KESELAMATAN:
ANTARA TANGGAPAN DAN KEPANTASAN MANUSIA
Bacaan 1, Yesaya 25,6-10a; Mazmur Tggp: 23; Bacaan 2: Filipi 4,12-14;19-20; Bacaan Injil:
Matius, 22,1-14
INTRODUKSI
Kegiatan menghadiri pesta nikah bukan hal baru dalam
masyarakat kita. Kit akan merasa senang jika kita menerima undangan, baik lisan
maupun secara tertulis. Kita akan merasa dihormati sekali, apalagi kalau ketika
kita sampai di tempat pesta, orang yang mengundang itu datang dan mengajak kita
untuk duduk dan mengikuti acara-acara selanjutnya.
Bahkan kita akan merasa bersalah apabila kita tidak bisa
hadir dalam pesta nikahnya. Mungkin kita harus mencari banyak alasan untuk
dikatakan kepada yang bersangkutan, ketika kita bertemu, sebelum pertanyaan ke
luar dari mulutnya: “Mengapa kamu tidak dapat waktu pestaku?”
URAIAN
KITAB SUCI
Saudara/i...,
Dalam Injil hari ini difirmankan, “Kerajaan Surga
seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya.” Ungkapan
ini kiranya mengantar kita kepada pemahaman bahwa menghadiri “perjamuan nikah”
bukan hanya sekadar hadir dalam resepsi duniawi, melainkan mengikuti upacara
suci. Mengapa diistilahkan dengan upacara suci? Karena “perjamuan nikah” tidak
hanya diartikan sebagai kesatuan keakraban antara pengantin pria dan wanita,
melainkan suatu kesatuan keakraban antara Allah sendiri dan manusia ciptaan-Nya,
antara Kristus dan Gereja-Nya. Kebenaran kebenaran keakraban antara dua orang,
pria dan wanita, seperti yang banyak dikisahkan dalam Kitab Suci Kidung Agung, seperti
kisah di mana kedua mempelai saling memuji keelokan masing-masing (Kid 1:9;
2:7), saling mengungkapkan rasa rindu (Kid 3:1-5; 5:2-8), dan saling
mengungkapkan nikmatnya saat berduaan (Kid 7:6-8:4), mengungkapkan kedekatan
antara Allah dan manusia. Allah mengungkapkan kerinduan-Nya kepada manusia,
ingin berduaan dengan manusia, dan mengadakan perjamuan juga dengan manusia.
Saudara/i terkasih...,
Di dalam kidung-kidung itu, kasih antara kedua mempelai
tampil sebagai tempat kehadiran yang ilahi. Kehadiran-Nya nyata dalam hal yang
paling bisa dirasakan. Oleh karena itu, bagi orang Yahudi, ikut serta dalam
perjamuan nikah berarti mendekatkan orang pada kemanusiaan dan keilahian
sekaligus. Sebaliknya, penolakan terhadap undangan ikut serta dalam perjamuan
nikah bukan hanya sekadar tidak ikut pesta duniawi, sebagaimana yang kita
pahami dalam masyarakat.
Perumpamaan hari ini sungguh luar biasa. Sang Raja
sungguh rendah hati dan sabar. Perjamuan nikah sudah siap. Akan tetapi, para
undangan tidak mau datang. Mereka bukan hanya menolak undangan, melainkan
membunuh pengantar undangan. Keadaan yang sungguh mengecewakan. Tampaknya
justru inilah pesan pokok yang hendak ditunjukkan sang pewarta, yakni Allah
yang kecewa, karena kasih-Nya bertepuk sebelah tangan, kasih-Nya tidak
mendapatkan tanggapan dari manusia.
Sungguh luar biasa, sang raja tidak patah arang. Melalui
para hambanya ia mengundang orang yang berada di persimpangan jalan. Akhirnya,
pesta nikah itu dimeriahkan oleh kehadiran orang-orang yang berasal dari
persimpangan jalan.
Sang Raja berpikir, bahwa harus ada orang-orang yang
hadir, karena hidangan telah disiapkan dan nanti Tuhan akan menghapus setiap
air mata dari wajah setiap orang. Tuhan Yahwe tidak ingin umat Israel menangis
dan merasa ditinggalkan; namun Tuhan menghidangkan bagi mereka perjamuan.
Inilah yang ditekankan pada bacaan pertama dari Nabi Yesaya. Hidangan ini tidak
hanya ditujukan kepada mereka yang punya jabatan penting dalam masyarakat,
melainkan juga kepada mereka yang berada di persimpangan jalan.
Persimpangan
jalan ialah suatu tempat di mana orang berkumpul dengan aneka macam
keperluan: istirahat, menunggu kesempatan kerja, menunggu mobil untuk
ditumpangi, melewatkan waktu sambil bersantai-santai, berjualan, membeli, dan
sebagainya. Orang-orang seperti itulah yang diundang datang ke
perjamuan nikah. Tampak di sini bahwa sang raja ingin berbagi kegembiraan.
Kegembiraan akan menjadi lengkap jika orang yang diundang ini datang dan ikut
merasakan bersama kebahagiaan itu.
APLIKASI
- PRAKTIS
Bagian akhir Injil hari ini agak mengejutkan. Mengapa?
Karena setelah ruangan pesta penuh, dimeriahkan oleh orang-orang dari
persimpangan jalan, tiba-tiba sang raja marah dan menegur orang yang datang
tanpa mengenakan pakaian pesta.
Teguran
sang raja kiranya bisa dijelaskan sebagai berikut: bahwa dalam cara pikir orang Semit (Yahudi – Timur Tengah), pakaian
memberi bentuk kepada orang yang memakainya. Artinya, dengan pakaian yang
dikenakan, ia dapat dikenali. Dengan berpakaian pesta, ia memang mau menghadiri
pesta itu, dan bukan untuk rapat RT atau urusan lain. Oleh karena itu, dengan
tidak mengenakan pakaian pesta, berarti ia tidak sungguh-sungguh ingin datang
mengikuti pesta.
Saudara/i terkasih...,
Ada beberapa hal yang hendak disampaikan kepada kita
pesan Sabda Tuhan hari Minggu Biasa ke 28 ini:
Pertama, Kerajaan Surga
bukanlah tempat yang sudah jadi, seperti sebuah rumah yang siap untuk diberkati
dan ditempati. Sebaliknya, Kerajaan Surga itu seperti bakal rumah yang siap untuk
kita bangun. Bahan-bahan sudah ada, seperti kesempatan berbuat baik,
rajin berdoa, melakukan sedekah, mengutamakan kejujuran, dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk
tingkah laku inilah yang seharusnya kita bangun, karena hasilnya ialah Kerajaan
Allah kita. Karena itu kita diajak untuk membangun nilai-nilai ini. Kita tidak
hanya mendengar ajakan atau undangan, tetapi kita kita harus mengikuti dan
menghadiri undangan itu dengan meninggalkan sikap santai kita di persimpangan
jalan hidup kita, meninggalkan perasaan malas-malasan di rumah, dengan pergi ke
perkumpulan doa atau ekaristi di Gereja, dll. Inilah wujud bahwa kita ingin
ikut ke pesta perjamuan itu. Injil hari ini menunjukkan kepada kita tentang
Allah yang kecewa, bertepuk sebelah tangan, kasih-Nya membentur dinding. Dia
berusaha menyelamatkan, namun manusia menolaknya. Apakah kita juga akan
menambah jumlah orang yang mengecewakan Allah?
Kedua, ialah ajakan untuk merindukan
kebahagiakan kekal, dengan meningkatkan kepantasan hidup kita – pakaian pesta
(hidup di surga bersama Allah Bapa, dan Putera dan Roh Kudus). Namun anehnya,
justru kita sering menolak undangan Tuhan agar kita bisa menikmati kebahagiaan
Surga itu. Bentuk-bentuk penolakan itu misalnya 1) tidak bertekun mengikuti
Perayaan Ekaristi; 2) malas berdoa pribadi atau bersama secara rutin; 3) tidak
tertarik masuk ke dalam kegiatan rohani / kategorial misalnya doa legio maria /
OFS atau kegiatan gerejani lainya, tidak ingin hadir dalam pendalaman APP atau
pendalaman Kitab Suci karena sibuk (tapi kalau diajak teman untuk memancing,
pasti punya banyak waktu). Kita malah sibuk dengan urusan duniawi yang menurut
kita lebih penting daripada urusan rohani yang menyelamatkan. Jadi kita diajak
untuk memiliki kerinduan akan Kerajaan Allah itu melalui aktif menghadiri
kegiatan-kegiatan rohani, karena dengan itu kita membangun Kerajaan
Allah kita. Amin
Telukdalam, 12 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar