Oleh: Sergius Lay *
1.
Catatan
Pengantar
Jansen Sinamo, seorang bapak etos kerja di Indonesia,
mengatakan bahwa “mental adalah komponen non fisik manusia yang menentukan cara
berpikir, cara memahami, cara meyakini, cara bersikap, cara berbicara, cara
bergaul, cara makan minum – berbusana, dan cara bekerja pada umumnya; termasuk
cara merayakan kemenangan dan cara menerima kekalahan”.[1]
Perubahan dalam tata kelakuan atau pola tingkah, pola berpikir
dan pola berbicara dari yang “lama” kepada yang “baru” itulah yang hendak juga
dikembangkan dalam dunia pendidikan, termasuk juga dalam dunia pendidikan /
sekolah katolik.
2.
Makna
Revolusi Mental[2]
Dalam bagian pengatar telah dilukiskan sedikit tentang sekilas
makna dari revolusi mental. Dalam bagian ini ingin diketengahkan dengan lebih
mendalam lagi tentang makna atau arti dari terminologi revolusi mental itu. Secara
umum, istilah “revolusi” adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang
berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan
masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau
tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau
melalui kekerasan. Perubahan yang dimaksudkan di sini ialah, jenis perubahan
yang berlangsung cepat, segera dan tidak boleh tertunda.
Secara etimologi, kata “mental” berasal dari bahasa Yunani, yang
mempunyai pengertian sama dengan pengertian psyche,
artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Secara sederhana mental dapat dipahami
sebagai sesuatu yang berhubungan dengan batin dan watak atau karakter, tidak
bersifat jasmani (badan). Oleh karena itu, kata mental diambil dari bahasa
Latin yaitu dari kata mens atau metis yang memiliki arti jiwa, nyawa,
sukma, roh, semangat. Dengan demikian mental ialah hal-hal yang berkaitan
dengan psycho atau kejiwaan yang
dapat mempengaruhi perilaku individu. Setiap perilaku dan ekspresi gerak-gerik
individu merupakan dorongan dan cerminan dari kondisi (suasana) mental.[3]
Oleh karena itu, revolusi mental ini mengacu kepada sebuah
usaha untuk mengubah mental-mental lama yang tidak baik, yang tidak sesuai
dengan karakter dasar bangsa atau karakter dasar budaya dan agama, dan diganti
dengan karakter Kebangsaan, keagamaan dan kekulturan yang baik dan memiliki
nilai untuk sebuah kemajuan.
3.
Mental
yang Harus di-Revolusi
Segala sesuatu yang terkait dengan sikap atau tindakan nyata
manusia, dilahirkan dari mentalitas yang menjadi endapan kebiasaan-kebiasaan
masa lalu (yang dianggap sebagai tidak baik), dan secara perlahan menjadi
tingkah laku yang permanen dalam diri seseorang. Endapan-endapan itu lahir dari
sikap manusia yang mendahulukan hal-hal yang badani / fisik atau materialistis
dan membelakangkan hal-hal yang rohani dan moral (spiritualitas), misalnya
mengutamakan uang, kekuasaan dan benda-benda daripada keadilan, kebenaran,
kepatuhan, keberadaban dan keselamatan.[4]
Karena itu, revolusi mental secara umum juga berkaitan dengan
perlunya pembalikan ulang segala sesuatu yang sudah “melenceng” dari yang
seharusnya menjadi standar berpikir, standar bersikap, dan standar bertindak
(nilai-nilai hidup). Dalam bahasa sederhana, bahwa revolusi mental mengajak
kita untuk mengutamakan jiwa dulu daripada badan, spiritual dulu daripada
material, dan moral daripada finansial.[5]
Sangat disadari bahwa cara merasa, cara berpikir dan cara
bertindak masyarakat pada jaman ini menunjukkan suatu ”mentalitas instan” dan
”mentalitas halus” yang mengkondisikan orang untuk berada jauh dari norma-norma
serta nilai-nilai yang diterima sebagai baik. Dalam kaitan ini, revolusi mental
ingin mengembalikan ke “jalan yang benar” nilai-nilai dan norma yang dianggap
original itu ke tempatnya. Pengembalian ini harus dijadikan suatu transformasi
perubahan yang mendasar dan menyeluruh dalam mentalitas kerja di segala bidang,
misalnya di bidang hukum, bidang agama, bidang politik, bidang administrasi,
bidang sains dan teknologi, bidang etika dan di bidang pendidikan. Seluruh
nilai-nilai dan norma tersebut harus dikembalikan dengan cepat dan radikal
serta melibatkan semua komponen bangsa / masyarakat ke tata asalinya.
4.
Revolusi
Mental dalam Dunia Pendidikan
Revolusi mental yang kembali dicanangkan oleh Jokowi sejak
beliau menjadi calon Presiden, menjadi sesuatu yang penting manakala hal ini
menjadi “semboyan” pergerakan bersama untuk semua aspek kehidupan, termasuk
dunia pendidikan kita.
Teriakan revolusi mental untuk direalisasikan juga di dunia
pendidikan dan sekolah di Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini sangat
dilatarbelakangi oleh situasi pendidikan di Indonesia yang tidak memberikan
pengaruh positif bagi cara merasa, cara berpikir dan cara bertindak dari banyak
generasi yang “dihasilkan” oleh lembaga pendidikan yang ada. Banyak problem
yang ada dalam dunia pendidikan dan sekolah yang menyebabkan hasil didikannya
tidak memberi pengaruh signifikan bagi masyarakat pada umumnya.[6]
Banyaknya cerita-cerita negatif yang mencuat ke publik tentang
kasus-kasus yang terjadi di lingkungan sekolah, misalnya yang dicatat oleh
koran “on line sindonews”,misalnya yang terkait dengan korban bully, penikaman guru oleh siswa,
penganiayaan guru oleh siswa, perkelahian antar siswa, dan lain-lain,
menunjukkan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan yang diterapkan di
lingkungan sekolah.[7]
Selain itu, persoalan-persoalan di lingkungan sekolah dan
pendidikan tidak hanya ditemukan di kalangan siswa, namun terjadi juga di
kalangan para guru / pegawai dan orang tua siswa. Sikap-sikap yang ditampilkan
secara tidak terhormat, misalnya guru / pegawai yang sering bahkan selalu
datang terlambat ke sekolah, guru merokok di lingkungan sekolah atau bahkan di
dalam kelas sambil mengajar, guru / pegawai yang sering tidak masuk mengajar,
guru yang sering memarahi siswa tanpa sebab, pungutan-pungutan liar dari siswa,
dan lain sebagainya, boleh jadi menjadi penyebab ketidakbaikan situasi di
lingkungan sekolah.[8]
Berdasarkan fakta-fakta seperti itu, maka jika ingin untuk
merevolusi mental dalam dunia pendidikan terutama di lingkungan kelas /
sekolah, maka seluruh aspek negatif tersebut harus dihilangkan dan diganti
dengan cara merasa, cara berpikir dan cara bertindak yang konstruktif. Para
guru dan pegawai harus keluar dari habitus
lama dan mengenakan secara baru habitus
baru dalam seluruh perjalanan hidupnya.
5.
Revolusi
Mental dan Sekolah-Sekolah Katolik
Perlukah sekolah-sekolah katolik merevolusi mental? Sudah
separah apakah sampai harus melakukan revolusi mental? Merevolusi dari mental
yang bagaimanakah agar menemukan kembali mentalitas yang diinginkan? Inilah
sederetan pertanyaan yang harus dijawab oleh pemangku kepentingan dalam
Lembaga-Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) serta orang-orang yang dipercaya untuk
mengurus Pendidikan Katolik di Sekolah-Sekolah Katolik.
5.1 Jejak Historis Sekolah Katolik di Indonesia
Kita mungkin sulit menelusuri kapan persisnya dimulai sebuah
lembaga pendidikan katolik atau sekolah katolik mulai lahir di Indonesia. Namun
dapat dipercaya bahwa sejak kehadiran Gereja Katolik di Indonesia sudah mulai
memikirkan pendidikan agama katolik kepada para katekumen dan juga kepada para
neo-katekumenat. Dapat juga diyakini bahwa sejak saat itu Gereja melalui
kehadiran biara-biara atau tarekat / ordo / kongregasi. Salah satu catatan
historis yang menunjukkan kehadiran sekolah katolik di Indonesia adalah sekolah
yang didirikan oleh pastor Van Lith di Muntilan pada tahun 1895. Usaha ini
bertumbuh subur dan turut mempengaruhi perkembangan dan kelahiran sekolah-sekolah
katolik lainnya di seluruh wilayah nusantara.
Pada masa sekarang, sekolah-sekolah katolik telah hadir
seluruh wilayah keuskupan yang ada di Indonesia, termasuk tempat-tempat di mana
Gereja Katolik hadir dan hidup sebagai kaum minoritas. Namun semangat untuk
menyebarkan Kristus melalui dunia sekolah dan pendidikan, tetap diperhatikan.
5.2 Keutamaan-Keutamaan Sekolah Katolik
Tidak dapat dipungkiri bahwa
sekolah-sekolah katolik di masa sebelum reformasi 1998, menjadi lembaga-lembaga
pendidikan umum yang sangat diminati oleh masyarakat dan menjadi pilihan utama
orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah katolik. Bisa dimengerti
karena belum banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan daya
saing antar sekolah masih sangat kurang. Kesadaran akan pentingnya pendidikan
juga masih tergolong rendah. Kemungkinan dan kesempatan mendapatkan pendidikan,
lebih diorientasikan oleh kaum berduit atau berasal dari status sosial lebih
tinggi dalam masyarakat.
Walaupun demikian, banyak
sekolah katolik yang didirikan oleh tarekat religius, menjangkau juga
perkampungan dan desa-desa terpencil. Ini menandakan bahwa Gereja Katolik
memperhatikan dan melayani pendidikan kepada segenap orang, dan tidak sebatas
pada daerah-daerah tertentu saja. Tersedianya akses finansial yang memadai dari
“missi prokur” masing-masing tarekat
dan tingkat komitmen mendidik yang tinggi dari bapa dan ibu guru menyebabkan
kualitas sekolah-sekolah katolik sangat dijaga dan dipertahankan.
Perlu dicatat beberapa aspek
yang menjadi keunggulan sekolah katolik di Indonesia. Sebagai catatan,
keunggulan-keunggulan yang disajikan di sini bukan hendak mengatakan bahwa
sekolah katolik adalah lembaga pendidikan yang paling sempurna. Masih banyak
kekurangan serta beberapa hal yang harus menjadi perhatian untuk diperbaiki.
Namun hal itu tidak diketengahkan di sini, melainkan hanya sekedar menampilkan beberapa
aspek yang menonjol saja:
Pertama, Pendidikan Integral. Dalam sepanjang sejarah sekolah
katolik, perhatian utama ialah kepada pendidikan integral siswa di sekolah.
Pendidikan integral ialah pendidikan yang menerapkan beberapa konsep pedagogis
sekaligus kepada siswa di lingkungan sekolah. Model pendidikan integral ini
mencoba untuk memadukan pelbagai pendekatan dalam mendidik agar menjadi satu
kesatuan yang terarah kepada kesempurnaan, atau menjadi manusia integral /
manusia utuh. Ke-empat aspek itu adalah kognitif, relasi sosial, psikologis dan
spiritual. Setiap sekolah katolik harus mengedepankan secara bersama ke-empat
aspek ini dalam proses pendidikan kepada generasi muda (siswa) di sekolah.
Bloom, Kratchwal dan Harrow, mengatakan bahwa ada tiga dimensi yang penting: the cognitif domain, the afektif domain and
the psychomotor domain. Dimensi Kognitif berkenaan dengan pengenalan dan
pemahaman, pengetahuan, perkembangan kecakapan dan ketrampilan intelektual. Dimensi
Afektif berkenaan dengan perubahan-perubahan dalam minat, sikap, nilai-nilai,
perkembangan apresiasi dan kemampuan adaptasi. Dimensi psychomotor berkenaan
dengan ketramplan-ketrampilan gerak dan ketrampilan-ketrampilan manipulasi
(kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dari sikap kreatifnya).[9]
Kedua, Kedisiplinan. Tidak dapat disangkal bahwa kedisiplinan
menjadi salah bagian terpenting yang melekat erat dengan ciri khas sekolah katolik.
Orang tua berani mempercayakan anaknya dididik di sekolah katolik karena di
sana terdapat praktek disiplin yang tinggi. Kedisiplinan di sini mengatur
tentang keketatan dalam mengatur perilaku hidup yang baik yang diselaraskan
dengan aturan-aturan yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. Para
pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah katolik akan merasa sangat bersalah
jika melanggar salah satu butir aturan yang telah ditetapkan bersama. Komitmen
untuk melaksanakan seluruh ritme hidup di sekolah berdasarkan aturan sangat
dijunjung tinggi. Kedisiplinan di sini menjadi suatu gerak bersama yang harus
dihidupi atau dilaksanakan secara bersama dan diharapkan akan mengalir ke
pembentukan sikap dan perilaku disiplin dari para peserta didik di sekolah katolik.
Sekolah katolik sangat dilihat lebih baik dari sekolah-sekolah yang lainnya
karena dilatarbelakangi oleh penerapan kedisiplinannya.[10]
Ketiga, Keselarasan antara kata dan tindakan: di sekolah dan luar
sekolah. Salah satu keutamaan yang dimiliki oleh pendidik dan tenaga
kependidikan sampai pada masa reformasi adalah keselarasan antara kata dan
tindakan, yang dapat ditunjukkan di lingkungan sekolah dan di luar sekolah. Predikat
“guru” yang melekat pada dirinya membuat seorang pendidik memilih untuk hidup secara
layak dan pantas di hadapan siswa dan di hadapan masyarakat. Kelayakan dan
kepantasan ini menjadikan mereka juga sebagai orang-orang yang berwibawa di
tengah-tengah masyarakat. Panggilan “guru” kepada mereka menempatkan mereka
sebagai pribadi-pribadi yang terhormat dalam kehidupan sekolah dan
bermasyarakat.
Kelima, Praktek hidup Rohani di sekolah. Salah satu keunggulan lain
dari sekolah katolik adalah kegiatan-kegiatan rohani – spiritual, yang
dipraktekkan di lingkungan sekolah katolik, dengan maksud untuk pembentukan
karakter siswa dan juga para guru dan pegawai. Kegiatan-kegiatan rohani seperti
misa bulanan, doa pagi bersama di sekolah, rekoleksi menjelang Hari Raya Natal
dan Paskah, Doa Angelus, dan lain sebagainya menjadi nilai plus yang patut dibanggakan.
Keenam, adalah pendidikan karakter. Keunggulan yang sering
dibanggakan oleh sekolah katolik pada era sebelum reformasi adalah pendidikan
karakter. Uraian tentang pendidikan karakter sudah terkandung dalam kelima
aspek yang telah dikemukakan sebelumnya. Namun perlu dicatat lebih lanjut bahwa
pendidikan karakter yang dimaksud di sini adalah yang terkait dengan “locus
educationis pendidikan karakter di sekolah” seperti diuraikan oleh Doni
Koesoema[11]
dalam bukunya pendidikan karakter, yang berpusat pada aspek moral, nilai, agama
dan kewarganegaraan. moralitas terutama berbicara tentang hal baik dan buruk,
nilai berbicara tentang kesukaan, keinginan, kegunaan dan dihargai serta
memberi makna dalam hidup.[12]
Hal-hal yang terkait dengan aspek-aspek ini sungguh ditekankan aktualisasinya
oleh sekolah-sekolah katolik.
5.3 Nilai-Nilai yang Hilang
Secara umum, tidak ada
satupun sekolah katolik yang ingin mengurangi pamor, nama baik, prestasi, dan
segala yang baik hilang begitu saja. Namun kenyataannya bahwa banyak aspek yang
begitu dibanggakan pada masa lalu, terutama sebelum era reformasi, mulai
meredup dana bahkan hilang. Keberadaan dan pelayanan edukasi kepada siswa dan
kepada masyarakat semakin dikeluhkan. Kebanggaan-kebanggaan yang dinikmati pada
masa sebelumnya, seperti tidak mungkin lagi tertemukan pada masa kini. Semua
hanya cerita kejayaan masa lalu.
Secara umum, mungkin dapat
dicatat nilai-nilai yang hilang atau memudar dari lingkungan sekolah katolik
adalah: pertama, pendidikan karakter.
Sangat terasa jika pola pendidikan karakter di sekolah katolik tidak begitu
maksimal diterapkan atau dihidupi oleh seluruh komponen di lingkungan sekolah.
Pelbagai keluhan yang muncul dari orang tua dan masyarakat serta output kenakalan siswa/siswi di dalam
dan luar sekolah menunjukkan secara jelas bahwa pendidikan karakter di
lingkungan sekolah tidak lagi mendapat tempat yang utama, seperti yang
ditekankan oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional tahun 2010 bagi
seluruh civitas scolastic:
religiusitas, kejujuran, toleransi, kedisiplinan, kerja keras, kreativitas,
kemandirian, demokrasi, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, bersahabat dan
komunikatif, cinta damai, kegemaran membaca, peduli lingkungan, peduli sosial
dan pengembangan rasa tanggung jawab. Seluruh “warga sekolah” seakan terbawa
oleh arus jaman yang menghantar mereka secara perlahan mengesampingkan
nilai-nilai pembentukan karakter kepada seluruh civitas scolastic.[13]
Kedua, komitmen dan dedikasi para guru dan pegawai. Harus diakui
bahwa terdapat banyak guru dan pegawai yang memiliki komitmen dan dedikasi yang
tinggi untuk melayani dan mengabdi di lingkungan sekolah katolik, walaupun
dengan honor dan gaji yang tidak sebanding. Inilah sebuah pemberian diri yang
luar biasa kepada sekolah katolik. Namun, tidak sedikit pula para guru dan
pegawai yang menyebabkan merosotnya kredibilitas masyarakat terhadap sekolah
katolik. Sikap, perilaku dan tindakan dari sebagian guru dan pegawai sering
membuat nama sekolah yang sebelumnya baik menjadi menurun. Guru dan pegawai yang
sering terlambat masuk sekolah dan masuk kelas, guru dan pegawai yang sering
marah-marah terhadap siswa, guru dan pegawai yang mengutip kutipan dari siswa,
penampilan guru dan pegawai yang tidak berwibawa, guru dan pegawai yang tidak
dan gagal paham dengan sarana teknologi informasi dan medsos, guru dan pegawai
yang tidak mengerti persoalan siswa, guru dan pegawai yang merokok di sekolah
atau kelas, dan masih banyak deretan isu negatif yang mengitari lingkungan
sekolah.
Ketiga, orientasi kepada materi. Berpikir tentang materi untuk
menunjang hidup yang lebih layak adalah baik. Tanpa materi kita tidak dapat
melakukan banyak hal. Para guru dan pegawai hanya mengharapkan pendapatan dari
sekolah tempat dia mengabdi. Namun sekolah tidak mampu lagi untuk membayar gaji
guru dan pegawai sesuai dengan standar pemerintah yang disesuaikan dengan tabel
gaji yang sedang berlaku. Gaji dan honor yang tidak sesuai ini menyebabkan
rendahnya kinerja para guru dan pegawai di sekolah. Tetapi di sini lain,
sekolah juga tidak bisa membayar gaji yang standar kepada segenap guru dan
pegawai. Sekolah (atau Yayasannya) hanya membayar gaji dan honor berdasarkan
kemampuan sekolah atau Yayasan tersebut. Dengan melihat rendahnya gaji dan
honor serta tunjangan inilah, maka perhatian guru dan pegawai kepada
pengembangan mutu sekolah pun tidak dapat terealisasi dengan baik. Ditambah
lagi dengan perbincangan tentang rendahnya honor, gaji dan tunjangan setiap
harinya di sekolah, akhirnya memikirkan tentang bagaimana memajukan sekolah dan
siswapun tidak ada lagi waktu dan tempat. Orientasi berpindah dari kepada
pelayanan edukatif kepada orientasi materi.
Keempat, Hidup Rohani.
Sebagai sekolah katolik, aspek rohani spiritual menjadi salah satu pilar utama
yang ingin dikembangkan dalam kerangka pendidikan karakter di sekolah. Doa
bersama, refleksi kitab suci bersama, perayaan Ekaristi bersama, semuanya
secara perlahan membentuk siswa menjadi pribadi yang religius. Secara umum, masih banyak semua civitas scolastic yang peduli dengan
hidup rohani / spiritual, baik untuk pribadi guru sendiri maupun pribadi siswa.
Namun di banyak tempat, hidup rohani mendapat tantangan. Jika dulu,
sekolah-sekolah katolik berdoa bersama setiap pagi, maka kini, mulai muncul
pribadi-pribadi yang tidak lagi memberikan perhatian kepada hidup rohani atau
spiritual ini. Ada guru dan pegawai yang tidak ikut dalam perayaan Ekaristi
sekolah (baca. Misa Sekolah), ada guru dan dan pegawai yang mengusulkan
mengurangi jam ibadat pagi bersama sebelum pelajaran, ada guru dan pegawai yang
tidak terlibat aktif dalam kehidupan liturgi Gereja, dan tidak ikut dalam
retreat tahunan yang diprogramkan Yayasan dengan beragam alasan. Masyarakatpun
melihat kekurangan ini dan mulai kehilangan kepercayaan kepada sekolah katolik.
Kelima, sekolah sebagai rumah bersama. Di banyak lingkungan sekolah
katolik, banyak orang mengalami sekolah itu sebagai rumahnya, tempat tinggalnya
setiap hari. Kehadiran orang lain: siswa,a rekan guru, pengurus Yayasan,
dilihat sebagai bagian dari anggota keluarga sendiri. Semuanya bersama-sama hidup
dan berpikir tentang kebersamaan di sekolah. Bahkan ada yang merasa kurang jika
pada saat tertentu tidak sedang berada di sekolah. Relasi yang terjalin satu
dengan yang lainnya begitu akrab dan dekat, seperti keluarga sendiri. Tapi hal
seperti itu sudah mulai sulit tertemukan di lingkungan sekolah katolik masa
kini. Yang ada adalah persaingan antar guru, atau antar pegawai, guru yang
hanya mengajar jam-jam mata pelajarannya dan selanjutnya pulang ke rumah,
relasi dengan siswa dan guru lain yang penuh konflik karena persaingan,
berkurangnya keterlibatan di sekolah untuk pengembangan potensi siswa karena
honor terlalu kecil, dan lain sebagainya.
Seluruh keprihatinan ini
terus menumpuk dan masyarakatpun menjadi kehilangan kepercayaan mereka untuk
menyekolahkan anaknya di sekolah katolik. Kehilangan kredibilitas itu
dipengaruhi oleh “mentalitas edan” yang ditampilkan oleh banyak orang, termasuk
di dunia sekolah katolik. Mengutip catatan Jansen Sinamo (dengan editan),
banyak orang yang lebih suka bekerja (mengajar) penuh keengganan sambil
bersungut-sungut karena berpendapat ‘gaji saya kecil sekali’, banyak orang
lebih suka mengajar demi uang semata sambil menghalalkan segala cara dengan
semboyan ‘semua urusan harus memakai uang tunai’, banyak orang lebih suka
mencela rekannya yang bekerja jujur sebagai orang bodoh seraya menganjurkan
agar ‘bekerja pintar-pintar agar selamat’, banyak orang lebih suka bekerja
santai saja dengan prinsip ‘tak akan lari gunung dikerja’, banyak orang lebih suka
mengajar sekadarnya dengan rutinitas penuh kebosanan yang di akhir Minggu
selalu berseru dengan gembira ‘terima kasih Tuhan, hari ini hari Jumat’, banyak
orang yang lebih suka bekerja seenak perutnya sambil berkata ‘kita bukan
pemilik sekolah ini’, banyak orang lebih suka sembarangan dengan sikap ‘peduli
amat, memangnya gue mikirin?’ banyak orang lebih suka bekerja nir-peduli dengan
sikap ‘lho..., mau apa lagi, ini kan sudah bagus’.[14]
5.4 Sekolah-Sekolah Katolik: Perlu Revolusi
Mental
Aspek-aspek yang hilang dalam
catatan sebelumnya itulah yang seharusnya direvisi kembali atau diubah secara
radikal serta mengembalikan nilai-nilai pelayanan edukasi dan pedagogis yang
lebih berwajah katolik atau seperti yang yang diminta oleh Gereja kepada
segenap Lembaga Pendidikan Katolik untuk menjadikan sekolah katolik sebagai
perpanjangan tangan gereja dalam bidang pendidikan dalam mewartakan Kerajaan
Allah kepada dunia, membawa garam dan terang dunia bagi masyarakat sekitar.[15]
Karena itulah maka
sekolah-sekolah katolik: melalui para pemilik, para pengurus Yayasan, para
pegawai yayasan, para guru dan para pegawai, dan didukung oleh orang tua siswa,
masyarakat dan siswa sendiri, untuk bertobat, berbalik arah atau melakukan
revolusi mental agar segala nilai yang sudah memudar dan bahkan hilang bisa
hidup kembali dan mewarnai seluruh kegiatan pastoral pendidikan di sekolah
katolik.
Bentuk revolusi mental yang
kita harapkan bersama untuk dunia pendidikan dan sekolah katolik kita adalah:[16]
-
Dari pelayanan yang penuh sungut-sungut kepada
pelayanan penuh rahmat dan rasa syukur.
-
Dari pelayanan demi uang dan jabatan semata
kepada pelanayan penuh amanah dan bertanggung jawab.
-
Dari pelayanan yang asal pintar-pintar demi
selamat kepada pelayanan karena panggilan untuk melayani dengan penuh integritas.
-
Dari pelayanan yang santai-santai saja (tak lari
gunung dikejar) kepada pelayanan dengan
kerja keras penuh aktualisasi diri dan penuh semangat.
-
Dari pelayanan yang sekadarnya penuh kebosanan
kepada pelayanan penuh ibadah dan kecintaan.
-
Dari pelayanan seenak / sesuka hatinya kepada
pelayanan penuh seni dan kreativitas cerdas.
-
Dari pelayanan suka-suka kepada pelayanan penuh
hormat dan mengutamakan mutu.
-
Dari pelayanan yang arogan dan bergaya bos
kepada pelayanan dengan kerendahan hati dan tulus.
6.
Catatan
Penutup
Tidak mudah untuk memperbaiki
situasi sekolah-sekolah katolik yang secara operasional tidak mungkin lagi
bertahan. Namun, segala sesuatu adalah mungkin jika konsep dasar dari Presiden
dan Wakil Presiden, Jokowi dan Yusuf Kalla, tentang revolusi mental
sungguh-sungguh dilaksanakan. Hanya dengan revolusi mental, kita akan menatap
sekolah-sekolah katolik akan terus eksis untuk menyebarkan Injil Kerajaan Allah
kepada segenap bangsa.
Tugas utama yang harus
ditanggung jawabi dengan baik adalah para guru dan pegawai. Merekalah ujung
tombak perubahan itu. Karena itu, sekolah-sekolah katolik sekarang membutuhkan
guru yang memiliki keteladanan yang baik, yang kreatif, yang inspiratif, yang
motivatif dan professional serta guru yang interaktif dan inovatif.[17]
Karena itu, kita membutuhkan sebuah
perubahan untuk mengorientasikan kembali arah perjalanan pelayanan sekolah-sekolah
katolik ke masa depan melalui kegiatan revolusi mental itu. Tetapi seluruh
rencana itu akan berhasil jika seluruh sekolah katolik lembaga pendidikan
katolik memiliki gerak bersama mencanangkan gerakan revolusi mental ini secara
bersama dan menyeluruh. “Jika kita, mau bersama, maka kita semua pasti bisa”.
*Sergius Lay, S.Ag, M.Ed, Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Pastoral Dian Mandala Gunungsitoli
Keuskupan Sibolga, Nias.
SUMBER BACAAN
Adyati, Tingka.
Mom, You are my Hero. Jakarta: Gramedia, 2011.
Damayanti, Sukses
Menjadi Guru: Humoris dan Idola yang Akan Dikenang Sepanjang Masa. Yogjakarta: Araska, 2016.
Ferdiansyah, Hilmy. 15 Karakter Guru yang Jahat, Buruk, dan Baik, dalam http://www.kompasiana.com/hilmyferdiansyah/15-karakter-guru-yang-jahat-buruk-dan-baik_552aaa49f17e61d02dd623d5,
diakses pada 20 Oktober 2016, pukul 21.27 wib.
Komisi Pendidikan KWI, Deklarasi Pendidikan Katolik. Jakarta: Grasindo, 1992.
Kosesoema, Doni. Pendidikan
Karakter. Strategi Mendidik Anak di Jaman Global. Jakarta: Grasindo, 2007.
Lay, Sergius. Tujuan
Pendidikan: Pembentukan Manusia Integral, dalam http://sma-bintanglaut.telukdalam.org/2013/07/tujuan-pendidikan-pembentukan-manusia.html,
diakses pada 20 September 2016, pukul 20.30 wib.
Nandika, Dodi. Pendidikan,
di Tengah Gelombang Perubahan. Jakarta: LP3S, 2007.
Notosoedirjo, Moeljono. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang: Universitas
Muhammadiyah, 2001.
Nur Arifah, Fita. Menjadi
Guru. Yogjakarta: Araska, 2016.
Sinamo, Jansen. Etos
Kerja dalam Revolusi Mental, Nilai Etos Kerja dalam Pendidikan, dalam Hari
Studi, Workshop / Seminar, dan Sidang Pleno MNPK XV di Bandung, 22-26 November
2016.
Sjarkawi, Pembentukan
Kepribadian Anak. Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial sebagai Wujud
Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta:
Balai Pustaka, 1994.
[1]
Jansen Sinamo, Etos Kerja dalam Revolusi
Mental, Nilai Etos Kerja dalam Pendidikan, dalam Hari Studi, Workshop /
Seminar, dan Sidang Pleno MNPK XV di Bandung, hlm. 1.
[2]
Dalam banyak tulisan, orang juga memakai istilah “revolusi moral” untuk
membedakannya dari “revolusi mental” yang lebih bertendensi kepada gerakan
komunis di masa-masa yang lalu, baik di Indonesia maupun di belahan dunia yang
lainnya.
[3]
Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental:
Konsep dan Penerapan, (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2001), hlm. 21;
Bdk juga Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka,
1994), hlm. 646.
[4]
Jansen Sinamo, Etos Kerja..., hlm.
1-2.
[5]
Ibid., hlm. 2.
[6]
Dodi Nandika, Pendidikan, di Tengah
Gelombang Perubahan (Jakarta: LP3S, 2007), hlm. 1-104.
[7]
Koran sindonews mencoba menampilkan kasus-kasus kongkrit yang terjadi di
lengkingan pendidikan dan sekolah dalam setiap harinya. Informasi itu dapat
diakses dalam https://daerah.sindonews.com/topic/5528/kekerasan-di-dunia-pendidikan
(diakses pada 18 November 2016, pukul 20.20 wib).
[8]
Hilmy Ferdiansyah, 15 Karakter Guru yang
Jahat, Buruk, dan Baik, dalam http://www.kompasiana.com/hilmyferdiansyah/15-karakter-guru-yang-jahat-buruk-dan-baik_552aaa49f17e61d02dd623d5
(diakses pada 20 Oktober 2016, pukul 21.27 wib).
[9]
Sergius Lay, Tujuan Pendidikan:
Pembentukan Manusia Integral, dalam http://sma-bintanglaut.telukdalam.org/2013/07/tujuan-pendidikan-pembentukan-manusia.html
(diakses pada 20 September 2016, pukul 20.30 wib).
[10]
Tingka Adyati, Mom, You are my Hero
(Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 13.
[11]
Doni Koesoema, Pendidikan Karakter.
Strategi Mendidik Anak di Jaman Global (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm.
198-199.
[12]
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak.
Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun
Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 29.
[13]
Bahan Pelatihan Penguatan metodologi Pembelajaran Nilai-Nilai Budaya untuk
membentuk Daya Saing dan Karakter bangsa, oleh Pusat Kurikulum Nasional tahun
2010.
[14]
Jansen Sinamo, Etos Kerja dalam Revolusi
Mental..., hlm. 4-5.
[15]
Komisi Pendidikan KWI, Deklarasi
Pendidikan Katolik (Jakarta: Grasindo, 1992), hlm. 1
[16]
Jansen Sinamo, Etos Kerja dalam Revolusi
Mental..., hlm. 5-6
[17]
Damayanti, Sukses Menjadi Guru: Humoris
dan Idola yang Akan Dikenang Sepanjang Masa (Yogjakarta: Araska, 2016),
hlm. 9-228; Bdk. juga Fita Nur Arifah, Menjadi
Guru (Yogjakarta: Araska, 2016), hlm. 11-188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar