1. Pengantar
Dalam seluruh perkembangan dalam dunia pendidikan, terdapat
banyak orang yang menamakan pemerhati pendidikan, yang pada saatnya juga
disebut sebagai tokoh atau ahli pendidikan, mencoba merumuskan bentuk pendidikan
yang lebih menolong pembentukan peradaban dunia. Proses ini telah lama ada
semenjak munculnya manusia di bumi dalam mengatasi “ketidakcukupan” yang
dialami dalam hidup. Ketidakcukupan ini mendorong manusia untuk mencari
kemungkinan-kemungkinan yang dapat mengatasi problem social kemasyarakatan ini.
Dunia pendidikan menjadi solusi
pertama dalam proses pembentukan pamanusiaan manusia.
Namun dalam
perkembangannya, pandangan atau pemikirian mereka selalu tidak dapat menjawab
seluruh problem yang ada. Boleh dikatakan bahwa pandangan yang satu mampu
mengatasi problem tertentu tetapi tidak dapat mengatasi seluruh problem yang
ada di dalam dunia sosial kemasyarakatan.
Dalam dunia
kontemporer, terdapat banyak tokoh pendidikan yang mencoba mencari beberapa
alternatif bentuk pendidikan untuk bisa menjawab kebutuhan dunia kontemporer
ini. Salah satu dari mereka ialah Jacques Maritain (1882-1973), yang mengkritik
dengan sangat tajam model pendidikan dunia dewasa ini.
Menurut dia,
pendidikan kontemporer itu bersifat parsial dan mendewakan spesialisasi,
memilik kelemahan dan membangun fondasi kokoh sebuah masyarakat demokrasi. Dalam
bukunya, “Pendidikan Berada di Simpang Jalan” (1943), ia mengemukaan kesalahan-kesalahan
dalam pendidikan kontemporer yang mengakibatkan hilangnya rasa integralitas
seorang pribadi. Dua di antaranya adalah pragmatisme dan
intelektualisme.
2. Pragmatisme intelektual
Kritik Maritain atas pragmatisme intelektual tidak mengacu
perilaku partisipatif atas kehidupan sosial, sebuah aspek yang oleh para filsuf
dianggap hal-hal yang fundamental dan positif bagi hidup sosial setiap manusia,
tetapi menukik pada prinsip yang mendasarinya, yaitu kegiatan berpikir terjadi
karena ada masalah yang muncul dalam kehidupan praktis yang harus dihadapi dan
segera dipecahkan.
Adalah sebuah penghinaan mendefinisikan pemikiran manusia
sebagai sebuah organ untuk menjawab berbagai macam rangsangan atas situasi
lingkungan nyata. Terminologi seperti ini hanya tepat untuk menggambarkan
pengetahuan dan reaksi binatang, sehingga berpikir secara persis dengan
definisi seperti ini mengukuhkan cara berpikir khas untuk binatang tanpa rasio,
tulis Maritain.
Manusia menggunakan daya nalarnya bukan sebagai jawaban atas
rangsangan dari luar, tetapi tertuju pada suatu nilai, kebenaran. Kebenaran
inilah yang perlu diverifikasi, baik secara rasional maupun lewat pengalaman,
bukan hanya melalui kegunaan praktis. Hidup sendiri memiliki tujuan yang
membuat hidup itu kian layak dihayati. Pragmatisme mengaburkan kebenaran yang
mesti menjadi acuan tiap ilmuwan. Pragmatisme intelektual kian efektif
menggoyahkan sendi-sendi demokrasi ketika dibarengi intelektualisme politisi.
3. Intelektualisme politisi
Intelektualisme, lanjut Maritain, merupakan konsekuensi
logis pola pikir yang mendewakan fungsi praktis dan sosial pengetahuan manusia.
Kegiatan intelektual manusia tidak dilihat sebagai sebuah penziarahan luas
untuk mencari kebenaran, tetapi diredusir pada pengetahuan yang kian lama kian
khusus dan terspesialisasi. Intelektualisme modern termanifestasi dalam
pemahaman bahwa kesempurnaan pendidikan tercapai ketika anak didik memiliki
spesialisasi akademis dan kemampuan teknis.
Kelemahan dasar model berpikir spesialisasi ini adalah
mencetak manusia sempurna yang kenal betul akan tugas-tugas khususnya, namun
tidak memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menilai sesuatu yang berada di luar
bidang spesialisasinya. Kultus spesialisasi memiskinkan manusia dan melukai
martabatnya, kritik Maritain.
Dalam kerangka politik, pemiskinan manusia ini merupakan hal
yang fatal bagi pembentukan masyarakat sosial yang demokratis. Masyarakat yang
demokratis membutuhkan cendekia yang terbuka, luas horizonnya, bukan sebuah
jiwa yang tertutup pada spesialisasinya saja.
Dihitung secara matematis dan ekonomis, menaikkan harga BBM
memang sebuah keputusan yang secara rasional paling menguntungkan dan praktis.
Menghapus subsidi BBM dan menaikkan harga BBM akan menjaga keberlangsungan APBN
yang sehat dan menjamin nilai rupiah, mengurangi penyelundupan dan pengoplosan
BBM, dan sebagainya.
Dana kompensasi
BBM bagi orang miskin mungkin diperlukan. Namun, untuk apa keberlangsungan APBN
jika uang negara dengan mudah dijarah sehingga proyek padat karya dan perbaikan
infrastruktur yang dianggarkan tetap menjadi ladang empuk korupsi? Untuk apa
dana kompensasi jika hanya menjadi kesempatan bagi mereka yang berkuasa
memanipulasi data dan menjarah kembali uang negara?
Yang dibutuhkan
rakyat adalah keadilan, di mana para penyelundup BBM yang merugikan negara
dihukum; transparansi keuangan, di mana para manipulator dana kompensasi
diproses di pengadilan. Yang diminta dari rakyat adalah jaminan sosial secara
terstruktur dan legal bagi mereka yang kurang beruntung (bukan aksidental
dengan memberi kartu keluarga miskin). Kebijakan
kenaikan harga BBM mengindikasikan aristokrasi ekonomi di Indonesia telah
sampai pada tahap yang membahayakan sendi-sendi demokrasi dan keadilan sosial.
Intelektualisme
politisi seperti ini membawa kehidupan politik di ambang kehancuran sebab
kehidupan politik yang semestinya menjadi kinerja bersama seluruh warga, di
mana masyarakat sipil mengemban peran sebagai pengawan kebijakan publik,
akhirnya hanya dipegang sekelompok kecil politisi spesialis. Kelompok
kecil teknokrat politik-ekonomi yang menentukan hidup mati semua orang.
4. Krisis Solidaritas
Pragmatisme intelektual ditambah dengan fenomena
intelektualisme politisi akan menghasilkan krisis solidaritas. Krisis
solidaritas menggerogoti tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Krisis solidaritas terjadi karena warga kian menyadari, para
politisi alih-alih memiliki sense of crisis, malah jatuh pada eskapisme
politis. Kompleksitas masalah BBM yang dipicu kebijakan politik
ekonomi pemerintah digeneralisir sebagai masalah bangsa, bukan karena
kekeliruan analisis pemerintah dalam mengatur negara. Eskapisme politis
menyepelekan efektivitas struktur kekuasaan politik dalam menentukan kebijakan
publiknya.
Cuci tangan atas keputusan politik yang diambil bukan
perilaku terpuji seorang demokrat. Para politisi (baca, pemerintah, pembuat
hukum, dan pegawai pengadilan) dalam sebuah masyarakat demokratis bekerja
pertama-tama untuk melayani melayani republik (baca=hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum, termasuk BBM). Sebab, dari kodrat kekuasaan yang dimilikinya,
tiap keputusan politik yang mereka ambil akan memiliki dampak nyata bagi setiap
warga negara. Masalah BBM mungkin merupakan masalah bangsa. Namun,
keputusan menaikkan harga BBM yang berimbas pada meroketnya harga-harga dan
sebagainya tetap menjadi tanggungjawab politik pemerintahan Yudhoyono-Kalla.
Masyarakat akan tetap berpikir, kebijakan pemerintah telah
menzalimi dan melukai martabat warganya jika dengan keputusan politiknya
pemerintahan Yudhoyono-Kalla tidak dapat mempertanggungjawabkan transparansi
keuangan dan kelancaran penyaluran dana kompensasi bagi rakyat miskin, menjamin
stabilitas kehidupan sosial ekonomi di dalam masyarakat, serta perbaikan
berbagai macam infrastruktur yang dijanjikan setelah mengambil keputusan
politiknya, yang menurut Sofyan A Djalil, we have to choose the lesser of two
evils.
Mungkin sekaranglah saat yang tepat mengatakan pada
pemerintah, sebagai warga kita juga berhak mengatakan, "we have to choose the
lesser of two evils". Apakah pemerintah mau lari dari tanggung jawab politik, atau
rakyat harus terus mendendangkan tembang duka dengan judul Bersama Kita Bisa
(Menderita)?
Tulisan ini diadopsi dari tulisan Doni Koesoema A, di harian KOMPAS dan dimuat juga dalam harian on line, Mirifica - http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=2244).
Sergius Lay
Email: giuslay.zone@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar