Selasa, 04 April 2023

GURU AGAMA KATOLIK DI ERA MILLENIAL

 P. Sergius Lay, OFMCap

 1.             Catatan Pengantar

Dalam tahun-tahun terakhir ini, kita sering mendengar banyak ungkapan yang keluar dari mulut banyak orang tentang beberapa istilah yang populer dan familiar, seperti: “generasi milenial”, “generasi digital”, “generasi 4.0”, “generasi disrupsi”, dan lain sebagainya. Seluruh generasi itu dalam situasi yang sama, di jaman yang sama, yang sering orang sebut dengan “zaman now”.[1]

Sebagai calon dan juga yang sedang aktif sebagai pendidik agama katolik, baik dalam lingkungan pendidikan formal, non formal maupun informal, Guru Pendidikan Agama Katolik (Guru PAK) memiliki kewajiban untuk mengerti dan memahami karakteristik peserta didik / siswa yang hidup di jaman ini. Pengenalan yang baik akan karakteristik jaman ini akan sangat membantu mereka untuk menempatkan diri secara bijak serta melakukan tindakan mendidik, mengajar, membina dan melatih peserta didik dan mampu mempersiapkan peserta didik yang dihadapinya menyambut situasi jaman yang merupakan bagian dari lingkungan kehidupannya. Sebagai pendidik, mereka harus mampu menjembatani ruang / jarak antara dunia kehidupan dan dunia imajinatif dan cita-cita kaum muda.

Tulisan ini hendak mengangkat tentang bagaimana peran, fungsi dan kontribusi calon guru agama katolik dan guru agama katolik di jaman yang semakin cepat berubah ini. Tulisan ini sekaligus membantu para calon guru agama katolik sekaligus mahasiswa pada program pendidikan dan pengajaran agama katolik untuk menempatkan diri di tengah arus perubahan jaman dan bagaimana seharusnya menyiapkan para peserta didik menyambut masa depan mereka, terutama dalam bidang keagamaan katolik.

 

2.             Guru PAK di Zaman yang semakin Kompleks

Semua manusia yang hidup pada masa kini, tentu menghadapi pelbagai kerumitan dalam hal berinteraksi, bersosialisasi dan berkomunikasi satu sama lain. Kerumitan tersebut dapat dimengerti karena manusia sekarang berhadapan dengan beberapa kenyataan hidup sosial yang hadir melalui istilah-istilah atau ungkapan yang menunjukkan karakteristik jaman ini.[2]

Beberapa karakteristik yang layak disebut adalah “zaman now”, “zaman milenial”, “jaman digital”, dan “zaman disrupsi”. Istilah pertama adalah “zaman milenial” yang sering diartikan sebagai generasi yang lahir di tahun 1980 sampai tahun 2000an. Istilah generasi milenial berasal dari kata “millennials” yang diciptakan oleh dua ahli sejarah dan penulis Amerika, yaitu William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya. Istilah ini selalu dikaitkan dengan teknologi, karena generasi ini “open minded” atau terbuka terhadap pertumbuhan teknologi. Generasi milenial ini memiliki peran yang sangat besar di era digital, misalnya melalui kecanggihan smartphone, mereka sudah bisa membuat berbagai konten dan bisa mengakses apa saja dengan mudah. Dengan ide-ide kreatif, mereka bisa memulai karirnya menjadi content creator, youtuber, dan juga membuka onlineshop. Banyak sekali generasi milenial yang sukses berkat kemajuan teknologi sekarang.

Istilah kedua adalah “zaman digital” yang sering diartikan sebagai generasi yang tumbuh dalam kemudahan akses informasi digital dan teknologi informasi. Generasi ini lahir setelah tahun 2014 dan sangat dekat dengan perkembangan teknologi komputasi digital. Adanya teknologi ini membuat mereka merasa nyaman dengan keberadaan teknologi, bahkan menjadikannya seperti kebutuhan primer. Selain itu, paparan ini menjadikan generasi digital sebagai ahli dengan teknologi tersebut yang melebihi orang-orang dari generasi sebelumnya. Zaman digital ini ditandai oleh beberapa karakteristik dari generasinya seperti cenderung menuntut kebebasan yang lebih, sangat senang mengekspresikan diri mereka, hidup dalam iklim berkecepatan tinggi (berpikir, merasa dan bertindak), memiliki banyak sumber belajar, lebih memilih komunikasi 2 (dua) arah, suka berbagi dan berkolaborasi, dan lain sebagainya.

Istilah ketiga adalah “zaman revolusi industri 4.0”. Revolusi industri 4,0, dicetuskan pertama kali oleh sekelompok perwakilan ahli berbagai bidang asal Jerman, pada tahun 2011 lalu di acara Hannover Trade Fair. Dikatakan bahwa industri saat ini telah memasuki inovasi baru, di mana proses produksi mulai berubah pesat. Pemerintah Jerman menganggap serius gagasan ini dan tidak lama menjadikan gagasan ini sebuah gagasan resmi. Setelah resminya gagasan ini, pemerintah Jerman bahkan membentuk kelompok khusus untuk membahas mengenai penerapan Industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 menerapkan konsep automatisasi yang dilakukan oleh mesin tanpa memerlukan tenaga manusia dalam pengaplikasiannya. Banyak pekerjaan sekarang ini dimudahkan dilakukan oleh mesin dan mulai mengesampingkan tenaga manusia. Ini semua terjadi demi efisiensi waktu, tenaga kerja, dan biaya. Penerapan Revolusi Industri 4.0 di pabrik-pabrik saat ini juga dikenal dengan istilah Smart Factory.

Istilah keempat adalah “zaman disrupsi”. Era / zaman disrupsi dilihat sebagai fenomena di mana masyarakat menggeser aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya. Karena itu, disrupsi adalah perubahan besar yang mengubah tatanan hidup manusia dan bahkan alam semesta. Fenomena menjamurnya e-Commerce hari ini merupakah salah satu contoh disrupsi.

 

3.        Lima Generasi yang Hidup dalam Satu Zaman

Banyak anak muda sekarang menyebut jaman mereka dengan “zaman now”.[3] Mereka menyebut istilah ini untuk membedakan zaman mereka dari jaman sebelumnya, yang dalam arti tertentu menurut mereka bahwa seluruh karakteristik dari sifat dan sikap zaman sebelumnya tidak dapat dipertahankan lagi dan dipraktekkan pada zaman mereka. Kebiasaan itu harus ditinggalkan dan semua orang harus beradaptasi dengan karakteristik zaman mereka sekarang, yang mereka sebut dengan “zaman now” tersebut.[4]

Istilah “zaman now” sering dikaitkan orang dengan generasi manusia yang hidup pada saat sekarang, dan pada saat yang sama. Istilah “zaman now” juga sering disebut dengan zaman milenial, zaman digital, zaman dan lain sebagainya. Kebanyakan para ahli menggolongkan “zaman now” ini  dalam 5 (lima) generasi, yang hidup pada saat yang bersamaan, yaitu: generasi Baby Boomers, X, Y, Z dan Alpha. Kita bisa membayangkan rumitnya mengelola hidup bersama jika pada saat dan tempat yang sama, terdapat lima generasi dengan sifat dan karakteristik yang berbeda namun mereka hidup dan berada secara bersama di suatu tempat dan waktu yang sama. Tentu kecocokan dan konflik antara generasi silih berganti terjadi, namun bisa jadi lebih banyak terjadi gesekan-gesekan kepentingan kepentingan.[5]

 

3.1    Generasi Babby Boomers

Menurut para ahli, generasi Babby Boomers adalah generasi yang hidup antara tahun 1940 sampai dengan 1960, atau yang sekarang sedang berusia 60 s/d 80 tahun. Awalnya, istilah “Babby Boomers” muncul karena ciptaan generasi Z dan generasi milenial, yang secara tidak langsung ingin membedakan sifat dan karakteristik mereka serta sebagai sikap ekstrim untuk membedakan generasi Z dari generasi Babby Boomers yang suka menggurui dan mengatur serta dianggap sebagai pemegang segala kewenangan atas generasi baru, yang menurut generasi Z, semua sifat itu sudah tidak cocok lagi untuk zaman now.

Jadi, istilah Babby Boormers sebenarnya muncul sebagai ungkapan ketidaksukaan Generasi Z dan milenial kepada “generasi tua  lansia” untuk merespons sikap yang tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan generasi Z. Menurut mereka, generasi Baby Boomers itu gemar menggurui dan kurang relevan untuk zaman sekarang.

Terdapat kurang lebih 4 (empat) sifat atau karakteristik dari Generasi Babby Boomers, yaitu: “menghargai hubungan, berorientasi pada hasil, memiliki kepercayaan diri yang tinggi, serta merasa serba bisa dalam banyak hal”.[6] Pertama, menghargai hubungan. Generasi Baby Boomers percaya bahwa waktu yang dihabiskan bersama keluarga atau orang terdekat harus baik dan berkualitas, tidak boleh seluruh usaha itu berakhir sia-sia tanpa arti. Kedua, berorientasi pada hasil. Pada umumnya Generasi Baby Boomers harus bekerja keras untuk mencapai impian mereka saat ini. Setiap pekerjaan harus jelas, terukur dan memiliki hasil yang jelas sebagai hasil dari kerja keras. Ketiga, memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Generasi Babby Bommers cukup percaya bahwa kemampuan diri sendiri adalah sangat penting, terutama dalam memengaruhi orang lain untuk juga bekerja keras seperti yang mereka lakukan. Keempat, merasa serba bisa dalam banyak hal.

 

3.2    Generasi X

Generasi kedua yang hidup juga pada zaman now adalah dikenal dengan Generasi X (Gen X). Generasi X merupakan salah satu generasi yang lahir antara tahun 1961 sampai dengan 1980, atau yang sedang berusia yang pada saat ini berusia 40 s/d 60 tahun. Kemungkinan besar mereka yang lahir pada generasi X sekarang ini sudah menduduki berbagai macam posisi penting dalam dunia kerja.

Beberapa karakteristik dari orang-orang yang berasal dari Generasi X adalah orang-orang yang mewarisi budaya kerja, pengetahuan, pengalaman serta kebijakan yang cukup baik setelah memasuki usia pensiun. Mereka akan memberikan memberikan teladan yang baik bagi generasi selanjutnya, yaitu Generasi Milenial.

Adapun ciri dan karakteristik spesifik dari Generasi X adalah: Pertama, beradaptasi dengan teknologi. Jika Generasi Babby Boomers dianggap cukup kolot dengan teknologi, Generasi X lebih memperlihatkan kemampuan adaptasi dan keahliannya dengan alat-alat teknologi. Mereka juga berusaha menggunakan alat-alat teknologi untuk membantu mereka dalam mempercepat pekerjaan sehari-hari. seseorang. Kedua, bersifat individual. Pada masa ini, sudah mulai muncul banyak wanita yang terlibat dalam dunia kerja, dan istilah wanita karir menjadi cukup familiar. Pekerjaan di luar rumah tidak hanya dilakonkan oleh kaum laki-laki, tetapi banyak pekerjaan yang dilakukan laki-laki sudah dapat dikerjakan oleh kaum wanita, yang secara ekonomis turut menopang kesejahteraan hidup keluarga. Keterlibatan kaum wanita usia kerja dalam dunia kerja ini mengakibatkan anak-anak kurang mendapat perhatian lebih dari orang tua. Bahkan banyak dari mereka yang di titipkan kepada orang lain. Akibatnya, banyak anak-anak yang tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang banyak akal dan independen. Sikap individualistis juga lahir dari pergeseran peran wanita dalam dunia kerja ini. Ketiga, pribadi yang fleksibel. Salah satu kecendrungan  Generasi X adalah tidak ingin akan pekerjaan yang menetap. Keinginan ini dilatarbelakangi oleh sikap ambisius mereka untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik, serta mengekspresikan diri mereka melalui pekerjaan yang mereka tekuni, serta keinginan belajar dengan hal-hal baru. Keempat, menghargai keseimbangan hidup. Generasi X dapat dikatakan cukup berbeda dari pendahulunya. Mereka memiliki visi utama bahwa mereka bekerja untuk hidup, dan bukan hidup untuk bekerja. Dalam menjalani hidup, mereka cenderung lebih menyukai suasana yang menyenangkan pada lingkungan kerja. Karena itu, orang-orang dari Generasi X akan berusaha mencari suasana relaks atau refresh di sela-sela waktu kerja yang serius itu.

 

3.3    Generasi Y

Generasi ketiga disebut dengan Generasi Y (Gen Y), sering disebut juga sebagai Generasi Milenial. Banyak ahli sering mengelompokkan Generasi Y adalah mereka yang lahir antara tahun 1980-an sampai dengan tahun 1996. Kebanyakan Generasi Y adalah anak-anak dari Generasi Babby Boomers dan Generasi X.

Generasi Y lahir dan berkembang dalam iklim perubahan yang terjadi secara cepat. Mereka juga sangat menyadari kecepatan perubahan itu dan secara otomatis juga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mereka untuk cepat. Cara berpikir dan bertindak mereka sangat dipengaruhi oleh fasilitas teknologi yang sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Sejak lahir, mereka sudah bergaul atau mengenal pelbagai jenis sarana telekomunikasi digital, sehingga generasi mereka disebut juga digital native. Generasi Y tidak bisa terlepas dari teknologi dalam melakukan aktivitasnya. Mulai dari transportasi, pekerjaan, dan pembayaran transaksi. Selain itu, teknologi juga berperan dalam interaksi sosial generasi milenial yang cenderung menggunakan media sosial dalam melakukan interaksinya. Generasi ini mudah beradaptasi dengan teknologi baru, dan selalu menerapkan teknologi baru dalam kehidupannya.

Beberapa karakteristik Generasi Y atau Generasi Milenial adalah memiliki komitmen terhadap organisasi tempat mereka berada. Untuk mereka, pekerjaan merupakan salah satu prioritas, namun bukanlah yang utama, mereka menyukai ketentuan-ketentuan atau peraturan yang tidak berbelit-belit, memiliki kepribadian yang terbuka atau transparan. Generasi Y dalam berorganisasi memiliki orientasi kepada tim dan memiliki soliditas dengan rekan tim, cenderung menyukai feedback dan juga suka pelbagai tantangan baru.

Dalam urusan politik, mereka memiliki pandangan yang cenderung sosial liberal. Mereka cenderung memiliki sikap teguh pada pendiriannya masing-masing dan sesuai dengan informasi, rasa politik, dan nilai yang mereka yakini sebagai benar. Dalam urusan keagamaan, mereka memiliki kecenderungan untuk tidak tidak memiliki agama. Hal ini berhubungan dengan situasi sekularisasi yang cenderung membawa orang untuk tidak harus memiliki dan meyakini kepada salah satu agama. Dengan demikian ateisme dan agnostisisme sangat mungkin bisa menarik mereka ke situasi itu.

Seorang psikolog Jean Twege, mengatakan bahwa Generasi Y memiliki sifat entitlement dibanding generasi pendahulunya. Sifat entitlement adalah sifat yang menganggap bahwa diri sendiri lebih baik dari orang lain. Konsep ini memiliki konsekuensi bahwa dirinya harus menerima lebih daripada orang lain. Mereka percaya bahwa jika mereka memiliki hak istimewa, yang mana hak yang diinginkan cenderung memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi, seperti; mendapatkan jabatan tertentu tanpa melalui proses panjang, juga sukses secara instan.[7]

 

3.4    Generasi Z

Generasi keempat disebut dengan Generasi Z (Gen Z), dan merupakan peralihan dari generasi Y. Generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 sampai tahun 2009, dan pada saat internet berkembang pesat dan sangat tergantung kepada perkembangan teknologi gadget dan aktivitas di media sosial. Mereka juga lahir ketika mereka tidak tahu kapan muncul internet, computer, telepon genggam, dan alat komunikasi lainnya. Dalam seluruh hidup mereka, hampir semuanya dilingkupi oleh seluruh fasilitas digital dan selalu bergaul dengan dunia internet dan digital. Generasi ini sering juga disebut dengan Generasi NET. Jadi, Generasi Z atau Generasi NET ini hampir menghabiskan waktu setiap jamnya untuk bergaul dengan media sosial.[8]

Ketergantungan akan teknologi sosial media membuat mereka suka dengan hasil instan dan cepat, cenderung keras kepala, dan selalu terburu-buru. Walaupun demikian, mereka suka dengan tantangan baru namun haus akan pujian. Aktivitas sosial dan bergaul adalah aktivitas yang sangat dinikmati sehingga tak mereka rela mengeluarkan banyak uang untuk bersenang-senang.

Dalam hal bekerja dan berorganisasi, Generasi Z lebih senang dengan jenis pekerjaan di perusahaan start up, multi tasking, sangat menyukai teknologi dan ahli dalam mengoperasikan teknologi tersebut, peduli terhadap lingkungan, mudah terpengaruh terhadap lingkungan mengenai produk ataupun merek2, pintar dan mudah untuk menangkap informasi secara cepat.

Psikolog Elizabeth T. Santosa dalam bukunya yang berjudul "Raising Children in Digital Era" mencatat ada 7 karakteristik generasi yang lahir di era digital ini: memiliki ambisi besar untuk sukses, berperilaku instan, cinta kebebasan, percaya diri, menyukai hal-hal yang detail, keinginan untuk mendapatkan pengakuan, penguasaan teknologi informasi dan digital.[9]

 

3.5         Generasi Alpha

Generasi kelima adalah Generasi Alpha. Generasi ini adalah mereka / anak-anak yang lahir setelah tahun 2010 dan hidup di masa di mana semua serba digital. Para orang tua dari Generasi Alpha ini mendapat tantangan tersendiri dalam mengasuh dan membesarkan anak-anak generasi ini. Anak-anak yang hidup dalam generasi ini tumbuh dalam masyarakat yang lebih heterogen, sehingga cara berpikir mereka lebih terbuka tentang orang yang berbeda dari dirinya serta sangat merasa nyaman dengan teknologi.[10]

Secara umum, sifat dan karakter Generasi Alpha masih penuh misteri, mengingat mereka sedang bertumbuh dan berkembang menjadi anak-anak remaja di masa sekarang. Namun sudah banyak catatan yang menguraikan tentang sifat atau karakteristik dari dari Generasi Alpha, walaupun sifatnya masih prediktif, misalnya: sangat memahami dunia teknologi serta melihat bahwa teknologi bukanlah pelengkap dalam hidup melainkan bagian dari gaya hidup, berkat akses kepada teknologi yang besar dan luas maka generasi ini menjadi generasi yang berwawasan luas dan cerdas serta terdidik, realitas hidup mereka adalah artificial intelligence, pembelajaran yang sangat personal, sangat menekankan interaksi sosial melalui media sosial, tidak suka berbagi, tidak suka mengikuti aturan, tidak bisa diprediksi, masa kecil yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, pola makannya sangat berbeda, bergaya fungky, dan lain sebagainya. Salah satu hal yang mengkhawatirkan adalah bahwa karena kedekatan dengan teknologi dapat menyebabkan mereka menjadi jauh dari sejarah dan hidup serta budaya para leluhurnya.

 

4.             Kemungkinan Konflik

Sebagai seorang Guru PAK, kecekatan untuk melihat situasi yang merupakan bagian dari hidupnya adalah sesuatu yang harus dilakukannya. Guru PAK berada bersama dengan variasi generasi yang bisa memberikan pelbagai kemudahan dan kesualitan dalam hidup bersama. Mengelola hidup bersama yang didasarkan pada keadaan manusia yang heterogen seperti ini bukanlah hal yang mudah, melainkan membutuhkan banyak usaha untuk mengelola hidup bersama sehingga hidup bersama dapat berlangsung dengan baik.

Seorang Guru PAK yang seharian berada di lingkung sekolah bersama dengan penerasi manusia yang berbeda, sudah seharusnya memiliki kemampuan membaca pelbagai kemungkinan terjadinya konflik tersebut, yang mungkin saja sifatnya vertikal dan juga horizontal. Sifat vertikal dalam arti hubungan antara misalnya generasi Y dan generasi Z, atau antara generasi X dan generasi Z; sedangkan sifat horizontal dalam arti hubungan antara orang-orang dari generasi yang sama namun memiliki perbedaan dalam hal kebutuhan dan kepentingan yang situasional.[11]

Mungkin kita dapat melihat beberapa jenis konflik yang dapat terjadi dalam kehidupan bersama di dunia sekolah dan pendidikan. Pertama, konflik terkait otoritas kebenaran. Ada kecendrungan dalam hidup bersama bahwa para “senior” cenderung memposisikan diri sebagai orang yang lebih banyak tahu. Para senior sering melihat diri mereka sebagai Fenomena ini mengakibatkan mereka sering menggurui para “junior” dan beranggapan bahwa mereka tidak banyak pengetahuannya dan harus terus disosialisasikan kepada mereka. Hal ini berakibat kaum “junior” bersikap cuek dan tidak ingin bergabung dengan kaum “senior”.

Kedua, konflik terkait penguasaan fasilitas teknologi. Berhadapan dengan perkembangan teknologi informasi dan digital yang begitu cepat dan menyebar, generasi Alpha merasa lebih banyak tahu daripada generasi-generasi sebelumnya. Anggapan bahwa generasi sebelumnya adalah kolot dan tidak mengerti menjadikan generasi Alpha menguasai generasi-generasi sebelumnya. Namun generasi sebelumnya juga mengklaim bahwa mereka memiliki pengalaman dalam memulai semua hal yang sekarang dinikmati oleh Generasi Alpha. Selain itu, ada juga anggapan bahwa tidak semua persoalan hidup yang dapat dan harus dipecahkan dengan fasilitas teknologi zaman now.

Ketiga, konflik terkait isolasi grup. Perbedaan yang terus terjadi dan mengendap dapat membuat setiap generasi mengisolasi diri mereka dari yang lain. Mereka cenderung untuk tidak ingin bergaul dengan atau bersama pribadi-pribadi dari generasi yang lainnya serta akhirnya melihat pribadi-pribadi dari generasi lainnya adalah bahaya untuk mereka sendiri.

Keempat,

 

5.        Tantangan Guru PAK di Zaman Now

Guru Pendidikan Agama Katolik (Guru PAK) di zaman ini menghadapi pelbagai tantangan yang harus dihadapi dan dikelola dengan baik. Selain perubahan-perubahan yang terkait dengan akses informasi dan telekomunikasi yang begitu mudah, masalah disrupsi adalah hal lain yang muncul bersama dengan mudahnya akses melalui media Online kepada sumber-sumber pengetahuan. Situasi yang menuntut peserta didik agar mampu berpikir secara kritis, berkolaborasi, memecahkan masalah, mengambil keputusan dan berpikir kreatif harus dihadapi guru.  Guru harus benar-benar mampu menyiapkan berbagai hal agar dapat mencetak generasi muda agama katolik yang lebih kompeten di masa mendatang agar sungguh dewasa secara intelektual maupun secara religius.

Menjadi seorang guru agama bukanlah profesi yang mudah. Selain menguasai ilmu keguruan secara umum, guru agama juga harus menguasai ilmu keagamaan secara baik dan menghayati praktek keagamaan secara jujur. Totalitas dan komitmen yang besar dalam mengajar dan mendidik harus dimiliki oleh Guru Agama dan menjadi modal utama agar terciptanya peserta didik yang beragama katolik yang cerdas dalam pengetahuan, memiliki moral dan etika yang baik untuk menyiapkan masa depannya.  Fenomena yang terjadi saat ini guru sebagai seorang pendidik dituntut mencerdaskan anak bangsa, serta melahirkan masa depan bangsa yang gemilang.

Dalam dunia digital / milenial / jaman now ini, peran Guru PAK rentan tergeser dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Internet dengan variasi informasinya kadang dijadikan acuan utama oleh generasi Z dan generasi Alpha dibandingkan dengan perkataan para Guru.  Lahirnya platform pendidikan virtual pun turut menggeser posisi Guru di era ini. Bahkan, di beberapa sekolah sudah menerapkan sistem belajar Online di mana tatap muka antara Guru dan murid tak lagi dibutuhkan.  Kini, Guru lah yang harus mengikuti perkembangan zaman dan menikmati proses bergesernya peran mereka di era disrupsi ini. Sebagian contoh ada banyak "start up" yang lahir di bidang pendidikan. Guru harus memulai mengubah cara-cara lamanya serta fleksibel dalam memahami hal-hal baru dengan lebih cepat.  Ada hal yang perlu menjadi perhatian bersama di dalam dunia pendidikan kita sekarang.[12]

Guru lebih memprioritaskan jenjang karirnya dengan standar yang telah di tetapkan oleh pemerintah, hal ini dikhawatirkan bisa membuat Guru lupa dengan tugas awalnya, yaitu mendidik siswa/murid.  Teruntuk para Guru di mana pun berada, lakukan perubahan kecil dalam proses pembelajaran di kelas sebagai wujud inovasi dan kreativitas. Percayalah bahwa setiap murid memiliki keistimewaan tersendiri. Cara guru adalah temukan bakar terpendam dari murid yang kurang percaya diri, karena setiap anak adalah istimewa. Setiap anak memiliki kehebatan masing-masing.

 

6.        Sikap-Sikap yang Perlu

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa bukanlah hal yang mudah untuk mengelola hidup bersama, mengelola suasana pendidikan dana mengelola dinamika pendidikan secara bersama di dalam satu lingkungan sekolah dengan generasi yang berbeda-beda. Seorang Guru PAK, bisa saja berasal dari generasi Babby Boomers, atau Generasi X atau Generasi Y atau bahkan dari generasi Z, harus memahami beberapa sikap yang perlu dihidupi dalam kebersamaan tersebut. Di sini akan dicoba ditawarkan beberapa sikap yang perlu dihidupi oleh para Guru PAK.[13]

Pertama, Guru PAK paham dengan teknologi digital. Untuk dapat mendidik dengan baik, maka sangat dianjurkan agar setiap pendidik dan terutama Guru PAK untuk memahami secara tepat fungsi dan peran dari hadirnya teknologi digital. Guru PAK harus mengerti dengan baik hal-hal positif dan negatif dari alat-alat digital yang dipakai oleh generasi zaman now. Pemahaman yang baik tentang hal-hal positif dan negatif tersebut menjadi dasar untuk pendampingan kepada peserta didik dalam berhubungan dengan sumber-sumber pengetahuan yang ditawarkan.

Kedua, Guru PAK menghindari sikap otoriter. Status senioritas di dunia pendidikan / persekolahan atau ketiga berada di dalam kelas dapat menyebabkan seseorang Guru PAK memiliki sikap otoriter terhadap peserta didik. Guru PAK merasa diri lebih banyak mengetahui tentang ilmu-ilmu agama dan ilmu lainnya dan pada waktu yang sama beranggapan bahwa peserta didik adalah pribadi yang tidak memiliki pengetahuan dan kepada mereka harus disosialisasikan pelbagai pengetahuan. Sikap ini tidak cocok lagi untuk kondisi sekarang di mana peserta didik telah berhadapan dengan pelbagai sumber pengetahuan yang banyak dan mudah diakses melalui perangkat digital. Yang perlu ialah bagaimana Guru PAK menemani peserta didik untuk sampai kepada sumber pengetahuan dan mengelola pengetahuan tersebut sebagai kekuatan untuk memperkaya diri dan sesama.

Ketiga, Guru PAK memperhatikan pembentukan emosi dan perasaan. Terkait dengan sumber pengetahuan, peserta didik berhadapan dengan banyak sumber pengetahuan. Secara kognitif, otak dan intelektual, peserta didik memiliki banyak hal yang dapat membentuk aspek kognitif mereka. Namun dalam aspek pembentukan emosional dan perasaan menjadi tugas utama orang tua di rumah dan juga para guru di sekolah. Guru PAK memiliki peran penting untuk mendidik peserta didiknya melalui pembinaan emosional dan perasaan di lingkung sekolah dan lingkungan kelas. Anak didik tidak boleh dibiarkan bertumbuh hanya dalam aspek kognitif melainkan harus seimbang dengan aspek-aspek lainnya seperti psikomotorik dan emosional - perasaan.

Keempat, Guru PAK harus memahami bahwa interaksi peserta didik sekarang terjadi secara Online. Menyebarnya media-media Online serta sarana-sarana komunikasi yang memudahkan interaksi antara manusia menyebabkan anak-anak didik jaman sekarang cenderung dan bahkan selalu melakukan interaksi dan komunikasi melalui perangkat digital. Secara tidak langsung, situasi itu mengajak seluruh pendidik dan tenaga pendidik serta juga orang tua dan terutama para Guru PAK untuk menerima situasi ini serta melakukan pelbagai kegiatan komunikasi tentang kegiatan pendidikan umum dan pendidikan keagamaan katolik melalui media Online.

Kelima, Guru PAK harus secara netral berinteraksi dengan peserta didik melalui media Online dan kontak langsung. Keharusan untuk berinteraksi dengan peserta didik melalui media Online tidak boleh mengesampingkan pentingkan interaksi langsung. Dalam banyak alasan, interaksi langsung dengan peserta didik tetap memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan interaksi melalui media Online. Maka Guru PAK harus meluangkan waktu sesering mungkin untuk berinteraksi langsung dengan peserta didik: bermain bersama, belajar bersama, cerita bersama, berdoa bersama, berwisata bersama, dan lain sebagainya.

Keenam, Guru PAK harus tetap percaya kepada peserta didik dalam hal akses ke media Online. Sikap positif terhadap peserta ketika bereksplorasi dengan media-media sosial perlu dijaga dengan baik. Sikap percaya tidak berarti bahwa Guru dan juga orang tua lepas bebas membiarkan anak-anak atau peserta didik mengakses secara bebas tanpa ada kontrol dari orang dewasa. Komunikasi yang baik yang dibangun untuk memberi ruang kepada Guru dan orang tua mengontrol setiap perilaku peserta didik dan anak-anak ketika mereka menggunakan fasilitas digital untuk menemukan sumber-sumber pengetahuan.[14]

 

7.             Catatan Refleksi – Penutup

Tidak mudah mengelola hidup bersama dalam dunia persekolahan atau dunia pendidikan jika terdapat beberapa generasi yang hidup bersamaan. Apalagi jika jarak antara generasi yang satu dengan generasi yang lain cukup lebar atau jauh. Namun kenyataannya adalah semuanya harus hidup bersama, lepas dari apakah seorang pribadi dari generasi tertentu menerima atau tidak situasi dan kondisi tersebut.

Berkaitan dengan uraian tentang Guru Agama Katolik di Era Millenial tersebut di atas, ada beberapa catatan refleksi yang perlu diketahui dan dipikirkan lebih lanjut oleh para Guru Agama Katolik Zaman Now.

Pertama, refleksi dan mendalami ilmu keagamaan katolik yang terus menerus. Konten yang disediakan oleh gereja akan dapat tersampaikan dengan baik kepada peserta didik jika guru agamanya telah memilikinya secara komprehensif. Ilmu yang telah dimiliki tersebut juga harus diperbaharui terus terutama refleksi-refleksi yang terkait dengan penghayatan hidup praktis.

Kedua, perlunya pembaharuan. Konten pembelajaran agama katolik harus dipastikan sampai kepada peserta didik, minimal untuk diketahui dan dihayati dalam praktek hidup konkret. Karena itu, cara menyampaikan konten tersebut harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sedang dihidupi atau dialami oleh dunia peserta didik. Karakteristik generasi zaman now perlu dipahami dan bahkan guru agama katolik perlu melibatkan diri dalam dunia tersebut tanpa harus merasa tersandera oleh situasi zaman now tersebut. Upaya-upaya pembaharuan diri harus terus dilakukan agar guru agama katolik tidak dilihat ketinggalan zaman, kurang up date, atau kolot. Artinya terus belajar secara terus menerus untuk memperbaharui diri.

Ketiga, perlunya fasilitas-fasilitas pendukung. Keakraban dengan pelbagai media yang mendukung kegiatan pembelajaran zaman now tidak lepas dari pembaharuan fasilitas-fasilitas pendukungnya, mulai dari perangkat sampai dengan aplikasi-aplikasi yang adaptatif. Semuanya harus berjalan seirama baik dalam hal kemampuan pengelolaannya maupun fasilitas pendukungnya.

Keempat, interaksi terbuka dengan semua pemampu kepentingan. Sebagai guru agama katolik zaman now, salah satu aspek yang harus dikembangkan adalah kemampuan berinteraksi secara positif, terutama dengan seluruh peserta didik,  rekan-rekan guru di sekolah, fungsionaris sekolah, pengurus komite sekolah, orang tua siswa, dinas pendidikan, dan masyarakat serta para pemerhati dunia pendidikan. Interaksi yang baik akan melahirkan iklim yang baik dalam pengelolaan pendidikan di sekolah, termasuk pendidikan agama Katolik.

 

 

Sumber Bacaan

Bala, Robert. Tantangan Guru Zaman Now. Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2018.

Mantenti, A. Vivere Insiema: Aspetti Psicologici. Bologna: Edizione Dehoniano, 2009.



[1] J. Hasugian (2011). Perpustakaan Digital dan Digital Natives. (Medan: Universitas Nommensen, 2011), hlm. 7-30.

[2] Robert Bala, Menjadi Guru Hebat Zaman Now (Jakarta: Gramediasarana, 2018), hlm. 55-183.

[3] Dalam ilmu linguistik (ilmu bahasa), bentuk “zaman now” terdiri atas dua kata, yakni zaman dan now. Secara etimologi, kata zaman berasal dari bahasa Indonesia yang artinya (1) jangka waktu yang panjang atau pendek yang menandai sesuatu; masa, dan (2) kala; waktu. Sementara now adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris yang bisa diartikan 'sekarang'. Dengan demikian secara harafiah “zaman now” dapat diartikan sebagai 'zaman sekarang' atau 'masa kini' atau juga 'saat ini'. Catatan lengkap tentang ini dapat dilihat dalam Fredy Maunareng, Pengertian Istilah "Zaman Now" dalam https://www.kompasiana.com/maunareng/59fd5d7374bbb02c55408b32/pengertian-istilah-zaman-now; diakses pada Senin, 30 November 2020, pukul 15.31 WIB.

[4] Uraian yang lebih detail tentang istilah “jaman now” dipakai oleh kaum muda sekarang, dapat dilihat dalam Agus Nurjaman, Guru Figur Sentral dalam Pendidikan (Bogor: Guepedia, 2016), hlm. 251-255.

[5] Salah satu buku yang menguraikan secara menyeluruh dapat ditemukan dalam Kay Hoflander, Musings and Adventures of a Baby Boomer, That Generation Before X, Y, and Z (Tanpa Kota Penerbit: AuthorHouse, 2020).

[6] Asni Harismi, Mengenal Generasi Babby Boomers, dari Sejarah hingga Karakteristiknya, dalam https://www.sehatq.com/artikel/generasi-baby-boomer-beserta-ciri-khasnya-yang-menonjol , diakses hari Senin, 2 November 2020, pukul 09.38 wib.

[7] Ervina, Prinsip dan Budaya Kerja Generasi Y yang Harus Diketahui, dalam https://www.talenta.co/blog/insight-talenta/prinsip-dan-budaya-kerja-generasi-y/ diakses hari Selasa, 22 September 2020, pukul 20.18 wib.

[8] Elisabeth T. Santosa, Raising Children in Digital Era (Jakarta: Elexmedia Komputindo, 2015), hlm. 1-16.

[9] Elisabeth T. Santosa, Raising Children…, hlm. 17-28.

[10] Bernandine Natasha, Mengenal Generasi Alpha dan Cara Mendidiknya, dalam https://www.popmama.com/kid/4-5-years-old/bernadine/mengenal-generasi-alfa-dan-cara-mendidiknya/4, diakses pada Selasa, 22 September 2020, pukul 21.09 wib.

[11] A. Manenti, Vivere Insieme: Aspetti Psicologici [terjemahan Bahasa Indonesia: Hidup Bersama: Aspek Psikologis], (Bologna: Edizione Dehoniane, 2009), hlm. 37-52

[12] Bdk. Abdul Arif, Tantangan Guru di Era Milenial, dalam https://www.ayotegal.com/read/2019/12/10/2117/tantangan-guru-di-era-milenial, diakses pada hari Selasa, 22 September 2020, pukul 22.38 wib.

[13] Yanuar S. Putera, Teori Perbedaan Generasi, Jurnal Among Makarti Vol.9 No.18, Desember 2016, hlm. 123-124.

[14] Bernandine Natasha, Mengenal Generasi Alpha dan Cara Mendidiknya, dalam https://www.popmama.com/kid/4-5-years-old/bernadine/mengenal-generasi-alfa-dan-cara-mendidiknya/5, diakses pada hari Selasa, 22 September 2020, pukul 23.15 wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RETREAT TAHUNAN KAPAUSIN KUSTODI GENERAL SIBOLGA 2023

  Para saudara dina dari Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga, pada tanggal 6 s/d 10 Noveember 2023, mengadakan retreat tahunan yang dilaksa...