Senin, 18 Januari 2021

REVOLUSI MENTAL DI SEKOLAH-SEKOLAH KATOLIK

 Oleh: Sergius Lay *

1.      Catatan Pengantar


Dalam debat-debat capres dan cawapres Jokowi dan Yusuf Kalla menjelang PEMILU Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 yang lalu, satu program dan menjadi terminologi yang dikenal publik adalah “revolusi mental”. Secara umum revolusi mental merujuk kepada perubahan mentalitas dari cara berpikir dan bertindak yang kurang baik kepada cara berpikir dan merasa yang baik.

Jansen Sinamo, seorang bapak etos kerja di Indonesia, mengatakan bahwa “mental adalah komponen non fisik manusia yang menentukan cara berpikir, cara memahami, cara meyakini, cara bersikap, cara berbicara, cara bergaul, cara makan minum – berbusana, dan cara bekerja pada umumnya; termasuk cara merayakan kemenangan dan cara menerima kekalahan”.[1]

Perubahan dalam tata kelakuan atau pola tingkah, pola berpikir dan pola berbicara dari yang “lama” kepada yang “baru” itulah yang hendak juga dikembangkan dalam dunia pendidikan, termasuk juga dalam dunia pendidikan / sekolah katolik.

 

2.      Makna Revolusi Mental[2]

Dalam bagian pengatar telah dilukiskan sedikit tentang sekilas makna dari revolusi mental. Dalam bagian ini ingin diketengahkan dengan lebih mendalam lagi tentang makna atau arti dari terminologi revolusi mental itu. Secara umum, istilah “revolusi” adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Perubahan yang dimaksudkan di sini ialah, jenis perubahan yang berlangsung cepat, segera dan tidak boleh tertunda.

Secara etimologi, kata “mental” berasal dari bahasa Yunani, yang mempunyai pengertian sama dengan pengertian psyche, artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Secara sederhana mental dapat dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan batin dan watak atau karakter, tidak bersifat jasmani (badan). Oleh karena itu, kata mental diambil dari bahasa Latin yaitu dari kata mens atau metis yang memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan demikian mental ialah hal-hal yang berkaitan dengan psycho atau kejiwaan yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Setiap perilaku dan ekspresi gerak-gerik individu merupakan dorongan dan cerminan dari kondisi (suasana) mental.[3]

Oleh karena itu, revolusi mental ini mengacu kepada sebuah usaha untuk mengubah mental-mental lama yang tidak baik, yang tidak sesuai dengan karakter dasar bangsa atau karakter dasar budaya dan agama, dan diganti dengan karakter Kebangsaan, keagamaan dan kekulturan yang baik dan memiliki nilai untuk sebuah kemajuan.

 

3.      Mental yang Harus di-Revolusi

Segala sesuatu yang terkait dengan sikap atau tindakan nyata manusia, dilahirkan dari mentalitas yang menjadi endapan kebiasaan-kebiasaan masa lalu (yang dianggap sebagai tidak baik), dan secara perlahan menjadi tingkah laku yang permanen dalam diri seseorang. Endapan-endapan itu lahir dari sikap manusia yang mendahulukan hal-hal yang badani / fisik atau materialistis dan membelakangkan hal-hal yang rohani dan moral (spiritualitas), misalnya mengutamakan uang, kekuasaan dan benda-benda daripada keadilan, kebenaran, kepatuhan, keberadaban dan keselamatan.[4]

Karena itu, revolusi mental secara umum juga berkaitan dengan perlunya pembalikan ulang segala sesuatu yang sudah “melenceng” dari yang seharusnya menjadi standar berpikir, standar bersikap, dan standar bertindak (nilai-nilai hidup). Dalam bahasa sederhana, bahwa revolusi mental mengajak kita untuk mengutamakan jiwa dulu daripada badan, spiritual dulu daripada material, dan moral daripada finansial.[5]

Sangat disadari bahwa cara merasa, cara berpikir dan cara bertindak masyarakat pada jaman ini menunjukkan suatu ”mentalitas instan” dan ”mentalitas halus” yang mengkondisikan orang untuk berada jauh dari norma-norma serta nilai-nilai yang diterima sebagai baik. Dalam kaitan ini, revolusi mental ingin mengembalikan ke “jalan yang benar” nilai-nilai dan norma yang dianggap original itu ke tempatnya. Pengembalian ini harus dijadikan suatu transformasi perubahan yang mendasar dan menyeluruh dalam mentalitas kerja di segala bidang, misalnya di bidang hukum, bidang agama, bidang politik, bidang administrasi, bidang sains dan teknologi, bidang etika dan di bidang pendidikan. Seluruh nilai-nilai dan norma tersebut harus dikembalikan dengan cepat dan radikal serta melibatkan semua komponen bangsa / masyarakat ke tata asalinya.

 

4.      Revolusi Mental dalam Dunia Pendidikan

Revolusi mental yang kembali dicanangkan oleh Jokowi sejak beliau menjadi calon Presiden, menjadi sesuatu yang penting manakala hal ini menjadi “semboyan” pergerakan bersama untuk semua aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan kita.

Teriakan revolusi mental untuk direalisasikan juga di dunia pendidikan dan sekolah di Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini sangat dilatarbelakangi oleh situasi pendidikan di Indonesia yang tidak memberikan pengaruh positif bagi cara merasa, cara berpikir dan cara bertindak dari banyak generasi yang “dihasilkan” oleh lembaga pendidikan yang ada. Banyak problem yang ada dalam dunia pendidikan dan sekolah yang menyebabkan hasil didikannya tidak memberi pengaruh signifikan bagi masyarakat pada umumnya.[6]

Banyaknya cerita-cerita negatif yang mencuat ke publik tentang kasus-kasus yang terjadi di lingkungan sekolah, misalnya yang dicatat oleh koran “on line sindonews”,misalnya yang terkait dengan korban bully, penikaman guru oleh siswa, penganiayaan guru oleh siswa, perkelahian antar siswa, dan lain-lain, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan yang diterapkan di lingkungan sekolah.[7]

Selain itu, persoalan-persoalan di lingkungan sekolah dan pendidikan tidak hanya ditemukan di kalangan siswa, namun terjadi juga di kalangan para guru / pegawai dan orang tua siswa. Sikap-sikap yang ditampilkan secara tidak terhormat, misalnya guru / pegawai yang sering bahkan selalu datang terlambat ke sekolah, guru merokok di lingkungan sekolah atau bahkan di dalam kelas sambil mengajar, guru / pegawai yang sering tidak masuk mengajar, guru yang sering memarahi siswa tanpa sebab, pungutan-pungutan liar dari siswa, dan lain sebagainya, boleh jadi menjadi penyebab ketidakbaikan situasi di lingkungan sekolah.[8]

Berdasarkan fakta-fakta seperti itu, maka jika ingin untuk merevolusi mental dalam dunia pendidikan terutama di lingkungan kelas / sekolah, maka seluruh aspek negatif tersebut harus dihilangkan dan diganti dengan cara merasa, cara berpikir dan cara bertindak yang konstruktif. Para guru dan pegawai harus keluar dari habitus lama dan mengenakan secara baru habitus baru dalam seluruh perjalanan hidupnya.

 

5.      Revolusi Mental dan Sekolah-Sekolah Katolik

Perlukah sekolah-sekolah katolik merevolusi mental? Sudah separah apakah sampai harus melakukan revolusi mental? Merevolusi dari mental yang bagaimanakah agar menemukan kembali mentalitas yang diinginkan? Inilah sederetan pertanyaan yang harus dijawab oleh pemangku kepentingan dalam Lembaga-Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) serta orang-orang yang dipercaya untuk mengurus Pendidikan Katolik di Sekolah-Sekolah Katolik.

 

5.1  Jejak Historis Sekolah Katolik di Indonesia

Kita mungkin sulit menelusuri kapan persisnya dimulai sebuah lembaga pendidikan katolik atau sekolah katolik mulai lahir di Indonesia. Namun dapat dipercaya bahwa sejak kehadiran Gereja Katolik di Indonesia sudah mulai memikirkan pendidikan agama katolik kepada para katekumen dan juga kepada para neo-katekumenat. Dapat juga diyakini bahwa sejak saat itu Gereja melalui kehadiran biara-biara atau tarekat / ordo / kongregasi. Salah satu catatan historis yang menunjukkan kehadiran sekolah katolik di Indonesia adalah sekolah yang didirikan oleh pastor Van Lith di Muntilan pada tahun 1895. Usaha ini bertumbuh subur dan turut mempengaruhi perkembangan dan kelahiran sekolah-sekolah katolik lainnya di seluruh wilayah nusantara.

Pada masa sekarang, sekolah-sekolah katolik telah hadir seluruh wilayah keuskupan yang ada di Indonesia, termasuk tempat-tempat di mana Gereja Katolik hadir dan hidup sebagai kaum minoritas. Namun semangat untuk menyebarkan Kristus melalui dunia sekolah dan pendidikan, tetap diperhatikan.

 

5.2  Keutamaan-Keutamaan Sekolah Katolik

Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah-sekolah katolik di masa sebelum reformasi 1998, menjadi lembaga-lembaga pendidikan umum yang sangat diminati oleh masyarakat dan menjadi pilihan utama orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah katolik. Bisa dimengerti karena belum banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan daya saing antar sekolah masih sangat kurang. Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga masih tergolong rendah. Kemungkinan dan kesempatan mendapatkan pendidikan, lebih diorientasikan oleh kaum berduit atau berasal dari status sosial lebih tinggi dalam masyarakat.

Walaupun demikian, banyak sekolah katolik yang didirikan oleh tarekat religius, menjangkau juga perkampungan dan desa-desa terpencil. Ini menandakan bahwa Gereja Katolik memperhatikan dan melayani pendidikan kepada segenap orang, dan tidak sebatas pada daerah-daerah tertentu saja. Tersedianya akses finansial yang memadai dari “missi prokur” masing-masing tarekat dan tingkat komitmen mendidik yang tinggi dari bapa dan ibu guru menyebabkan kualitas sekolah-sekolah katolik sangat dijaga dan dipertahankan.

Perlu dicatat beberapa aspek yang menjadi keunggulan sekolah katolik di Indonesia. Sebagai catatan, keunggulan-keunggulan yang disajikan di sini bukan hendak mengatakan bahwa sekolah katolik adalah lembaga pendidikan yang paling sempurna. Masih banyak kekurangan serta beberapa hal yang harus menjadi perhatian untuk diperbaiki. Namun hal itu tidak diketengahkan di sini, melainkan hanya sekedar menampilkan beberapa aspek yang menonjol saja:

Pertama, Pendidikan Integral. Dalam sepanjang sejarah sekolah katolik, perhatian utama ialah kepada pendidikan integral siswa di sekolah. Pendidikan integral ialah pendidikan yang menerapkan beberapa konsep pedagogis sekaligus kepada siswa di lingkungan sekolah. Model pendidikan integral ini mencoba untuk memadukan pelbagai pendekatan dalam mendidik agar menjadi satu kesatuan yang terarah kepada kesempurnaan, atau menjadi manusia integral / manusia utuh. Ke-empat aspek itu adalah kognitif, relasi sosial, psikologis dan spiritual. Setiap sekolah katolik harus mengedepankan secara bersama ke-empat aspek ini dalam proses pendidikan kepada generasi muda (siswa) di sekolah. Bloom, Kratchwal dan Harrow, mengatakan bahwa ada tiga dimensi yang penting: the cognitif domain, the afektif domain and the psychomotor domain. Dimensi Kognitif berkenaan dengan pengenalan dan pemahaman, pengetahuan, perkembangan kecakapan dan ketrampilan intelektual. Dimensi Afektif berkenaan dengan perubahan-perubahan dalam minat, sikap, nilai-nilai, perkembangan apresiasi dan kemampuan adaptasi. Dimensi psychomotor berkenaan dengan ketramplan-ketrampilan gerak dan ketrampilan-ketrampilan manipulasi (kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dari sikap kreatifnya).[9]

Kedua, Kedisiplinan. Tidak dapat disangkal bahwa kedisiplinan menjadi salah bagian terpenting yang melekat erat dengan ciri khas sekolah katolik. Orang tua berani mempercayakan anaknya dididik di sekolah katolik karena di sana terdapat praktek disiplin yang tinggi. Kedisiplinan di sini mengatur tentang keketatan dalam mengatur perilaku hidup yang baik yang diselaraskan dengan aturan-aturan yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. Para pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah katolik akan merasa sangat bersalah jika melanggar salah satu butir aturan yang telah ditetapkan bersama. Komitmen untuk melaksanakan seluruh ritme hidup di sekolah berdasarkan aturan sangat dijunjung tinggi. Kedisiplinan di sini menjadi suatu gerak bersama yang harus dihidupi atau dilaksanakan secara bersama dan diharapkan akan mengalir ke pembentukan sikap dan perilaku disiplin dari para peserta didik di sekolah katolik. Sekolah katolik sangat dilihat lebih baik dari sekolah-sekolah yang lainnya karena dilatarbelakangi oleh penerapan kedisiplinannya.[10]

Ketiga, Keselarasan antara kata dan tindakan: di sekolah dan luar sekolah. Salah satu keutamaan yang dimiliki oleh pendidik dan tenaga kependidikan sampai pada masa reformasi adalah keselarasan antara kata dan tindakan, yang dapat ditunjukkan di lingkungan sekolah dan di luar sekolah. Predikat “guru” yang melekat pada dirinya membuat seorang pendidik memilih untuk hidup secara layak dan pantas di hadapan siswa dan di hadapan masyarakat. Kelayakan dan kepantasan ini menjadikan mereka juga sebagai orang-orang yang berwibawa di tengah-tengah masyarakat. Panggilan “guru” kepada mereka menempatkan mereka sebagai pribadi-pribadi yang terhormat dalam kehidupan sekolah dan bermasyarakat.

Kelima, Praktek hidup Rohani di sekolah. Salah satu keunggulan lain dari sekolah katolik adalah kegiatan-kegiatan rohani – spiritual, yang dipraktekkan di lingkungan sekolah katolik, dengan maksud untuk pembentukan karakter siswa dan juga para guru dan pegawai. Kegiatan-kegiatan rohani seperti misa bulanan, doa pagi bersama di sekolah, rekoleksi menjelang Hari Raya Natal dan Paskah, Doa Angelus, dan lain sebagainya menjadi nilai plus yang patut dibanggakan.

Keenam, adalah pendidikan karakter. Keunggulan yang sering dibanggakan oleh sekolah katolik pada era sebelum reformasi adalah pendidikan karakter. Uraian tentang pendidikan karakter sudah terkandung dalam kelima aspek yang telah dikemukakan sebelumnya. Namun perlu dicatat lebih lanjut bahwa pendidikan karakter yang dimaksud di sini adalah yang terkait dengan “locus educationis pendidikan karakter di sekolah” seperti diuraikan oleh Doni Koesoema[11] dalam bukunya pendidikan karakter, yang berpusat pada aspek moral, nilai, agama dan kewarganegaraan. moralitas terutama berbicara tentang hal baik dan buruk, nilai berbicara tentang kesukaan, keinginan, kegunaan dan dihargai serta memberi makna dalam hidup.[12] Hal-hal yang terkait dengan aspek-aspek ini sungguh ditekankan aktualisasinya oleh sekolah-sekolah katolik.

 

5.3  Nilai-Nilai yang Hilang

Secara umum, tidak ada satupun sekolah katolik yang ingin mengurangi pamor, nama baik, prestasi, dan segala yang baik hilang begitu saja. Namun kenyataannya bahwa banyak aspek yang begitu dibanggakan pada masa lalu, terutama sebelum era reformasi, mulai meredup dana bahkan hilang. Keberadaan dan pelayanan edukasi kepada siswa dan kepada masyarakat semakin dikeluhkan. Kebanggaan-kebanggaan yang dinikmati pada masa sebelumnya, seperti tidak mungkin lagi tertemukan pada masa kini. Semua hanya cerita kejayaan masa lalu.

Secara umum, mungkin dapat dicatat nilai-nilai yang hilang atau memudar dari lingkungan sekolah katolik adalah: pertama, pendidikan karakter. Sangat terasa jika pola pendidikan karakter di sekolah katolik tidak begitu maksimal diterapkan atau dihidupi oleh seluruh komponen di lingkungan sekolah. Pelbagai keluhan yang muncul dari orang tua dan masyarakat serta output kenakalan siswa/siswi di dalam dan luar sekolah menunjukkan secara jelas bahwa pendidikan karakter di lingkungan sekolah tidak lagi mendapat tempat yang utama, seperti yang ditekankan oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional tahun 2010 bagi seluruh civitas scolastic: religiusitas, kejujuran, toleransi, kedisiplinan, kerja keras, kreativitas, kemandirian, demokrasi, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, bersahabat dan komunikatif, cinta damai, kegemaran membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan pengembangan rasa tanggung jawab. Seluruh “warga sekolah” seakan terbawa oleh arus jaman yang menghantar mereka secara perlahan mengesampingkan nilai-nilai pembentukan karakter kepada seluruh civitas scolastic.[13]

Kedua, komitmen dan dedikasi para guru dan pegawai. Harus diakui bahwa terdapat banyak guru dan pegawai yang memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi untuk melayani dan mengabdi di lingkungan sekolah katolik, walaupun dengan honor dan gaji yang tidak sebanding. Inilah sebuah pemberian diri yang luar biasa kepada sekolah katolik. Namun, tidak sedikit pula para guru dan pegawai yang menyebabkan merosotnya kredibilitas masyarakat terhadap sekolah katolik. Sikap, perilaku dan tindakan dari sebagian guru dan pegawai sering membuat nama sekolah yang sebelumnya baik menjadi menurun. Guru dan pegawai yang sering terlambat masuk sekolah dan masuk kelas, guru dan pegawai yang sering marah-marah terhadap siswa, guru dan pegawai yang mengutip kutipan dari siswa, penampilan guru dan pegawai yang tidak berwibawa, guru dan pegawai yang tidak dan gagal paham dengan sarana teknologi informasi dan medsos, guru dan pegawai yang tidak mengerti persoalan siswa, guru dan pegawai yang merokok di sekolah atau kelas, dan masih banyak deretan isu negatif yang mengitari lingkungan sekolah.

Ketiga, orientasi kepada materi. Berpikir tentang materi untuk menunjang hidup yang lebih layak adalah baik. Tanpa materi kita tidak dapat melakukan banyak hal. Para guru dan pegawai hanya mengharapkan pendapatan dari sekolah tempat dia mengabdi. Namun sekolah tidak mampu lagi untuk membayar gaji guru dan pegawai sesuai dengan standar pemerintah yang disesuaikan dengan tabel gaji yang sedang berlaku. Gaji dan honor yang tidak sesuai ini menyebabkan rendahnya kinerja para guru dan pegawai di sekolah. Tetapi di sini lain, sekolah juga tidak bisa membayar gaji yang standar kepada segenap guru dan pegawai. Sekolah (atau Yayasannya) hanya membayar gaji dan honor berdasarkan kemampuan sekolah atau Yayasan tersebut. Dengan melihat rendahnya gaji dan honor serta tunjangan inilah, maka perhatian guru dan pegawai kepada pengembangan mutu sekolah pun tidak dapat terealisasi dengan baik. Ditambah lagi dengan perbincangan tentang rendahnya honor, gaji dan tunjangan setiap harinya di sekolah, akhirnya memikirkan tentang bagaimana memajukan sekolah dan siswapun tidak ada lagi waktu dan tempat. Orientasi berpindah dari kepada pelayanan edukatif kepada orientasi materi.

Keempat, Hidup Rohani. Sebagai sekolah katolik, aspek rohani spiritual menjadi salah satu pilar utama yang ingin dikembangkan dalam kerangka pendidikan karakter di sekolah. Doa bersama, refleksi kitab suci bersama, perayaan Ekaristi bersama, semuanya secara perlahan membentuk siswa menjadi pribadi yang religius. Secara umum, masih banyak semua civitas scolastic yang peduli dengan hidup rohani / spiritual, baik untuk pribadi guru sendiri maupun pribadi siswa. Namun di banyak tempat, hidup rohani mendapat tantangan. Jika dulu, sekolah-sekolah katolik berdoa bersama setiap pagi, maka kini, mulai muncul pribadi-pribadi yang tidak lagi memberikan perhatian kepada hidup rohani atau spiritual ini. Ada guru dan pegawai yang tidak ikut dalam perayaan Ekaristi sekolah (baca. Misa Sekolah), ada guru dan dan pegawai yang mengusulkan mengurangi jam ibadat pagi bersama sebelum pelajaran, ada guru dan pegawai yang tidak terlibat aktif dalam kehidupan liturgi Gereja, dan tidak ikut dalam retreat tahunan yang diprogramkan Yayasan dengan beragam alasan. Masyarakatpun melihat kekurangan ini dan mulai kehilangan kepercayaan kepada sekolah katolik.

Kelima, sekolah sebagai rumah bersama. Di banyak lingkungan sekolah katolik, banyak orang mengalami sekolah itu sebagai rumahnya, tempat tinggalnya setiap hari. Kehadiran orang lain: siswa,a rekan guru, pengurus Yayasan, dilihat sebagai bagian dari anggota keluarga sendiri. Semuanya bersama-sama hidup dan berpikir tentang kebersamaan di sekolah. Bahkan ada yang merasa kurang jika pada saat tertentu tidak sedang berada di sekolah. Relasi yang terjalin satu dengan yang lainnya begitu akrab dan dekat, seperti keluarga sendiri. Tapi hal seperti itu sudah mulai sulit tertemukan di lingkungan sekolah katolik masa kini. Yang ada adalah persaingan antar guru, atau antar pegawai, guru yang hanya mengajar jam-jam mata pelajarannya dan selanjutnya pulang ke rumah, relasi dengan siswa dan guru lain yang penuh konflik karena persaingan, berkurangnya keterlibatan di sekolah untuk pengembangan potensi siswa karena honor terlalu kecil, dan lain sebagainya.

Seluruh keprihatinan ini terus menumpuk dan masyarakatpun menjadi kehilangan kepercayaan mereka untuk menyekolahkan anaknya di sekolah katolik. Kehilangan kredibilitas itu dipengaruhi oleh “mentalitas edan” yang ditampilkan oleh banyak orang, termasuk di dunia sekolah katolik. Mengutip catatan Jansen Sinamo (dengan editan), banyak orang yang lebih suka bekerja (mengajar) penuh keengganan sambil bersungut-sungut karena berpendapat ‘gaji saya kecil sekali’, banyak orang lebih suka mengajar demi uang semata sambil menghalalkan segala cara dengan semboyan ‘semua urusan harus memakai uang tunai’, banyak orang lebih suka mencela rekannya yang bekerja jujur sebagai orang bodoh seraya menganjurkan agar ‘bekerja pintar-pintar agar selamat’, banyak orang lebih suka bekerja santai saja dengan prinsip ‘tak akan lari gunung dikerja’, banyak orang lebih suka mengajar sekadarnya dengan rutinitas penuh kebosanan yang di akhir Minggu selalu berseru dengan gembira ‘terima kasih Tuhan, hari ini hari Jumat’, banyak orang yang lebih suka bekerja seenak perutnya sambil berkata ‘kita bukan pemilik sekolah ini’, banyak orang lebih suka sembarangan dengan sikap ‘peduli amat, memangnya gue mikirin?’ banyak orang lebih suka bekerja nir-peduli dengan sikap ‘lho..., mau apa lagi, ini kan sudah bagus’.[14]

 

5.4  Sekolah-Sekolah Katolik: Perlu Revolusi Mental

Aspek-aspek yang hilang dalam catatan sebelumnya itulah yang seharusnya direvisi kembali atau diubah secara radikal serta mengembalikan nilai-nilai pelayanan edukasi dan pedagogis yang lebih berwajah katolik atau seperti yang yang diminta oleh Gereja kepada segenap Lembaga Pendidikan Katolik untuk menjadikan sekolah katolik sebagai perpanjangan tangan gereja dalam bidang pendidikan dalam mewartakan Kerajaan Allah kepada dunia, membawa garam dan terang dunia bagi masyarakat sekitar.[15]

Karena itulah maka sekolah-sekolah katolik: melalui para pemilik, para pengurus Yayasan, para pegawai yayasan, para guru dan para pegawai, dan didukung oleh orang tua siswa, masyarakat dan siswa sendiri, untuk bertobat, berbalik arah atau melakukan revolusi mental agar segala nilai yang sudah memudar dan bahkan hilang bisa hidup kembali dan mewarnai seluruh kegiatan pastoral pendidikan di sekolah katolik.

Bentuk revolusi mental yang kita harapkan bersama untuk dunia pendidikan dan sekolah katolik kita adalah:[16]

-          Dari pelayanan yang penuh sungut-sungut kepada pelayanan penuh rahmat dan rasa syukur.

-          Dari pelayanan demi uang dan jabatan semata kepada pelanayan penuh amanah dan bertanggung jawab.

-          Dari pelayanan yang asal pintar-pintar demi selamat kepada pelayanan karena panggilan untuk melayani dengan penuh integritas.

-          Dari pelayanan yang santai-santai saja (tak lari gunung dikejar)  kepada pelayanan dengan kerja keras penuh aktualisasi diri dan penuh semangat.

-          Dari pelayanan yang sekadarnya penuh kebosanan kepada pelayanan penuh ibadah dan kecintaan.

-          Dari pelayanan seenak / sesuka hatinya kepada pelayanan penuh seni dan kreativitas cerdas.

-          Dari pelayanan suka-suka kepada pelayanan penuh hormat dan mengutamakan mutu.

-          Dari pelayanan yang arogan dan bergaya bos kepada pelayanan dengan kerendahan hati dan tulus.

 

6.      Catatan Penutup

Tidak mudah untuk memperbaiki situasi sekolah-sekolah katolik yang secara operasional tidak mungkin lagi bertahan. Namun, segala sesuatu adalah mungkin jika konsep dasar dari Presiden dan Wakil Presiden, Jokowi dan Yusuf Kalla, tentang revolusi mental sungguh-sungguh dilaksanakan. Hanya dengan revolusi mental, kita akan menatap sekolah-sekolah katolik akan terus eksis untuk menyebarkan Injil Kerajaan Allah kepada segenap bangsa.

Tugas utama yang harus ditanggung jawabi dengan baik adalah para guru dan pegawai. Merekalah ujung tombak perubahan itu. Karena itu, sekolah-sekolah katolik sekarang membutuhkan guru yang memiliki keteladanan yang baik, yang kreatif, yang inspiratif, yang motivatif dan professional serta guru yang interaktif dan inovatif.[17]

Karena itu, kita membutuhkan sebuah perubahan untuk mengorientasikan kembali arah perjalanan pelayanan sekolah-sekolah katolik ke masa depan melalui kegiatan revolusi mental itu. Tetapi seluruh rencana itu akan berhasil jika seluruh sekolah katolik lembaga pendidikan katolik memiliki gerak bersama mencanangkan gerakan revolusi mental ini secara bersama dan menyeluruh. “Jika kita, mau bersama, maka kita semua pasti bisa”.

*Sergius Lay, S.Ag, M.Ed, Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Pastoral Dian Mandala Gunungsitoli Keuskupan Sibolga, Nias.

 

 

SUMBER BACAAN

Adyati, Tingka. Mom, You are my Hero. Jakarta: Gramedia, 2011.

Damayanti, Sukses Menjadi Guru: Humoris dan Idola yang Akan Dikenang Sepanjang Masa.  Yogjakarta: Araska, 2016.

Ferdiansyah, Hilmy. 15 Karakter Guru yang Jahat, Buruk, dan Baik, dalam http://www.kompasiana.com/hilmyferdiansyah/15-karakter-guru-yang-jahat-buruk-dan-baik_552aaa49f17e61d02dd623d5, diakses pada 20 Oktober 2016, pukul 21.27 wib.

Komisi Pendidikan KWI, Deklarasi Pendidikan Katolik. Jakarta: Grasindo, 1992.

Kosesoema, Doni. Pendidikan Karakter. Strategi Mendidik Anak di Jaman Global. Jakarta: Grasindo, 2007.

Lay, Sergius. Tujuan Pendidikan: Pembentukan Manusia Integral, dalam http://sma-bintanglaut.telukdalam.org/2013/07/tujuan-pendidikan-pembentukan-manusia.html, diakses pada 20 September 2016, pukul 20.30 wib.

Nandika, Dodi. Pendidikan, di Tengah Gelombang Perubahan. Jakarta: LP3S, 2007.

Notosoedirjo, Moeljono. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang: Universitas Muhammadiyah, 2001.

Nur Arifah, Fita. Menjadi Guru. Yogjakarta: Araska, 2016.

Sinamo, Jansen. Etos Kerja dalam Revolusi Mental, Nilai Etos Kerja dalam Pendidikan, dalam Hari Studi, Workshop / Seminar, dan Sidang Pleno MNPK XV di Bandung, 22-26 November 2016.

Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak. Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.



[1] Jansen Sinamo, Etos Kerja dalam Revolusi Mental, Nilai Etos Kerja dalam Pendidikan, dalam Hari Studi, Workshop / Seminar, dan Sidang Pleno MNPK XV di Bandung, hlm. 1.

[2] Dalam banyak tulisan, orang juga memakai istilah “revolusi moral” untuk membedakannya dari “revolusi mental” yang lebih bertendensi kepada gerakan komunis di masa-masa yang lalu, baik di Indonesia maupun di belahan dunia yang lainnya.

[3] Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, (Malang: Universitas Muhammadiyah, 2001), hlm. 21; Bdk juga Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 646.

[4] Jansen Sinamo, Etos Kerja..., hlm. 1-2.

[5] Ibid., hlm. 2.

[6] Dodi Nandika, Pendidikan, di Tengah Gelombang Perubahan (Jakarta: LP3S, 2007), hlm. 1-104.

[7] Koran sindonews mencoba menampilkan kasus-kasus kongkrit yang terjadi di lengkingan pendidikan dan sekolah dalam setiap harinya. Informasi itu dapat diakses dalam https://daerah.sindonews.com/topic/5528/kekerasan-di-dunia-pendidikan (diakses pada 18 November 2016, pukul 20.20 wib).

[8] Hilmy Ferdiansyah, 15 Karakter Guru yang Jahat, Buruk, dan Baik, dalam http://www.kompasiana.com/hilmyferdiansyah/15-karakter-guru-yang-jahat-buruk-dan-baik_552aaa49f17e61d02dd623d5 (diakses pada 20 Oktober 2016, pukul 21.27 wib).

[9] Sergius Lay, Tujuan Pendidikan: Pembentukan Manusia Integral, dalam http://sma-bintanglaut.telukdalam.org/2013/07/tujuan-pendidikan-pembentukan-manusia.html (diakses pada 20 September 2016, pukul 20.30 wib).

[10] Tingka Adyati, Mom, You are my Hero (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 13.

[11] Doni Koesoema, Pendidikan Karakter. Strategi Mendidik Anak di Jaman Global (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 198-199.

[12] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak. Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 29.

[13] Bahan Pelatihan Penguatan metodologi Pembelajaran Nilai-Nilai Budaya untuk membentuk Daya Saing dan Karakter bangsa, oleh Pusat Kurikulum Nasional tahun 2010.

[14] Jansen Sinamo, Etos Kerja dalam Revolusi Mental..., hlm. 4-5.

[15] Komisi Pendidikan KWI, Deklarasi Pendidikan Katolik (Jakarta: Grasindo, 1992), hlm. 1

[16] Jansen Sinamo, Etos Kerja dalam Revolusi Mental..., hlm. 5-6

[17] Damayanti, Sukses Menjadi Guru: Humoris dan Idola yang Akan Dikenang Sepanjang Masa (Yogjakarta: Araska, 2016), hlm. 9-228; Bdk. juga Fita Nur Arifah, Menjadi Guru (Yogjakarta: Araska, 2016), hlm. 11-188.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RETREAT TAHUNAN KAPAUSIN KUSTODI GENERAL SIBOLGA 2023

  Para saudara dina dari Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga, pada tanggal 6 s/d 10 Noveember 2023, mengadakan retreat tahunan yang dilaksa...