Dalam sebuah syair lagunya yang sangat puitis, Thomas Merton[1] mengatakan bahwa: “tidak seorang pun manusia seperti sebuah pulau”, yang membicarakan pentingnya kehadiran orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Manusia tidak hidup sendiri tetapi selalu dalam relasi dengan orang lain dalam sebuah komunitas. Hubungan resiprokal di antara seluruh komponen subyek komunitas membawa kepada sebuah kehidupan bersama yang mana masing-masing berpartisipasi dan mengakui dirinya sendirinya sebagai pribadi, bagian dari komunitas.[2]
Sekolah adalah sebuah komunitas yang dibentuk dari orang-orang yang memiliki tujuan yang sama, yang secara prinsip didasarkan pada tujuan pendidikan. Salah satu aspek mendasar dalam kehidupan komunitas ialah keterlibatan, partisipasi dan kerja sama dari seluruh komponen yang ada di dalamnya. Problem-problem pendidikan di sekolah dapat muncul mana kala terjadi, ketika mereka yang bekerja dalam bidang persekolahan tidak berhasil dan atau tidak ingin mempertahankan sebuah iklim yang baik dalam hal peningkatan-peningkatan hubungan-hubungan pendidikan dan bekerja dengan kesadaran, tanggung jawab dan keseriusan, yang pada akhirnya memperbaiki juga program pendidikan.[3]
Terdapat banyak problem pendidikan dan seakan tidak akan pernah selesai (terutama di Indonesia secara nasional maupun di tingkat lokal). Sebagai contoh, sering dikritik beberapa problem pendidikan tentang pengakuan atas hasil ujian akhir nasional (UAN), diskriminasi antara sekolah pemerintah dan sekolah swasta, perubahan yang terus-menerus materi didaktik, biaya pendidikan yang tinggi dan terus dipungut, kompetensi para guru yang tidak memadai, pengelolaan sekolah yang sangat sentralisasi (terpusat), serta minimnya kerja sama antara sekolah, orang tua, siswa, para guru, pimpinan sekolah dan pengelola sekolah, serta konflik-konflik keagamaan dan kultur yang dapat masuk ke dalam lingkungan sekolah, kenakalan remaja menyebar di antara para siswa di lingkungan sekolah.
Selain itu, sekolah sering menyibukkan diri dengan aspek-aspek formal dan birokratis, sementara aspek-aspek lainnya yang sangat penting bagi pendidikan integral sebagai tugas utama sekolah seperti kebersamaan dan berada bersama, belum dikelola secara baik dan berarti. Indikasi lain dari problem yang ada ialah bahwa setelah kemerdekaan pada tahun 1945, nampaknya muncul sebuah ketidakseimbangan antara pendidikan akal budi (aspek kognitif), pendidikan untuk hidup bersama (aspek sosial dan budaya) dan pendidikan agama (aspek spiritual).[4]
Untuk menjawab problem-problem yang tersebut, Sekolah Katolik sebagai lembaga pendidikan formal, harus mempromosikan dan menciptakan sebuah iklim yang menolong bagi seluruh komponennya (atau anggotanya) dalam belajar dan bertumbuh secara bersama menurut warisan kultur yang sesuai dengan nilai-nilai keagamaan katolik dalam seluruh proses pendidikannya.
Salah satu cara atau metode pengelolaan yang sedang bergulir sejak jaman modern ini (terutama dimulai dari Amerika Serikat) ialah “Membangun Sekolah sebagai Komunitas Pendidikan[5], yang secara khusus membahas tentang problem-problem aktual dan merefleksikannya mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat diaktualisasikan dalam kegiatan managerialnya.
Refleksi kita tentang komunitas pendidikan adalah sebuah tema yang mengajak kita melihat mengapa dimensi kekomunitasan di sekolah menyentuh dengan sangat kuat eksistensi sekolah, terutama pada aspek kebersamaan dalam bidang pendidikan dan pembinaan pada dunia kita dewasa ini. Untuk menjamin sebuah kualitas pengelolaan sekolah, kita butuh mengaktifkan dan mempromosikan sebuah model pengelolaan sekolah yang spesifik, yaitu “membangun sekolah sebagai komunitas pendidikan” di mana di dalamnya meminta partisipasi, kolaborasi dan tanggung jawab dari seluruh komponen sekolah yang bersangkutan.[6]
Untuk mengubah dan memperbaiki kehidupan masyarakat yang lebih luas untuk menjadi lebih baik dan damai, kita harus memulainya dari sekolah, yang adalah penting untuk melihat bagaimana sekolah katolik mendidik, mengelola, mengajar dan berperilaku serta bagaimana membentuk mentalitas orang-orang muda kepada nilai-nilai kultur-budaya, iman dan kemanusiaan, dan bagaimana mempromosikan seluruhnya itu dalam kehidupan sekolah. Relasi pendidikan menjadi sebuah simpul yang merangkum seluruh aktivitas sekolah, dan juga sebuah aspek yang sangat penting dalam perkembangan dan pembangunan sebuah sekolah sebagai komunitas pendidikan.[7]
2. Dasar Biblis Komunitas Pendidikan: Kesatuan Tritunggal Mahakudus
Kitab Suci yang sampai kepada kita adalah hasil refleksi iman umat, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan membingkai ke-allah-an Tritunggal Maha Kudus: Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah Bapa yang menciptakan langit dan bumi serta manusia, Allah Putra adalah wujud kehadiran Bapa yang datang menyelamatkan serta mengembalikan umat Allah kepada jalan utama penciptaan, sebagaimana hakikat dari tujuan penciptaan. Allah Roh Kudus diutus untuk menyertai dan menguatkan serta memberanikan umat manusia dalam peziarahan mereka menuju tanah terjanji itu.
Ketiga ke-allah-an Tritunggal ini adalah satu kesatuan dalam hakikat dan terbagi dalam perannya dalam sejarah keselamatan manusia dan seluruh ciptaan Allah. Ketiganya adalah satu kesatuan yang diikat oleh suatu misi dan visi yang sama. Relasi dalam hakikat Tritunggal inilah yang menyatukan seluruh visi dan misi keselamatan: “pembangunan” Kerajaan Allah (Kel. 34,4-9; 2 Kor 13,11-13 dan Yoh. 3,16-18). Inilah makna dari sebuah komunitas Kerajaan Allah yang diikat oleh nilai-nilai fundamental: kasih, damai dan keadilan.
Gereja adalah kumpulan umat beriman yang percaya kepada Kristus adalah sebuah keluarga, sebuah kelompok, sebuah komunitas yang diikat oleh nilai-nilai kasih, damai dan keadilan. Model hidup Gereja adalah model kesatuan Tritunggal Maha Kudus, yang seharusnya diwarnai oleh kesatuan dan keeratan relasi dan hubungan yang selalu saling menopang. “Kita adalah satu tubuh di dalam Kristus Yesus”.
3. Membangun Sekolah sebagai Komunitas Pendidikan
Secara sosiologis, seluruh bentuk lembaga, institusi dan organisasi adalah juga sebuah komunitas. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari sebuah komunitas. Sejak lahir dan seluruh hidup manusia selalu langsung diikat dalam sebuah komunitas.
3.1 Sekolah (Katolik) sebagai Komunitas dan Komunitas Pendidikan
Apa itu komunitas dan apa pula pendidikan? Komunitas didefinisikan sebagai sebuah kebersamaan orang-orang yang hidup pada wilayah yang sama dalam kondisi-kondisi dan dengan gaya hidup serta hubungan kedekatan yang familiaritas. Inilah dasar dari sebuah kolektifitas yang dilihat sebagai komunitas ketika semua anggota bertindak dan bertingkah lagu secara resiprokal dan dalam relasi dengan yang lain, serta mengakui akan pentingnya nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, kepentingan-kepentingan kolektif yang berlaku umum, baik pada tingkat pribadi maupun bersama.[8]
Definisi di atas menunjukkan bahwa komunitas bukan merupakan sebuah kumpulan pribadi-pribadi, melainkan sebuah kolektifitas dalam mana semua anggotanya bertindak secara resiprokal di antara mereka. Sekolah katolik didefinisikan sebagai komunitas karena semua anggota hidup bersama dalam lingkungan yang sama dengan norma dan kebiasaan yang sama pula serta terintegrasi di antara mereka. Melalui aktifitas belajar dan mengajar, sekolah katolik menjadi komunitas pendidikan, di mana para pendidik harus mengantar orang-orang muda masuk ke hidup dewasa dan juga kehidupan iman kristen katolik. Inilah dua dimensi penting sebagai program dasar sekolah katolik.[9]
3.2 Komunitas Pendidikan dalam Pendekatan Sosiologi
Banyak ilmu sosiologi yang dapat menolong kita untuk mengerti tentang komunitas serta segala nilai yang ada dalam komunitas. Dalam refleksi ini, kita mencoba melihat komunitas pendidikan dari sudut pandang socio-pedagogis yang diajukan oleh beberapa teori: Tonnies, Parsons, Sergiovanni serta teori “learning communities”. Kita akan berangkat dari teori sosiologi Ferdinan Tonnies dengan konsep-konsep dasar kemasyarakatan tentang Gemeinschaft (komunitas) e Gesellschaft (masyarakat).
3.2.1 Komunitas Pendidikan menurut Ferdinand Tönnies
Tönnies mendefiniskan Gemeinschaft sebagai hidup real dan organis, kebersamaan yang akrab, diasosiasikan sebagai hidup yang saling percaya, intim dan eksklusif; sedangkan Gesellschaft dihadirkan sebagai bentuk hidup mekanik, diasosiasikan kepada semua yang adalah publik, tidak ada kesaling-tergantungan secara perasaan intimitas satu sama lain, di mana setiap orang berada untuk kepentingannya sendiri dan dalam sebuah status tentang tekanan kepada yang lain. Teori tentang Gemeinschaft dan Gesellschaft dari Tönnies, menolong kita untuk mengerti definisi tentang komunitas dan bentuknya yang mungkin dapat membantu sekolah untuk menjadi sebuah komunitas pendidikan.
Bentuk Gesellschaft adalah organisasi formal yang dalam kenyataannya merupakan didominasi oleh norma, aturan dan nilai-nilai. Dalam arti ini, sekolah harus menjadi dan berbentuk sebuah organisasi, tetapi dalam waktu yang bersamaan, sekolah-sekolah juga harus menambahkan bentuk Gemeinschaft yang menghadirkan sebuah gaya hidup lain dalam managementnya yang didasarkan pada norma, tujuan, nilai-nilai, pensosialisasian profesi, kolegialitas dan ketergantungan satu sama lain secara natural. Tipe komunitas dan karakter-karakternya yang diusulkan oleh Tönnies, dapat diadaptasikan dan dimasukan ke dalam kehidupan sekolah. Kehidupan keluarga, kedekatan-kedekatan intimitas dan humanis, relasi afektif dan hubungan timbal balik antara anggota di lingkungan sekolah, adalah karakter-karakter fundamental dalam membangun sekolah sebagai komunitas, walaupun sekolah harus juga diletakkan pada kondisi-kondisi yang diatur dalam sebuah organisasi.
3.2.2 Komunitas Pendidikan menurut Talcott Parsons
Keberbedaan antara Gesellschaft dan Gemeinschaft menurut Tönnies, ditemukan juga dalam Talcott Parsons. Menurut Parsons, masyarakat adalah sebuah sistem, dan dalam keseluruhan sistem ini, terdapat sub-sub sistem yang memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam kehidupan sosial. Sekolah sebagai sistem harus juga merealisasikan fungsinya melalui aktivitas-aktivitas pendidikan yang terorganisasi. Untuk menganalisa pengfungsian dari sebuah organisasi, baik pada level organisasi maupun pada level personal, Parsons menggunakan model “pattern variables”.
Pada level organisasi sekolah, pasangan variable ini ditunjukan melalui relasi-relasi sosial antara seluruh komponen-komponen dalam sekolah: afektifitas dan tanpa afektifitas, kekhususan dan keumuman; difusivitas dan kekhususan; penerimaan yang tidak bersyarat atas pribadi dan penerimaan bersyarat dari prestasi-prestasi pribadi; berorientasi terhadap kolektifitas dan orientasi diarahkan kepada diri sendiri.
3.2.3 Komunitas Pendidikan menurut Thomas Sergiovanni
Diskurus tentang komunitas pendidikan mempunyai sebuah pengaruh yang sangat besar dalam pemikiran Sergiovanni. Melalui pendefinisian tentang komunitas pendidikan dan fundamen-fundamen pedagogis, mengindikasikan kepada kita bagaimana membangun sebuah komunitas pendidikan di sekolah. Komunitas pendidikan, menurut Sergiovanni, adalah relasi yang menghubungkan secara bersama para siswa dengan para guru dalam bentuk yang sangat khusus untuk sesuatu yang adalah penting dalam dirinya sendiri: nilai dan ide-ide yang saling berbagi.
Dalam prospektif ini, komunitas sekolah membantu para guru dan siswanya untuk mentransformasi diri dari sebuah kumpulan “ke-aku-an” kepada sebuah “ke-kita-an” kolektif. Begitulah sekolah harus menjadi komunitas otentik dan menjadi tempat di mana relasi-relasi dari tipe kekeluargaan, spasi dan waktu menyerupai apa yang disebut dengan kedekatan, kode dari nilai-nilai serta ide-ide yang saling berbagi. Untuk membangun sekolah sebagai komunitas pendidikan, perlu mengaktualisasikan beberapa konsep yang mendukung pembangunan sekolah sebagai komunitas pendidikan: yaitu menjadi komunitas relasional, komunitas yang memahami kebutuhan-kebutuhan dari para anggotanya; komunitas yang demokratis; komunitas dari orang-orang yang berprofesional; komunitas dari para “pelajar” dan komunitas yang dipimpin oleh seorang leader, bukan manajer.
3.2.4 Komunitas Pendidikan menurut “Learning Community”
Konsep tentang komunitas pendidikan dipromosikan juga dalam teori “learning community” yang menawarkan sebuah strategi untuk mereformasi pendidikan yang menekankan pada keterlibatan dari seluruh yang berpartisipasi: para siswa, para guru, orang tua, anggota komunitas, para intelektualis, politikus, para pemimpin, dalam sebuah proses yang terus menerus dari evolusi belajar.
Melalui penciptaan-penciptaan hubungan-hubungan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas, seluruh komponen berada pada tingkat menolong seluruh siswa untuk menstabilisasi model-model belajar dalam proses pertumbuhan yang terus-menerus, dan menyemangati mereka untuk meningkatkan sebuah peranan aktif dalam pencarian pengetahuan.
3.2.5 Kontribusi Gereja Lokal dan Negara untuk Komunitas Pendidikan
Dalam membangun sebuah komunitas pendidikan, sekolah katolik butuh partisipasi dan kontribusi pedagogis dari pihak Gereja lokal yang dapat menolongnya untuk menunjukkan kekhususannya melalui program pastoral pendidikan. Dari sudut pandang ini, komunitas pendidikan harus dicahayai oleh ajaran-ajaran Magisterium Gereja, secara khusus didasarkan pada nilai-nilai tanggung jawab pribadi, tanggung jawab bersama, partisipasi aktif, kerja sama, kolaborasi dan hormat-menghormati dan bertumbuh bersama dalam pembentukan pribadi yang dewasa, humanis dan integral. Dipedomani oleh nilai-nilai kesatuan dan relasi trinitas, sekolah katolik harus diterangi dari aspek-aspek kesatuan dari Allah Trinitas.
Untuk membangun komunitas pendidikan, sekolah katolik harus meletakkan secara jelas tentang aspek-aspek fundamental untuk menciptakan sebuah lingkungan kebersamaan di dalam wilayahnya: menciptakan sebuah iklim kebebasan dan kasih; berada sebagai benar dan sungguh subyek gereja dan tempat untuk pewartaan atau evangelisasi; dan meminta keterlibatan, partisipasi untuk aktivitas-aktivitas budaya dan formasi yang khusus. Begitulah juga Gereja Katolik Indonesia memikirkan beberapa point penting yang menolong sekolah-sekolah katolik untuk membangun dirinya sebagai komunitas pendidikan: mempromosikan dialog positif antara seluruh komponen di sekolah; berusaha menghapus diskriminasi di sekolah; belajar untuk menyatukan diri dengan lingkungan setempat; membangun bersama sebuah bangsa yang satu dan damai berdasarkan pada filsafat Pancasila, UUD 1945 dan semboyan Bhineka Tunggal Ika; mengenakan habitus baru di mana sekolah katolik harus menjadi “rumah untuk semua”; dan memperkuat serta memperluas kolaborasi dan kerja sama pendidikan antara seluruh anggotanya, baik itu di lingkungan sekolah maupun dengan badan-badan yang berada di luar sekolah.
Didasarkan pada situasi real dari sekolah katolik di daerah kita dan pemahaman pentingnya komunitas pendidikan, kita dibantu oleh beberapa prospektif sosio-pedagogis untuk pembaharuan dalam pengelolaan sekolah sebagai komunitas pendidikan di sekolah-sekolah katolik. Prospektif-prospektif ini dapat direalisasikan di Indonesia sebagai suatu kontribusi yang dapat direalisasikan sebagai sebuah kontribusi sosio-pedagogis dan didaktik di sekolah katolik kepada sistem pendidikan.
Untuk tidak melupakan warisan budaya para pendahulu yaitu tentang nilai-nilai dan asas kekeluargaan, hal pertama ialah kembali ke semangat kemerdekaan: bhineka tunggal ika (kesatuan dala keberbedaan). Realitas kita menunjukkan kepada kita bahwa dalam sekolah-sekolah katolik, para siswa berasal dari pelbagai latar belakang yang berbeda seperti kultur, etnis, dan juga agama. Oleh karena itu, untuk hidup bersama, perlu menghidupi dalam relasi dengan semua dan menciptakan sebuah mentalitas di sekolah tanpa menghilangkan perhatian untuk dimensi etis dan religius, dan ini secara fundamental, untuk menampakkan kevaliditasan sekolah katolik.
Untuk merealisasikan sebuah sekolah sebagai komunitas pendidikan dibutuhkan juga bahwa seluruh komponen di sekolah dan terutama para guru dan para kolaboratornya, dipersiapkan secara baik dan serius melalui kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan tentang formasi yang diprogramkan selama tahun-tahun kuliah di perguruan tinggi (formasi awal) dan selama tahun-tahun ketika bertugas (formasi lanjutan). Untuk menampakkan secara lebih jelas tentang ide komunitas pendidikan, sekolah katolik harus menciptakan dalam lingkungannya suatu iklim kolegialitas, tanggung jawab bersama, kolaborasi dan partisipasi aktif serta penfungsian kepemimpinan secara optimal. Aspek lain yang juga penting ialah mempertahankan dimensi etis dan religius kekatolikan sebagai bagian integratif dari sekolah katolik, dan terakhir ialah bahwa program tentang pembangunan komunitas pendidikan di sebuah negara pluralitas – seperti Indonesia – ialah perlu juga merealisasikan dimensi pendidikan inter-kultural di sekolah katolik.
4. Model Komunitas Pendidikan di Sekolah Katolik
4.1 Gambaran Umum Model Komunitas Pendidikan
Ketika kita berbicara tentang sekolah, tanpa ragu kita memikirkan sebuah komunitas pendidikan, yaitu sebuah sekolah yang dimengerti sebagai komunitas pendidikan. Dari aspek teoretis-pedagogis dan praktek-edukatif, seperti dikatakan oleh Bertagna, konsep komunitas pendidikan mengijinkan kita untuk melihat dan manganalisis pengalaman sosial seluruh tindakan dari aktor-aktor yang terlibat di sekolah.
Yang pertama ialah bahwa dalam komunitas pendidikan disebut sebabai proses sosialisasi. Di sana ada tindakan sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan, kultur, akal budi dan religius (rohani) yang menjadi entitas-entitas fundamental dalam proses pendidikan. Yang kedua ialah dalam komunitas pendidikan butuh untuk mempertahankan dan menyemaikan tradisi (kultur dan agama serta ilmu pengetahuan). Nilai-nilai dan keutamaan dimengerti sebagai warisan yang wajib ditransferkan kepada generasi baru agar tidak hilang.
Yang ketiga ialah, bahwa dalam komunitas pendidikan harus ditanamkan dan dikembangkan akal budi, iman dan kebenaran. Keempat ialah bahwa di dalam komunitas pendidikan, dimengerti sebagai tradisi dan sumber kebenaran adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Inilah tugas guru dan semua komponen dalam memanagemen sekolah katolik secara bersama.[10]
Untuk mengerti dengan baik definisi komunitas pendidikan, harus dicatat karakterisktik-karakteristik dasar dari sebuah sekolah sebagai komunitas pendidikan:
Komunitas belajar;
Komunitas dengan visi berbagi;
Komunitas yang “merawat” semua anggotanya;
Komunitas bermoral, yang meletakkan dirinya pada pusat tanggung jawab setiap orang;
Komunitas inklusif;
Komunitas yang dibimbing oleh seorang leader yang berbagi dan melayani; dan
Komunitas dari orang-orang yang professional, yang selalu belajar.
Ciri khas lain dari komunitas pendidikan di sekolah katolik ialah yang menekankan pada nilai religiusitas (khas Kristen), komunitas yang dicahayai oleh iman. Sekolah katolik sebagai sebuah komunitas pendidikan harus menciptakan lingkunan communitario (kebersamaan), dan di dalam lingkungan ini, diminta “kepada semua dan masing-masing untuk menjaadi pribadi yang bertanggung jawab, bebas, solid, mampu untuk mengelaborasi kultur (tidak hanya mengkonsumsinya atau menggunakannya); pedagogi pelayanan kepada pembelajaran yang akan diartukulasikan dengan sebuah pedagogi untuk pelayanan yang akan menolong mengerti komitmen dan kerja sama demi perealisasian sebuah masyarakat yang berwajah manusia dan punya cinta yang mempersiapkan akan kedatangan Kerajaan Allah.[11]
Dimensi religious di sekolah katolik penting dan harus dapat dinyatakan sebagai bagian integral dari komunitas – model Gereja – yang berdoa, bekerja dan mencinta. Dalam arti ini, butuh menambahkan sebuah “spiritualitas kebersamaan” yang mana sekolah katolik harus “memikirkan dan bertindak secara bersama, kerja sama, menjadikan sebagai komunitas pendidikan, diisnpirasikan oleh roh kristiani dan menyiapkan diri dengan belajar, pembaharuan, doa dan mengutamakan kejujuran dan kerendahan hati”.[12]
4.2 Komponen-komponen dalam Komunitas Pendidikan
Di dalam sekolah sebagai komunitas pendidikan, setiap kmponen memiliki sebuah tugas dan peranan yang khas, dengan hak dan kewajibannya, tetapi semua secara bersama bertanggung jawab membangun sekolah dan peribadi yang berada di dalamnya.
Terdapat kurang lebih delapan komponen di dalam komunitas pendidikan. Yang pertama ialah siswa-siswi (orang muda) yang dilihat sebagai pemeran utama dalam seluruh kegiatan pendidikan dan menjadi sentral dari proses pembentukan dan pembinaan di sekolah. Mereka memiliki hak untuk menerima pendidikan dan pembinaan kemanusiaan dan budaya.[13]
Sebagai pemeran utama, siswa-siswi mempunyai tanggung jawab untuk berpartisipasi kepada pengelaborasian, pengeksekusian dan kepada pengverifikasian program pendidikan di sekolah. Di kelas, siswa-siswi belajar untuk memasukan diri mereka dalam sebuah konteks social dan untuk melatih menghidupi norma dan nilai-nilai hidup komunitas dan mencintakan relasi yang dapat melibatkan diri mereka ke dalam kegiatan-kegiatan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan. Benar bahwa daalam sekolah, terdapat sikap pasif yang sangat kuat dari banyak siswa-siswi, karena itu sekolah harus mampu mengatasi problem ini dan membuka diri terhadap dialog, tanggung jawab dan partisipasi aktif dalam hidup persekolahan.[14]
Komponen kedua ialah para guru. Tugas mereka tidak hanya mentransferkan pengajaran atau nilai-nilai ilmu pengetahuan dan budaya (kultur) tetapi juga melibatkan peranan mendidik yang tidak hanya dalam dimensi kognitif tetapi juga afektif, etika dan spiritual. Guru memang disebut sebagai pengajar atau maestro, tetapi dia akan selalu disebut sebagai pendidik.[15]
Komponen ketiga ialah pemimpin (kepala sekolah dan para wakilnya). Mereka adalah penanggung jawab pertama dalam komunitas pendidikan. Sergiovanni mengklasifikasikan beberapa kompetensi dan kemampuan yang harus dimiliki mereka, dalam tujuh kategori: memiliki tingkah lagu sebagai leader; kemampuan komunikatif; kemampuan dalam memproses kelompok, kurikulum dan pengajaran; menolong menambahkan kompentensi para rekan guru; evaluasi, pengelolaan yang terorganisir, dan lain-lainnya.[16]
Komponen keempat yaitu orang tua. Mereka adalah penanggung jawab pendidikan yang pertama. Mereka adalah pendidik yang utama dan pertama kepada anak-anak mereka. Mereka juga memiliki kewajiban untuk menanyakan keadaan belajar dari anak-anak mereka setiap kali mereka mau, dan tidak menunggu sampai selesai semester. Hubungan antara orang tua dan sekolah harus ditingkatkan untuk mencintakan sekolah sebagai benar-benar komunitas pendidikan. Mereka juga perlu mengetahui seluruh situasi sekolah, susah dan senang yang dialami para guru serta hal-hal lainnya yang layak untuk dikomunikasikan. Orang tua dipanggil juga untuk berpartisipasi kepada hidup sekolah melalui pertemuan-pertemuan kelas atau sekolah, pemilihan wakil mereka ke komite sekolah dan juga dalam setiap aktifitas pastoral sekolah, kultur dan sport. Pada level kolaboratif, sekolah harus bersedia untuk mengadakan colloqium dengan orang tua tentang anak-anak mereka.[17]
Komponen kelima ialah yayasan, tata usaha, masyarakat setempat, dan para donatur atau pemerhati pendidikan yang memberikan kontribusi kepada sekolah yang bersangkutan.[18]
4.3 Relasi dalam Komunitas Pendidikan
Arti relasi diartikan sebagai hubungan antara kl dua entitas atau pribadi yang menunjukan karakter yang terhubungkan. Relasi dalam bidang pendidikan memiliki finalitas pendidikan bahwa edukator dan siswa memiliki tujuan yang sama. Tujuan utama ialah pertumbuhan kepribadian baik secara psikologis, fisik, spiritual dan terutama dalam hal belajar. Dalam prospektif ini, relasi pendidikan tidak hanya disempitkan pada relasi antara guru dan siswa tetapi dari seluruh komponen yang ada di sekolah. Relasi pendidikan memberikan ruang dan tempat kepada seluruh anggota di sekolah untuk menyatakan kekayaan-kekayaan akan idek, pemikiran, mimpi dan perasaan-perasaan dalam berkembang bersama sebagai satu komunitas pendidikan.[19]
Banyak sudut pandang jika kita berbicara tentang relasi. Dari sisi filsafat, yaitu filsafat relasi, merekankan pada aspek intersubyektif, inteer-relasi dan komunikasi. Dalam prospektif ini dikatakan bahwa kemanusiaan relasianal dimengerti sebagai kemampuan untuk ditempatkan dalam dunia yaitu “berada dengan”. Pribadi manusia secara esensial adalah manusia relasional dan berhubungan serta berdialog antara satu sama lain.[20]
Paul Ricoeur, contohnya menyebutkan bahwa “kita adalah pribadi hanya ketika kita iakui dari yang lain. Karena itu kita tidak pernah menjadi pribadi yang berada sendiri, tetapi pribadi yang selalu berada dalam relasi […]”.[21]
Dalam refleksi teologi kristen, manusia memiliki relasi dengan Allah karena manusia diciptakan menurut gambar Allah Tritunggal. Relasi Trinitas menjadi contoh relasi antar manusia dalam membangun kerajaan Allah, dalam membangun komunitas.[22]
Dalam pendekatan psiko-edukatif, Franta menyebut bahwa ada tiga dimensi dalam relasi pendidikan. Dimensi-dimensi itu adalah kontrol, emosi-afektif dan transparansi – otentik. Dimensi kontrol menolong kita untuk mampu membedakan tingkah laku dominan dari permisif. Dimensi emosional – afektif menolong kita untuk mengambil kontak dengan orang lain (dengan sswa) di dalam komunitas yang dapat membangun sebuah panggung komunikasi dan untuk mengembangkan kepribadian. Dimensi terakhir ialah kongruen . transparansi – otentik. Dalam relasi yang membangun di dalam komunitas pendidikan, jenis relasi itu harus terbuka, kongruen dan otentik.[23]
Relasi pendidikan dengan dimensi-dimensi tersebut dihadirkan sebagai kualitas sentral dalam komunitas pendidikan. Dalam sekolah, relasi didasarkan pada interpersonal antara semua anggota yang berada berada di sekolah. Membangun sebauh relasi yang baik berarti mengembangkan komunikasi antara selua anggota di sekolah karena “komunikasi dilihat sebagai inti dari relasi, mempersiapkan dan menolong pertemuan dan dialog bahwa sebelum saling bertukar kata-bahasa, perlu dulu mendengarkan”.[24]
4.4 Strategi-strategi untuk Membangun Sekolah sebagai Komunitas Pendidikan
Terdapat beberapa strategi dalam membangun sekolah sebagai komunitas pendidikan.
Mendidik untuk bertanggung jawab dan berusaha memenuhi kebaikan bersama.
Membangun sebuah tempat dan ruang untuk pendidikan integral.
Membangun sebuah komunitas pendidikan yang merawat semua siswa dan membimbingnya secara khusus.
Menciptakan sebuah komunitas moral.
Membangun sebuah kepemiminan berbagi untuk menggerakan sebuah budaya tanggung jawab.
5. Menggali kembali Dimensi Historisitas Komunitas Pendidikan Indonesia
Istilah “komunitas pendidikan” bukanlah hal baru dalam perkembangan sejarah di Indonesia. Istilah itu sudah mulai bermetamorfosis sejak kehidupan tradisional jaman purba kala, kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, Islam, Kristen dan juga jaman-jaman setelahnya.
Dalam jaman Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya sudah dikenal dengan istilah padepokan. Dalam Kerajaan Islam sudah dikenal dengan istilah pesantren. Dalam masa penyebaran agama Kristen dikenal dengan istilah asrama, yang masih eksis sampai saat ini. Untuk kembali mengangkat dan mengingat sejarah perjuangan hidup kerohanian dan kerajaan pendahulu, serta untuk mendukung kegiatan sekolah dalam proses belajar mengajar, pemerintah menggulirkan kembali organ BP3, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, yang tugasnya untuk menggerakkan partisipasi dan tanggung jawab seluruh komponen sekolah dan masyarakat dalam mensukseskan program pendidikan nasional. Hanya saja, semuanya masih pada tahap perencanaan dan perbincangan dan belum diaktualisasikan secara sungguh-sungguh di lingkungan sekolah.
6. Catatan Penutup dan Refleksif
Untuk dapat membangun sekolah katolik sebagai komunitas pendidikan, dibutuhkan suatu pemahaman yang baik dan benar tentang arti dari komunitas dan komunitas pendidikan, yang ditolong oleh pendekatan ilmu sosiologi, antropologi dan psikologi. Namun dari uraian yang singkat di atas kita dapat memahami bahwa pendidikan dan pembinaan generasi muda di sekolah akan dapat berhasil jika kita melakukan sebuah pola atau model pendidikan integral, di mana setiap orang muda tidak hanya membentuk aspek kognitifnya, melainkan juga aspek-aspek penting lainnya seperti sosial – kemasyarakatan, afektif dan juga spiritual. Seluruh aspek ini telah ada dalam bingkai sejarah kita, hanya saja terkesan kita melupakannya serta mendewakan salah satu aspek dan memiskinkan aspek-aspek fundamental yang lainnya. Kita tidak bisa mendidik dan membina kaum muda hanya dalam bagian-bagian tertentu saja, melainkan mendidik dan membina secara integral.
Menghidupi konsep atau pemahaman tentang komunitas pendidikan di sekolah justru dapat membantu kita untuk mempersiapkan orang-orang muda kita untuk memasuki dunia dewasa, di mana mereka siap untuk mandiri dan melanjutkan tongkat estafet kehidupan di masa-masa yang akan datang. Namun, semuanya bisa berhasil jika kita memulainya dari diri kita sendiri: educare per educarsi (mendidik diri untuk mendidik orang lain) dan formarsi per formare (membina diri untuk membina orang lain), karena kita tidak bisa memberikan kekayaan kepada orang lain jika kita sendiri tidak memilikinya.
Beberapa Pertanyaan Refleksif:
Apa yang Anda pahami dengan konsep “komunitas” dan “komunitas pendidikan” dan bagaimana itu diterapkan dalam Sekolah Katolik?
Manakah kontribusi atau sumbangan-sumbangan edukatif konkrit Anda untuk membangun sebuah “Komunitas Pendidikan” di Sekolah Katolik?
_____________________
[1] Cf. T. MERTON, Nessun uomo è un’isola (Tidak Ada Manusia adalah sebuah Pulau), Milano, Garanzi, 4°1983, hal. 20-24.
[2] Cf. A. MANENTI, Vivere insieme. Aspetti psicologici (Hidup Bersama. Aspek-aspek Psikologis), Bologna, EDB, 2009, hal. 5-6.
[3] Cf. O. REBOUL, I valori dell’educazione (Nilai-nilai Pendidikan), Milano, Editrice Ancora, 1992, hal. 119-140.
[4] Cf. D. NANDIKA, Pendidikan di tengah gelombang perubahan, Jakarta, LP3ES, 2007, hal. vii-iv; Cf. MAHDIANSYAH (Ed.), Pendidikan. Membangun karakter bangsa. Peran sekolah dan daerah dalam membangun karakter bangsa pada peserta didik (Jakarta, Bestari Buana Murni, 2011, hal. 5-8; Cf. M. YAMIN, Menggugat pendidikan Indonesia. Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara), Jogjakarta, AR-RUZZMEDIA, 2009, hal. 81-134.
[5] CENTRO STUDI PER LA SCUOLA CATTOLICA (CSSC), Dieci anni di ricerche, 1998-2008 (10 Tahun Penelitian, 1998-2008), Brescia, Editrice la Scuola, 2008, hal. 65-76.
[6] Cf. G. MALIZIA – S. CICATELLI – C. M. FEDELI – V. PIERONI, Il Progetto della ricerca, dalam CSSC, Costruire la comunità educante, decimo rapporto (Membangun Komunitas Pendidikan), Brescia, Editrice la Scuola, 2008, hal. 92.
[7] Cf. S. S. MACCHIETTI, La relazione nella comunità educante di scuola cattolica, in CSSC, Costruire la comunità educante, hal. 224.
[8] L. GALLINO, Dizionario di Sociologia, Torino, UTET, 2009, hal. 143.
[9] Cf. S. CICATELLI, Le Scuole Cattoliche nella vita delle Chiese locali, in CSSC, L’Impegno delle Chiese Locali. Scuola Cattolica in Italia, Tredicesimo Rapporto, Brescia, Editrice la Scuola, 2011, hal. 17.
[10] Cf. G. BERTAGNA, Per una teoria della comunità educante, in CSSC, Costruire la comunità educante, pp. 19-30.
[11] G. MALIZIA – S. CICATELLI – C. M. FEDELI – V. PIERONI, Conclusioni generali, in CSSC, Costruire la comunità educante, hal. 327.
[12] G. MALIZIA – S. CICATELLI – C. M. FEDELI – V. PIERONI, Conclusioni generali, dalam CSSC, Costruire la comunità educante, hal. 328; Cf. CONGREGAZIONE PER L’EDUCAZIONE CATTOLICA, Educare insieme nella Scuola Cattolica, n. 16.
[13] Cf. UNESCO, Rapporto mondiale sull’educazione. Il diritto all’educazione, Roma, Armando, 2000, hal. 83.
[14] Cf. S. FERRAROLI, Educare si può. Famiglia e scuola insieme, Leumann (TO), ELLEDICI, 2010, hal. 89.
[15] Cf. S. FERRAROLI, Educare si può, hal. 90.
[16] Cf. T. J. SERGIOVANNI, Dirigere la Scuola. Comunità che apprende, hal. 3-7.
[17] Cf. S. FERRAROLI, Educare si può. Famiglia e scuola insieme, hal. 90.
[18] Cf. P. D. CORE – S. FERRAROLI – U. FONTANA (Eds.), Orientare alle scelte, Roma, LAS, 2009, hal. 9.
[19] Cf. C. NANNI, Rapporto educativo, dalam J. M. PRELLEZO – G. MALIZIA – C. NANNI (Eds.), Dizionario di scienze dell’educazione, hal. 976-977.
[20] Cf. M. TOSO – Z. FORMELLA – A. DANESE (Eds.), Emmanuel Mounier. Persona e umanesimo relazionale. Mounier e oltre, Roma, LAS, 2°ed.2005, hal. 35-65.
[21] P. RICOEUR, Sé come un altro, Milano, Jaca Book, 1993, hal. 469.
[22] BENEDETTO XVI, Concelebrazione eucaristica in Piazza della Vittoria a Genova. Omelia di Sua Santità Benedetto XVI, in «Vatican» (05.12.2012) <www.Vatican.va/holy_father/benedict_xvi/homilies/2008/> , hal. 1.
[23] Cf. H. FRANTA, Atteggiamenti dell’educatore. Teoria e training per la prassi educativa, Roma, LAS, 1988; Cf. anche Z. FORMELLA, Educatore maturo nella comunicazione relazionale, Roma, Aracne, 2009, hal. 56-75.
[24] A. GIAMBETTI, L’etica della relazione nella prospettiva della persona, in S. S. MACCHIETTI, (Ed.), Alla scuola del personalismo nel centenario della nascita di Emmanuel Mounier, Roma, Bulzoni, 2006, hal. 69.
Gunungsitoli, Awal Desember 2013
Email: giuslay.zone@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar