P. Sergius Lay, OFMCap
1.
Catatan Pengantar
Dalam tahun-tahun terakhir ini,
kita sering mendengar banyak ungkapan yang keluar dari mulut banyak orang tentang
beberapa istilah yang populer dan familiar, seperti: “generasi milenial”, “generasi
digital”, “generasi 4.0”, “generasi disrupsi”, dan lain sebagainya. Seluruh
generasi itu dalam situasi yang sama, di jaman yang sama, yang sering orang
sebut dengan “zaman now”.[1]
Sebagai calon dan juga yang
sedang aktif sebagai pendidik agama katolik, baik dalam lingkungan pendidikan
formal, non formal maupun informal, Guru Pendidikan Agama Katolik (Guru PAK) memiliki
kewajiban untuk mengerti dan memahami karakteristik peserta didik / siswa yang
hidup di jaman ini. Pengenalan yang baik akan karakteristik jaman ini akan
sangat membantu mereka untuk menempatkan diri secara bijak serta melakukan
tindakan mendidik, mengajar, membina dan melatih peserta didik dan mampu mempersiapkan
peserta didik yang dihadapinya menyambut situasi jaman yang merupakan bagian
dari lingkungan kehidupannya. Sebagai pendidik, mereka harus mampu menjembatani
ruang / jarak antara dunia kehidupan dan dunia imajinatif dan cita-cita kaum
muda.
Tulisan ini hendak mengangkat
tentang bagaimana peran, fungsi dan kontribusi calon guru agama katolik dan
guru agama katolik di jaman yang semakin cepat berubah ini. Tulisan ini
sekaligus membantu para calon guru agama katolik sekaligus mahasiswa pada
program pendidikan dan pengajaran agama katolik untuk menempatkan diri di
tengah arus perubahan jaman dan bagaimana seharusnya menyiapkan para peserta
didik menyambut masa depan mereka, terutama dalam bidang keagamaan katolik.
2.
Guru PAK di Zaman yang semakin Kompleks
Semua manusia yang hidup pada
masa kini, tentu menghadapi pelbagai kerumitan dalam hal berinteraksi,
bersosialisasi dan berkomunikasi satu sama lain. Kerumitan tersebut dapat
dimengerti karena manusia sekarang berhadapan dengan beberapa kenyataan hidup
sosial yang hadir melalui istilah-istilah atau ungkapan yang menunjukkan
karakteristik jaman ini.[2]
Beberapa karakteristik yang
layak disebut adalah “zaman now”,
“zaman milenial”, “jaman digital”, dan “zaman disrupsi”. Istilah pertama adalah
“zaman milenial” yang sering diartikan sebagai generasi yang lahir di tahun
1980 sampai tahun 2000an. Istilah generasi milenial berasal dari kata “millennials” yang diciptakan oleh dua
ahli sejarah dan penulis Amerika, yaitu William Strauss dan Neil Howe dalam
beberapa bukunya. Istilah ini selalu dikaitkan dengan teknologi, karena
generasi ini “open minded” atau
terbuka terhadap pertumbuhan teknologi. Generasi milenial ini memiliki peran
yang sangat besar di era digital, misalnya melalui kecanggihan smartphone, mereka sudah bisa membuat
berbagai konten dan bisa mengakses apa saja dengan mudah. Dengan ide-ide
kreatif, mereka bisa memulai karirnya menjadi content creator, youtuber, dan
juga membuka onlineshop. Banyak
sekali generasi milenial yang sukses berkat kemajuan teknologi sekarang.
Istilah kedua adalah “zaman
digital” yang sering diartikan sebagai generasi yang tumbuh dalam kemudahan
akses informasi digital dan teknologi informasi. Generasi ini lahir setelah
tahun 2014 dan sangat dekat dengan perkembangan teknologi komputasi digital.
Adanya teknologi ini membuat mereka merasa nyaman dengan keberadaan teknologi,
bahkan menjadikannya seperti kebutuhan primer. Selain itu, paparan ini
menjadikan generasi digital sebagai ahli dengan teknologi tersebut yang
melebihi orang-orang dari generasi sebelumnya. Zaman digital ini ditandai oleh
beberapa karakteristik dari generasinya seperti cenderung menuntut kebebasan
yang lebih, sangat senang mengekspresikan diri mereka, hidup dalam iklim
berkecepatan tinggi (berpikir, merasa dan bertindak), memiliki banyak sumber
belajar, lebih memilih komunikasi 2 (dua) arah, suka berbagi dan berkolaborasi,
dan lain sebagainya.
Istilah ketiga adalah “zaman
revolusi industri 4.0”. Revolusi industri 4,0, dicetuskan pertama kali oleh
sekelompok perwakilan ahli berbagai bidang asal Jerman, pada tahun 2011 lalu di
acara Hannover Trade Fair. Dikatakan
bahwa industri saat ini telah memasuki inovasi baru, di mana proses produksi
mulai berubah pesat. Pemerintah Jerman menganggap serius gagasan ini dan tidak
lama menjadikan gagasan ini sebuah gagasan resmi. Setelah resminya gagasan ini,
pemerintah Jerman bahkan membentuk kelompok khusus untuk membahas mengenai
penerapan Industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 menerapkan konsep automatisasi
yang dilakukan oleh mesin tanpa memerlukan tenaga manusia dalam
pengaplikasiannya. Banyak pekerjaan sekarang ini dimudahkan dilakukan oleh
mesin dan mulai mengesampingkan tenaga manusia. Ini semua terjadi demi
efisiensi waktu, tenaga kerja, dan biaya. Penerapan Revolusi Industri 4.0 di
pabrik-pabrik saat ini juga dikenal dengan istilah Smart Factory.
Istilah keempat adalah “zaman
disrupsi”. Era / zaman disrupsi dilihat sebagai fenomena di mana masyarakat
menggeser aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya.
Karena itu, disrupsi adalah perubahan besar yang mengubah tatanan hidup manusia
dan bahkan alam semesta. Fenomena menjamurnya e-Commerce hari ini merupakah salah satu contoh disrupsi.
3.
Lima Generasi yang Hidup dalam Satu Zaman
Banyak anak muda sekarang
menyebut jaman mereka dengan “zaman now”.[3]
Mereka menyebut istilah ini untuk membedakan zaman mereka dari jaman
sebelumnya, yang dalam arti tertentu menurut mereka bahwa seluruh karakteristik
dari sifat dan sikap zaman sebelumnya tidak dapat dipertahankan lagi dan dipraktekkan
pada zaman mereka. Kebiasaan itu harus ditinggalkan dan semua orang harus
beradaptasi dengan karakteristik zaman mereka sekarang, yang mereka sebut
dengan “zaman now” tersebut.[4]
Istilah “zaman now” sering dikaitkan orang dengan generasi
manusia yang hidup pada saat sekarang, dan pada saat yang sama. Istilah “zaman
now” juga sering disebut dengan zaman milenial, zaman digital, zaman dan lain
sebagainya. Kebanyakan para ahli menggolongkan “zaman now” ini dalam 5 (lima) generasi, yang hidup pada saat
yang bersamaan, yaitu: generasi Baby
Boomers, X, Y, Z dan Alpha. Kita bisa membayangkan rumitnya mengelola hidup
bersama jika pada saat dan tempat yang sama, terdapat lima generasi dengan
sifat dan karakteristik yang berbeda namun mereka hidup dan berada secara
bersama di suatu tempat dan waktu yang sama. Tentu kecocokan dan konflik antara
generasi silih berganti terjadi, namun bisa jadi lebih banyak terjadi
gesekan-gesekan kepentingan kepentingan.[5]
3.1 Generasi Babby Boomers
Menurut para ahli, generasi Babby Boomers adalah generasi yang hidup
antara tahun 1940 sampai dengan 1960, atau yang sekarang sedang berusia 60 s/d
80 tahun. Awalnya, istilah “Babby
Boomers” muncul karena ciptaan generasi Z dan generasi milenial, yang
secara tidak langsung ingin membedakan sifat dan karakteristik mereka serta
sebagai sikap ekstrim untuk membedakan generasi Z dari generasi Babby Boomers yang suka menggurui dan
mengatur serta dianggap sebagai pemegang segala kewenangan atas generasi baru,
yang menurut generasi Z, semua sifat itu sudah tidak cocok lagi untuk zaman now.
Jadi, istilah Babby Boormers sebenarnya muncul sebagai
ungkapan ketidaksukaan Generasi Z dan milenial kepada “generasi tua lansia” untuk merespons sikap yang tidak
sesuai dengan apa yang dipikirkan generasi Z. Menurut mereka, generasi Baby Boomers itu gemar menggurui dan
kurang relevan untuk zaman sekarang.
Terdapat kurang lebih 4 (empat)
sifat atau karakteristik dari Generasi Babby Boomers, yaitu: “menghargai
hubungan, berorientasi pada hasil, memiliki kepercayaan diri yang tinggi, serta
merasa serba bisa dalam banyak hal”.[6]
Pertama, menghargai hubungan.
Generasi Baby Boomers percaya bahwa
waktu yang dihabiskan bersama keluarga atau orang terdekat harus baik dan
berkualitas, tidak boleh seluruh usaha itu berakhir sia-sia tanpa arti. Kedua, berorientasi pada hasil. Pada
umumnya Generasi Baby Boomers harus
bekerja keras untuk mencapai impian mereka saat ini. Setiap pekerjaan harus
jelas, terukur dan memiliki hasil yang jelas sebagai hasil dari kerja keras. Ketiga, memiliki kepercayaan diri yang
tinggi. Generasi Babby Bommers cukup
percaya bahwa kemampuan diri sendiri adalah sangat penting, terutama dalam
memengaruhi orang lain untuk juga bekerja keras seperti yang mereka lakukan. Keempat, merasa serba bisa dalam banyak
hal.
3.2 Generasi X
Generasi kedua yang hidup juga pada zaman now adalah dikenal dengan Generasi X
(Gen X). Generasi X merupakan salah satu generasi yang lahir antara tahun 1961
sampai dengan 1980, atau yang sedang berusia yang pada saat ini berusia 40 s/d
60 tahun. Kemungkinan besar mereka yang lahir pada generasi X sekarang ini
sudah menduduki berbagai macam posisi penting dalam dunia kerja.
Beberapa karakteristik dari orang-orang yang
berasal dari Generasi X adalah orang-orang yang mewarisi budaya kerja,
pengetahuan, pengalaman serta kebijakan yang cukup baik setelah memasuki usia
pensiun. Mereka akan memberikan memberikan teladan yang baik bagi generasi
selanjutnya, yaitu Generasi Milenial.
Adapun ciri dan karakteristik spesifik dari Generasi
X adalah: Pertama, beradaptasi dengan
teknologi. Jika Generasi Babby Boomers dianggap
cukup kolot dengan teknologi, Generasi X lebih memperlihatkan kemampuan
adaptasi dan keahliannya dengan alat-alat teknologi. Mereka juga berusaha
menggunakan alat-alat teknologi untuk membantu mereka dalam mempercepat
pekerjaan sehari-hari. seseorang. Kedua, bersifat
individual. Pada masa ini, sudah mulai muncul banyak wanita yang terlibat dalam
dunia kerja, dan istilah wanita karir menjadi cukup familiar. Pekerjaan di luar
rumah tidak hanya dilakonkan oleh kaum laki-laki, tetapi banyak pekerjaan yang
dilakukan laki-laki sudah dapat dikerjakan oleh kaum wanita, yang secara
ekonomis turut menopang kesejahteraan hidup keluarga. Keterlibatan kaum wanita
usia kerja dalam dunia kerja ini mengakibatkan anak-anak kurang mendapat
perhatian lebih dari orang tua. Bahkan banyak dari mereka yang di titipkan
kepada orang lain. Akibatnya, banyak anak-anak yang tumbuh dan berkembang
menjadi pribadi yang banyak akal dan independen. Sikap individualistis juga
lahir dari pergeseran peran wanita dalam dunia kerja ini. Ketiga, pribadi yang fleksibel. Salah satu kecendrungan Generasi X adalah tidak ingin akan pekerjaan
yang menetap. Keinginan ini dilatarbelakangi oleh sikap ambisius mereka untuk
mendapat pekerjaan yang lebih baik, serta mengekspresikan diri mereka melalui
pekerjaan yang mereka tekuni, serta keinginan belajar dengan hal-hal baru. Keempat, menghargai keseimbangan hidup.
Generasi X dapat dikatakan cukup berbeda dari pendahulunya. Mereka memiliki
visi utama bahwa mereka bekerja untuk hidup, dan bukan hidup untuk bekerja.
Dalam menjalani hidup, mereka cenderung lebih menyukai suasana yang
menyenangkan pada lingkungan kerja. Karena itu, orang-orang dari Generasi X
akan berusaha mencari suasana relaks atau refresh di sela-sela waktu kerja yang
serius itu.
3.3 Generasi Y
Generasi ketiga disebut dengan Generasi Y (Gen Y),
sering disebut juga sebagai Generasi Milenial. Banyak ahli sering
mengelompokkan Generasi Y adalah mereka yang lahir antara tahun 1980-an sampai
dengan tahun 1996. Kebanyakan Generasi Y adalah anak-anak dari Generasi Babby Boomers dan Generasi X.
Generasi Y lahir dan berkembang dalam iklim
perubahan yang terjadi secara cepat. Mereka juga sangat menyadari kecepatan perubahan
itu dan secara otomatis juga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mereka
untuk cepat. Cara berpikir dan bertindak mereka sangat dipengaruhi oleh
fasilitas teknologi yang sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Sejak lahir,
mereka sudah bergaul atau mengenal pelbagai jenis sarana telekomunikasi
digital, sehingga generasi mereka disebut juga digital native. Generasi Y tidak bisa terlepas dari teknologi dalam
melakukan aktivitasnya. Mulai dari transportasi, pekerjaan, dan pembayaran
transaksi. Selain itu, teknologi juga berperan dalam interaksi sosial generasi
milenial yang cenderung menggunakan media sosial dalam melakukan interaksinya.
Generasi ini mudah beradaptasi dengan teknologi baru, dan selalu menerapkan
teknologi baru dalam kehidupannya.
Beberapa karakteristik Generasi Y atau Generasi
Milenial adalah memiliki komitmen terhadap organisasi tempat mereka berada.
Untuk mereka, pekerjaan merupakan salah satu prioritas, namun bukanlah yang
utama, mereka menyukai ketentuan-ketentuan atau peraturan yang tidak
berbelit-belit, memiliki kepribadian yang terbuka atau transparan. Generasi Y
dalam berorganisasi memiliki orientasi kepada tim dan memiliki soliditas dengan
rekan tim, cenderung menyukai feedback dan
juga suka pelbagai tantangan baru.
Dalam urusan politik, mereka memiliki pandangan
yang cenderung sosial liberal. Mereka cenderung memiliki sikap teguh pada
pendiriannya masing-masing dan sesuai dengan informasi, rasa politik, dan nilai
yang mereka yakini sebagai benar. Dalam urusan keagamaan, mereka memiliki
kecenderungan untuk tidak tidak memiliki agama. Hal ini berhubungan dengan
situasi sekularisasi yang cenderung membawa orang untuk tidak harus memiliki
dan meyakini kepada salah satu agama. Dengan demikian ateisme dan agnostisisme
sangat mungkin bisa menarik mereka ke situasi itu.
Seorang psikolog Jean Twege, mengatakan bahwa Generasi
Y memiliki sifat entitlement
dibanding generasi pendahulunya. Sifat entitlement
adalah sifat yang menganggap bahwa diri sendiri lebih baik dari orang lain.
Konsep ini memiliki konsekuensi bahwa dirinya harus menerima lebih daripada
orang lain. Mereka percaya bahwa jika mereka memiliki hak istimewa, yang mana
hak yang diinginkan cenderung memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi, seperti;
mendapatkan jabatan tertentu tanpa melalui proses panjang, juga sukses secara
instan.[7]
3.4 Generasi Z
Generasi keempat disebut dengan Generasi Z (Gen
Z), dan merupakan peralihan dari generasi Y. Generasi Z adalah generasi yang lahir
antara tahun 1997 sampai tahun 2009, dan pada saat internet berkembang pesat
dan sangat tergantung kepada perkembangan teknologi gadget dan aktivitas di
media sosial. Mereka juga lahir ketika mereka tidak tahu kapan muncul internet,
computer, telepon genggam, dan alat komunikasi lainnya. Dalam seluruh hidup mereka,
hampir semuanya dilingkupi oleh seluruh fasilitas digital dan selalu bergaul
dengan dunia internet dan digital. Generasi ini sering juga disebut dengan
Generasi NET. Jadi, Generasi Z atau Generasi NET ini hampir menghabiskan waktu
setiap jamnya untuk bergaul dengan media sosial.[8]
Ketergantungan akan teknologi sosial media membuat
mereka suka dengan hasil instan dan cepat, cenderung keras kepala, dan selalu
terburu-buru. Walaupun demikian, mereka suka dengan tantangan baru namun haus
akan pujian. Aktivitas sosial dan bergaul adalah aktivitas yang sangat
dinikmati sehingga tak mereka rela mengeluarkan banyak uang untuk
bersenang-senang.
Dalam hal bekerja dan berorganisasi, Generasi Z
lebih senang dengan jenis pekerjaan di perusahaan start up, multi tasking,
sangat menyukai teknologi dan ahli dalam mengoperasikan teknologi tersebut, peduli
terhadap lingkungan, mudah terpengaruh terhadap lingkungan mengenai produk
ataupun merek2, pintar dan mudah untuk menangkap informasi secara cepat.
Psikolog Elizabeth T. Santosa dalam bukunya yang
berjudul "Raising Children in Digital Era" mencatat ada 7
karakteristik generasi yang lahir di era digital ini: memiliki ambisi besar
untuk sukses, berperilaku instan, cinta kebebasan, percaya diri, menyukai
hal-hal yang detail, keinginan untuk mendapatkan pengakuan, penguasaan
teknologi informasi dan digital.[9]
3.5
Generasi Alpha
Generasi kelima adalah
Generasi Alpha. Generasi ini adalah mereka / anak-anak yang lahir setelah tahun
2010 dan hidup di masa di mana semua serba digital. Para orang tua dari
Generasi Alpha ini mendapat tantangan tersendiri dalam mengasuh dan membesarkan
anak-anak generasi ini. Anak-anak yang hidup dalam generasi ini tumbuh dalam
masyarakat yang lebih heterogen, sehingga cara berpikir mereka lebih terbuka tentang
orang yang berbeda dari dirinya serta sangat merasa nyaman dengan teknologi.[10]
Secara umum, sifat dan
karakter Generasi Alpha masih penuh misteri, mengingat mereka sedang bertumbuh
dan berkembang menjadi anak-anak remaja di masa sekarang. Namun sudah banyak
catatan yang menguraikan tentang sifat atau karakteristik dari dari Generasi
Alpha, walaupun sifatnya masih prediktif, misalnya: sangat memahami dunia
teknologi serta melihat bahwa teknologi bukanlah pelengkap dalam hidup
melainkan bagian dari gaya hidup, berkat akses kepada teknologi yang besar dan
luas maka generasi ini menjadi generasi yang berwawasan luas dan cerdas serta
terdidik, realitas hidup mereka adalah artificial intelligence, pembelajaran
yang sangat personal, sangat menekankan interaksi sosial melalui media sosial,
tidak suka berbagi, tidak suka mengikuti aturan, tidak bisa diprediksi, masa
kecil yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, pola makannya sangat
berbeda, bergaya fungky, dan lain sebagainya. Salah satu hal yang mengkhawatirkan
adalah bahwa karena kedekatan dengan teknologi dapat menyebabkan mereka menjadi
jauh dari sejarah dan hidup serta budaya para leluhurnya.
Sebagai seorang Guru PAK,
kecekatan untuk melihat situasi yang merupakan bagian dari hidupnya adalah
sesuatu yang harus dilakukannya. Guru PAK berada bersama dengan variasi
generasi yang bisa memberikan pelbagai kemudahan dan kesualitan dalam hidup
bersama. Mengelola hidup bersama yang didasarkan pada keadaan manusia yang
heterogen seperti ini bukanlah hal yang mudah, melainkan membutuhkan banyak
usaha untuk mengelola hidup bersama sehingga hidup bersama dapat berlangsung
dengan baik.
Seorang Guru PAK yang seharian
berada di lingkung sekolah bersama dengan penerasi manusia yang berbeda, sudah seharusnya
memiliki kemampuan membaca pelbagai kemungkinan terjadinya konflik tersebut,
yang mungkin saja sifatnya vertikal dan juga horizontal. Sifat vertikal dalam
arti hubungan antara misalnya generasi Y dan generasi Z, atau antara generasi X
dan generasi Z; sedangkan sifat horizontal dalam arti hubungan antara
orang-orang dari generasi yang sama namun memiliki perbedaan dalam hal kebutuhan
dan kepentingan yang situasional.[11]
Mungkin kita dapat melihat
beberapa jenis konflik yang dapat terjadi dalam kehidupan bersama di dunia
sekolah dan pendidikan. Pertama, konflik terkait otoritas kebenaran. Ada kecendrungan dalam hidup bersama bahwa para
“senior” cenderung memposisikan diri sebagai orang yang lebih banyak tahu. Para
senior sering melihat diri mereka sebagai Fenomena ini mengakibatkan mereka
sering menggurui para “junior” dan beranggapan bahwa mereka tidak banyak
pengetahuannya dan harus terus disosialisasikan kepada mereka. Hal ini
berakibat kaum “junior” bersikap cuek dan tidak ingin bergabung dengan kaum
“senior”.
Kedua, konflik terkait penguasaan fasilitas teknologi.
Berhadapan dengan perkembangan teknologi informasi dan digital yang begitu
cepat dan menyebar, generasi Alpha merasa lebih banyak tahu daripada
generasi-generasi sebelumnya. Anggapan bahwa generasi sebelumnya adalah kolot
dan tidak mengerti menjadikan generasi Alpha menguasai generasi-generasi
sebelumnya. Namun generasi sebelumnya juga mengklaim bahwa mereka memiliki
pengalaman dalam memulai semua hal yang sekarang dinikmati oleh Generasi Alpha.
Selain itu, ada juga anggapan bahwa tidak semua persoalan hidup yang dapat dan
harus dipecahkan dengan fasilitas teknologi zaman now.
Ketiga, konflik terkait isolasi grup. Perbedaan yang terus
terjadi dan mengendap dapat membuat setiap generasi mengisolasi diri mereka
dari yang lain. Mereka cenderung untuk tidak ingin bergaul dengan atau bersama
pribadi-pribadi dari generasi yang lainnya serta akhirnya melihat
pribadi-pribadi dari generasi lainnya adalah bahaya untuk mereka sendiri.
Keempat,
5.
Tantangan Guru PAK di Zaman Now
Guru Pendidikan Agama Katolik
(Guru PAK) di zaman ini menghadapi pelbagai tantangan yang harus dihadapi dan
dikelola dengan baik. Selain perubahan-perubahan yang terkait dengan akses
informasi dan telekomunikasi yang begitu mudah, masalah disrupsi adalah hal
lain yang muncul bersama dengan mudahnya akses melalui media Online kepada
sumber-sumber pengetahuan. Situasi yang menuntut peserta didik agar mampu
berpikir secara kritis, berkolaborasi, memecahkan masalah, mengambil keputusan dan
berpikir kreatif harus dihadapi guru.
Guru harus benar-benar mampu menyiapkan berbagai hal agar dapat mencetak
generasi muda agama katolik yang lebih kompeten di masa mendatang agar sungguh
dewasa secara intelektual maupun secara religius.
Menjadi seorang guru agama bukanlah
profesi yang mudah. Selain menguasai ilmu keguruan secara umum, guru agama juga
harus menguasai ilmu keagamaan secara baik dan menghayati praktek keagamaan
secara jujur. Totalitas dan komitmen yang besar dalam mengajar dan mendidik
harus dimiliki oleh Guru Agama dan menjadi modal utama agar terciptanya peserta
didik yang beragama katolik yang cerdas dalam pengetahuan, memiliki moral dan
etika yang baik untuk menyiapkan masa depannya.
Fenomena yang terjadi saat ini guru sebagai seorang pendidik dituntut
mencerdaskan anak bangsa, serta melahirkan masa depan bangsa yang gemilang.
Dalam dunia digital / milenial
/ jaman now ini, peran Guru PAK rentan tergeser dengan perkembangan teknologi
yang sangat pesat. Internet dengan variasi informasinya kadang dijadikan acuan
utama oleh generasi Z dan generasi Alpha dibandingkan dengan perkataan para
Guru. Lahirnya platform pendidikan
virtual pun turut menggeser posisi Guru di era ini. Bahkan, di beberapa sekolah
sudah menerapkan sistem belajar Online di mana tatap muka antara Guru dan murid
tak lagi dibutuhkan. Kini, Guru lah yang
harus mengikuti perkembangan zaman dan menikmati proses bergesernya peran
mereka di era disrupsi ini. Sebagian contoh ada banyak "start up" yang lahir di bidang
pendidikan. Guru harus memulai mengubah cara-cara lamanya serta fleksibel dalam
memahami hal-hal baru dengan lebih cepat.
Ada hal yang perlu menjadi perhatian bersama di dalam dunia pendidikan
kita sekarang.[12]
Guru lebih memprioritaskan
jenjang karirnya dengan standar yang telah di tetapkan oleh pemerintah, hal ini
dikhawatirkan bisa membuat Guru lupa dengan tugas awalnya, yaitu mendidik
siswa/murid. Teruntuk para Guru di mana
pun berada, lakukan perubahan kecil dalam proses pembelajaran di kelas sebagai
wujud inovasi dan kreativitas. Percayalah bahwa setiap murid memiliki
keistimewaan tersendiri. Cara guru adalah temukan bakar terpendam dari murid
yang kurang percaya diri, karena setiap anak adalah istimewa. Setiap anak
memiliki kehebatan masing-masing.
6.
Sikap-Sikap yang Perlu
Seperti yang telah diuraikan di
atas bahwa bukanlah hal yang mudah untuk mengelola hidup bersama, mengelola
suasana pendidikan dana mengelola dinamika pendidikan secara bersama di dalam
satu lingkungan sekolah dengan generasi yang berbeda-beda. Seorang Guru PAK,
bisa saja berasal dari generasi Babby
Boomers, atau Generasi X atau Generasi Y atau bahkan dari generasi Z, harus
memahami beberapa sikap yang perlu dihidupi dalam kebersamaan tersebut. Di sini
akan dicoba ditawarkan beberapa sikap yang perlu dihidupi oleh para Guru PAK.[13]
Pertama, Guru PAK paham
dengan teknologi digital.
Untuk dapat mendidik dengan baik, maka sangat dianjurkan agar setiap pendidik
dan terutama Guru PAK untuk memahami secara tepat fungsi dan peran dari
hadirnya teknologi digital. Guru PAK harus mengerti dengan baik hal-hal positif
dan negatif dari alat-alat digital yang dipakai oleh generasi zaman now.
Pemahaman yang baik tentang hal-hal positif dan negatif tersebut menjadi dasar
untuk pendampingan kepada peserta didik dalam berhubungan dengan sumber-sumber
pengetahuan yang ditawarkan.
Kedua, Guru PAK menghindari
sikap otoriter. Status senioritas di dunia pendidikan / persekolahan
atau ketiga berada di dalam kelas dapat menyebabkan seseorang Guru PAK memiliki
sikap otoriter terhadap peserta didik. Guru PAK merasa diri lebih banyak
mengetahui tentang ilmu-ilmu agama dan ilmu lainnya dan pada waktu yang sama
beranggapan bahwa peserta didik adalah pribadi yang tidak memiliki pengetahuan
dan kepada mereka harus disosialisasikan pelbagai pengetahuan. Sikap ini tidak
cocok lagi untuk kondisi sekarang di mana peserta didik telah berhadapan dengan
pelbagai sumber pengetahuan yang banyak dan mudah diakses melalui perangkat
digital. Yang perlu ialah bagaimana Guru PAK menemani peserta didik untuk
sampai kepada sumber pengetahuan dan mengelola pengetahuan tersebut sebagai
kekuatan untuk memperkaya diri dan sesama.
Ketiga, Guru PAK memperhatikan
pembentukan emosi dan perasaan. Terkait
dengan sumber pengetahuan, peserta didik berhadapan dengan banyak sumber
pengetahuan. Secara kognitif, otak dan intelektual, peserta didik memiliki
banyak hal yang dapat membentuk aspek kognitif mereka. Namun dalam aspek
pembentukan emosional dan perasaan menjadi tugas utama orang tua di rumah dan
juga para guru di sekolah. Guru PAK memiliki peran penting untuk mendidik
peserta didiknya melalui pembinaan emosional dan perasaan di lingkung sekolah
dan lingkungan kelas. Anak didik tidak boleh dibiarkan bertumbuh hanya dalam
aspek kognitif melainkan harus seimbang dengan aspek-aspek lainnya seperti
psikomotorik dan emosional - perasaan.
Keempat, Guru PAK harus memahami
bahwa interaksi peserta didik sekarang terjadi secara Online.
Menyebarnya media-media Online serta sarana-sarana komunikasi yang memudahkan
interaksi antara manusia menyebabkan anak-anak didik jaman sekarang cenderung
dan bahkan selalu melakukan interaksi dan komunikasi melalui perangkat digital.
Secara tidak langsung, situasi itu mengajak seluruh pendidik dan tenaga
pendidik serta juga orang tua dan terutama para Guru PAK untuk menerima situasi
ini serta melakukan pelbagai kegiatan komunikasi tentang kegiatan pendidikan
umum dan pendidikan keagamaan katolik melalui media Online.
Kelima, Guru PAK harus secara
netral berinteraksi dengan peserta didik melalui media Online dan kontak
langsung. Keharusan untuk berinteraksi dengan peserta didik melalui
media Online tidak boleh mengesampingkan pentingkan interaksi langsung. Dalam
banyak alasan, interaksi langsung dengan peserta didik tetap memiliki nilai yang
lebih baik dibandingkan dengan interaksi melalui media Online. Maka Guru PAK
harus meluangkan waktu sesering mungkin untuk berinteraksi langsung dengan
peserta didik: bermain bersama, belajar bersama, cerita bersama, berdoa
bersama, berwisata bersama, dan lain sebagainya.
Keenam, Guru PAK harus tetap percaya
kepada peserta didik dalam hal akses ke media Online. Sikap positif
terhadap peserta ketika bereksplorasi dengan media-media sosial perlu dijaga
dengan baik. Sikap percaya tidak berarti bahwa Guru dan juga orang tua lepas
bebas membiarkan anak-anak atau peserta didik mengakses secara bebas tanpa ada
kontrol dari orang dewasa. Komunikasi yang baik yang dibangun untuk memberi
ruang kepada Guru dan orang tua mengontrol setiap perilaku peserta didik dan
anak-anak ketika mereka menggunakan fasilitas digital untuk menemukan
sumber-sumber pengetahuan.[14]
Tidak mudah mengelola hidup
bersama dalam dunia persekolahan atau dunia pendidikan jika terdapat beberapa
generasi yang hidup bersamaan. Apalagi jika jarak antara generasi yang satu
dengan generasi yang lain cukup lebar atau jauh. Namun kenyataannya adalah
semuanya harus hidup bersama, lepas dari apakah seorang pribadi dari generasi
tertentu menerima atau tidak situasi dan kondisi tersebut.
Berkaitan dengan uraian tentang
Guru Agama Katolik di Era Millenial tersebut di atas, ada beberapa catatan
refleksi yang perlu diketahui dan dipikirkan lebih lanjut oleh para Guru Agama
Katolik Zaman Now.
Pertama, refleksi dan mendalami ilmu keagamaan
katolik yang terus menerus. Konten yang disediakan oleh gereja akan
dapat tersampaikan dengan baik kepada peserta didik jika guru agamanya telah
memilikinya secara komprehensif. Ilmu yang telah dimiliki tersebut juga harus diperbaharui
terus terutama refleksi-refleksi yang terkait dengan penghayatan hidup praktis.
Kedua, perlunya pembaharuan. Konten
pembelajaran agama katolik harus dipastikan sampai kepada peserta didik,
minimal untuk diketahui dan dihayati dalam praktek hidup konkret. Karena itu,
cara menyampaikan konten tersebut harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang sedang dihidupi atau dialami oleh dunia peserta didik. Karakteristik
generasi zaman now perlu dipahami dan bahkan guru agama katolik perlu
melibatkan diri dalam dunia tersebut tanpa harus merasa tersandera oleh situasi
zaman now tersebut. Upaya-upaya pembaharuan diri harus terus dilakukan agar
guru agama katolik tidak dilihat ketinggalan zaman, kurang up date, atau kolot.
Artinya terus belajar secara terus menerus untuk memperbaharui diri.
Ketiga, perlunya fasilitas-fasilitas
pendukung. Keakraban dengan pelbagai media yang mendukung kegiatan
pembelajaran zaman now tidak lepas dari pembaharuan fasilitas-fasilitas
pendukungnya, mulai dari perangkat sampai dengan aplikasi-aplikasi yang
adaptatif. Semuanya harus berjalan seirama baik dalam hal kemampuan
pengelolaannya maupun fasilitas pendukungnya.
Keempat, interaksi terbuka dengan semua
pemampu kepentingan. Sebagai guru agama katolik zaman now, salah satu
aspek yang harus dikembangkan adalah kemampuan berinteraksi secara positif,
terutama dengan seluruh peserta didik,
rekan-rekan guru di sekolah, fungsionaris sekolah, pengurus komite
sekolah, orang tua siswa, dinas pendidikan, dan masyarakat serta para pemerhati
dunia pendidikan. Interaksi yang baik akan melahirkan iklim yang baik dalam
pengelolaan pendidikan di sekolah, termasuk pendidikan agama Katolik.
Sumber Bacaan