahwe mengambilnya dan menyerahkannya kepada Elyakim bin Hilkia. Tuhan sangat percaya kepada Elyakim dan akhirnya mengambil dan menyerahkan kunci rumah Daud itu kepadanya. Itu berarti kuasa mengurus rumah Daud diserahkan kepada Elyakim.
Hal yang lebih indah lagi dikatakan dalam bacaan Injil hari ini, tentang relasi dekat antara Yesus dan para murid. Yesus sadar bahwa sudah sekitar hampir 3 tahun Ia hidup bersama para murid, namun Yesus belum tahu apakah mereka telah mengenal Dia atau belum. Yesus sadar bahwa Dia sekarang sedang menuju ke Yerusalem untuk menderita dan mati di sana, dan karena itu Dia harus mempersiapkan murid-muridNya untuk memimpin visi dan misi pewartaan Kabar Gembira di dunia ini.
Karena itu Yesus harus mengecek terlebih dahulu mutu atau kualitas pengenalan mereka terhadap Yesus sendiri. Akhirnya Dia memulai membuat ujian sederhana dengan bertanya: “Siapa aku ini menurut orang-orang banyak”? dan dengan jujur para murid juga menjawab (seperti yang mereka tahu), bahwa ada yang menyebut Yohanes Pembaptis, ada yang menyebut Elia atau bahwa seorang dari para nabi. Tetapi setelah itu, Yesus memakai pertanyaan ini sebagai pertanyaan pengantar yang nanti terarah kepada para murid. Sekarang tibalah saatnya pertanyaan kepada para murid: “Siapakah Aku ini menurut kamu”? Petrus yang adalah “juru bicara” para murid, menjawab: “Engkau adalah Mesias, Putera Allah yang hidup!”.
Inilah jawaban yang sangat tepat, sebagai hasil pemikiran dan renungan Petrus selama hampir 3 tahun bersama Yesus. Petrus, dalam kelebihan dan kekurangannya, telah mengenal Yesus sebagai Mesias, yang mungkin saja tidak dimiliki oleh para murid lainnya. Dia tampil sebagai seorang yang sudah sungguh mengenal Yesus, dan pengenalannya ini memiliki suatu resiko atau konsekwensi besar. Nah, konsekwensi apa itu? Konsekwensi itu ialah bahwa Yesus makin menaruh kepercayaan kepadanya, dan karena sudah begitu percaya, maka Yesus juga akhirnya menyerahkan “kunci”. Nah, kunci apa yang diserahkan? Ialah “kunci perkumpulan jemaat” atau “kunci ecclessia”, atau “kunci jemaat Allah”. Yesus tidak ragu-ragu lagi dengan Petrus (dan para murid lainnya), dan karena itu menyerahkan kunci itu kepada Petrus, sebagai seorang pemimpin jemaat atau ecclessia. Melalui kunci itu juga, Petrus memiliki kuasa untuk, selain memimpin Gereja perdana (gereja para rasul), juga memimpin penyebaran Injil kepada orang-orang atau bangsa-bangsa kafir, terutama ke Yunani dan sampai di Roma. Dalam dalam kemimpinannya, Petrus mampu memelihara Gereja (jemaat) serta membesarnya menjadi sebuah agama yang tersebar sampai ke keseluruh dunia.

APLIKASI - PRAKTIS
Sebagai orang kristen, kita juga disebut dan dipanggil sebagai murid-murid Kristus. Sejak menerima baptisan Gereja, ketika itu kita juga sudah menerima kunci Kerajaan Allah, sebagai simbol bahwa kita juga memiliki kewenangan dan kuasa atas tugas pewartaan Injil, pewartaan tentang Yesus kepada semua orang, termasuk kepada mereka yang hampir atau juga belum mengenal Kristus.
Hanya saja, kita mungkin belum mengenal Kristus secara mendalam, kita mungkin hanya mengenal Kristus hanya kulit-kulit luarnya saja, kita mungkin memiliki kunci itu, namun kualitas pengenalan kita akan Yesus tidak baik, dan itu menyebabkan bahwa kita hanya pandai bicara namun tanpa dasar pengetahuan dan pengenalan yang kuat dan baik tentang Yesus. Kita masih sekedar asal tampil, asal omong, sekedar pamer diri bahwa kita hebat (pura-pura hebat atau sok-sok hebat) tetapi sebenarnya omongan yang tidak punya nilai dan membuat orang berubah. Hari ini Yesus memberikan kunci (yang adalah simbol kekuasaan dan pelayanan) itu kepada Petrus, karena Yesus sudah tahu mutu atau kualitas pribadi Petrus. Kualitas iman kita pasti lebih rendah dari Petrus, namun kita diminta untuk meningkatkan kualitas iman kita dan kualitas pengenalan kita akan Kristus, sehingga pada hari terakhir ketika kita berada di dunia ini, kita akan sudah memiliki jawaban yang tepat tentang “siapakah Yesus itu”.

Telukdalam, 13 Juli 2014
giuslay.zone@gmail.com

Kotbah Minggu Biasa ke 15 - A

MENJADI LAHAN YANG BAIK 
UNTUK PERTUMBUHAN SABDA TUHAN


Bacaan 1, Yes 55,10-11; Mzm Tggp: 64; Bacaan 2: Rom 8,18-23; Injil: Mat 13,1-23

INTRODUKSI
Irene, berusia 4 tahun dan tinggal di sebuah kampung di pegunungan. Suatu hari, Irene diajak oleh pamannya untuk jalan-jalan ke pasar dan kebetulan masuk ke salah satu toko mainan anak-anak untuk membeli boneka.
Setelah membeli dan membayar boneka itu, Irene segera keluar dari toko mainan itu, dan seketika itu juga pamannya melihat bahwa Irene keluar tanpa sendal di kakinya. Melihat itu, pamannya bertanya: “Irene, di mana sendalmu, nak”? Dan Irene menjawab dengan polos, “Itu ada di pintu keluar, dan saya sudah melepaskan tadi di situ”. Rupaya Irene ingat kata-kata ibunya bahwa, jika memasuki rumah orang, maka sendal di kaki harus ditanggalkan di pintu dan dilarang untuk dibawa masuk ke rumah. Nasihat itu rupanya terus diingat dan akhirnya dihayatinya sampai Irene berumur lebih dari 4 tahun.
Kisah lain lagi yang nyaris sama, yaitu teknisi radio SUAKA, pak Louis, yang selalu melepaskan sendalnya di pintu masuk ke ruang makan pastoran....

URAIAN KITAB SUCI
Bap ibu, hari Minggu Biasa ke-15 ini, kita mendengarkan kisah tentang penabur benih. Baik bacaan pertama dan terutama Injil pada hari ini, mengajak kita untuk menyediakan hati dan pribadi kita sebagai lahan untuk persemaian Firman-Nya sendiri.
Bacaan pertama dari Kitab Nabi Yesaya, adalah sebuah teks pendek yang berbicara tentang hubungan antara hujan dan tanah yang subur. Nabi Yesaya mengatakan bahwa tanah akan dapat subur, jika terdapat hujan yang baik yang mengairi tempat atau areal tanah tertentu. Hujan akan selalu ada, entah tanah itu baik atau tidak, siap atau tidak, untuk membasahi tanah dan menyuburkannya. Selain itu, air hujan itu tidak tinggal menetap di situ, namun dia akan mengalir dan membasahi areal tanah itu dan menyuburkan tanam-tanaman, dan tanam-tanaman itu akan bertumbuh dan berbuah.
Nah, Nabi Yesaya mau mengatakan bahwa dan menuntut bangsa Israel untuk menyiapkan hati dan pribadi mereka sebagai lahan yang baik, yang siap sedia mendengarkan Firman Tuhan serta melaksanakannya. Sikap-sikap bersungut-sungut dan protes kepada Tuhana hendaklah dihindari, dan tanamkanlah sikap rendah hati untuk mendengarkan Firman Tuhan, dan janganlah memperlakukan Firman Tuhan itu berlalu tanpa bekas, atau hanya sekedar cerita-cerita tanpa makna.
Dalam bacaan Injil juga, bapa, ibu dan saudara/i. Yesus menyampaikan kisah tentang penabur dan tentang benih yang ditaburkan. Namun, Injil Matius bukan mau mengajak kita untuk menjadi penabur yang baik, entah huruf “p” itu ditulis dan dipahami dengan huruf kecil atau huruf besar, tetapi yang ditekankan Matius ialah tanah yang bakal digarap dan yang sudah ditaburi dengan benih itu. Yesus di sini mau menguji dan menggugah kebijaksanaan batin kita. “Bila melihat benih yang jatuh di tanah yang begini atau begitu, bagaimana reaksi kita”?
Pendengar diajak untuk melihat bahwa terdapat dua macam tanah, yang baik dan yang tidak baik. Ada tanah yang dapat memberikan hasil dan ada tanah yang mandul. Penyebab tanah yang mandul bermacam-macam: kehilangan benih, memang kersang, atau ditumbuhi semak berduri. Dalam konteks Injil Matius, tanah yang mandul ini ialah orang-orang yang tidak bersedia menerima Yesus dan pewartaannya. Mereka itu disebut kaum Farisi. Orang Farisi ini sebenarnya pernah dihimbau Yohanes Pembaptis agar menghasilkan buah sesuai dengan perubahan sikap ("pertobatan") yang mereka niatkan ketika minta dibaptis olehnya (Mat 3:8), namun mereka menolak Yesus. Mereka itu tanah yang sudah disemai benih tetapi tidak bisa menikmati pertumbuhannya karena sudah kehilangan benih itu sendiri. Mereka itu juga tanah kersang, bahkan tanah yang hanya bisa ditumbuhi duri. Lalu siapa tanah yang subur? Dalam Mat 12:50 Yesus berkata, "Siapa saja yang melakukan kehendak Bapaku di surga, dialah saudaraku laki-laki, saudaraku perempuan dan ibuku." Mereka yang menjalankan kehendak Bapa-Nya menjadi tanah yang memberi hasil. Arti "menjalankan kehendak" itu ialah menuruti, mendengarkan. Jelas mendengarkan Bapa berarti menerima yang disampaikan olehNya kepada manusia, yakni Yesus sendiri. Orang Farisi menolaknya, karena itu mereka jadi tanah mandul. Para murid menerimanya dan mereka menjadi tanah subur bagi benih sabda.
Dalam ay. 18-23 perumpamaan tadi diterapkan pada kehidupan iman para pengikut Yesus:
v  Orang dihimbau agar menjadi tanah yang subur yang memungkinkan benih tumbuh dan berbuah berlipat ganda. Juga diajarkan bagaimana menjaga agar sabda yang telah ditaburkan tidak hilang atau terhimpit.
v  Bila disadari bahwa benih sabda terancam si jahat (ay. 19), maka orang perlu berjaga-jaga agar benih itu tidak gampang terampas. Secara tak langsung diajarkan agar siapa saja yang mau menjadi murid berani mengusahakan agar semakin banyak benih menemukan tanah yang baik dan tidak membiarkannya tinggal di tanah kersang atau lahan yang beronak duri dan berkeras kepala mengharapkan tanah seperti itu akan bisa membaiki.
v  Tanah kersang dijelaskan sebagai penganiayaan dan intimidasi yang sering dialami kaum beriman. Apa yang bisa diperbuat? Pendengar diminta berpikir. Bisa jadi sikap paling bijaksana ialah secara proaktif mencegah terjadinya keadaan itu. Bila toh terjadi, keadaan sulit tak selalu perlu dihadapi secara frontal. Ada kalanya lebih baik menghindarinya. Beriman tidak identik dengan jadi pahlawan atau martir. Kita dihimbau agar menemukan kebijaksanaan dalam beriman. Dengan demikian kita akan pandai-pandai menghadapi "kekhawatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan" yang menghimpit benih sabda (ay. 22).
Penjelasan Yesus berakhir dengan pernyataan bahwa tanah yang baik itu ialah orang yang "mendengar sabda dan mengerti" dan karena itu dapat berbuah berlipat ganda (ay. 23). Bagi mereka yang mengusahakan diri menjadi murid dan pengikutnya, ikhtiar yang sesuai kiranya terletak dalam usaha membuat tanah yang telah ditaburi benih betul-betul menjadi lahan subur. Bila perlu mencari tanah yang lebih baik. Mengerti juga berarti mengusahakan agar tokoh yang mereka ikuti, yakni benih yang tersemai dalam diri mereka, semakin menjadi bagian dalam kehidupan.

KESIMPULAN
Bapa, ibu dan saudara/i terkasih...
Sabda Tuhan akan selalu datang kepada siapa, kepada kita semua. Entah kita siap atau tidak, entah kita suka atau tidak, namun Sabda Tuhan itu akan tiba-tiba kita dengar. Sabda itu bisa melalui Firman Tuhan yang kita dengar dalam bacaan-bacaan Kitab Suci, bisa juga melalui kata-kata nasehat dan juga bimbingan orang tua atau orang lain kepada kita.
Terhadap Firman Tuhan ini, kita diajak untuk mendengarkan, mencermati dan melaksanakannya untuk kebaikan kita. Semuanya tergantung kepada kebebasan kita, apakah kita menyediakan hati kita untuk menjadi tanah yang subur, atau tanah yang berbatu-batu, tanah yang penuh duri, tanah yang tandus. Tentu Yesus mengajak kita untuk menjadikan hati kita seperti tanah yang subur, yang siap menerima sabda Tuhan, meresapkannya, dan melaksanakannya dalam hidup.
Pertanyaan untuk kita, manakah tanda-tanda bahwa hati kita dan pribadi kita telah menjadi tanah yang subur, yang telah membiarkan Firman Tuhan itu bersemai, bertumbuh dan berbuah dalam hidup kita? Amin

Telukdalam, 13 Juli 2014

RETREAT TAHUNAN KAPAUSIN KUSTODI GENERAL SIBOLGA 2023

  Para saudara dina dari Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga, pada tanggal 6 s/d 10 Noveember 2023, mengadakan retreat tahunan yang dilaksa...