Sabtu, 28 Desember 2013

Keluarga Kudus Nazareth, Model keluarga Bahagia

Manusia seringkali terperangah dengan sistem dan cara kerjanya sendiri. Bahkan tidak jarang pula manusia jatuh dalam pemiskinan dan arogansi moral yang berlebihan. Anak-anak yang mulai khawatir bahkan lari dari kehidupan orang tuanya. Ayah, ibu, maupun anak-anaknya mulai bertindak tanpa dilandasi dengan sebuah nilai-nilai moral yang benar. Pimpinan yang selalu menuntut ini dan itu tanpa dibarengi dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasionalistis. Anggota-anggota Gereja yang mulai enggan untuk mengikuti kegiatan peribadatan, dan lain sebagainya. Terhadap fakta-fakta ini Romo Magnis Suseno, S.J.  mengatakan demikian: “manusia mewujudkan nilai moral bukan dengan memperhatikan realitas  melainkan dengan bertekad untuk  bertindak secara moral. Dalam dunia kersang bebas tanpa nilai itu kehendak bergerak secara lepas, terisolasi tanpa substansi, bak bayang-bayang berpegang pada bayang-bayang, sebuah solipsisme moral yang menyedihkan”.
Kita umat Kristiani turut prihatin atas kemerosotan-kemerosotan yang terjadi akhir-akhir ini. Atas dasar sebuah realitas dan fakta yang demikian perlulah kita menggali kembali apa yang menjadi pedoman dan spiritualitas dalam melakukan sebuah karya pelayanan baik dalam keluarga, komunitas, Lingkungan tempat tinggal maupun dalam lingkungan kerja. Kita perlu menimba kembali hal-hal yang menjadi dasar spiritualitas kita dalam melakukan sebuah karya pelayanan, dalam memaknai kehidupan. Bertepatan dengan hal tersebut, dalam bulan Desember ini kita merayakan dua perayaan besar yakni perayaan Natal dan Tahun Baru   dan pesta Keluarga Kudus Nazareth. Karena itu dalam artikel kecil ini saya mencoba untuk menggali Spiritualitas Keluarga Kudus Nazareth dalam kerangka karya pelayanannya di dunia ini.
Hakekat Keluarga
Keluarga merupakan persekutuan antara orang tua dan anak-anak. Keluarga dapat disebut sebagai lembaga sosial alami. Sebab kebutuhan dan keterikatan anak-anak, kasih sayang dan usaha-usaha alami dari orangtua serta ikatan-ikatan darah dengan semua kekerabatan badani dan rohani mampu menyatukan dan melampaui berbagai macam rintangan. Sasaran dan tugas-tugas keluarga ini berupa membesarkan anak-anak serta memperhatikan kebutuhan sehari-hari para anggotanya.  Dapat kita katakan bahwa terdapat 3 fungsi utama keluarga yakni Pertama,  keluarga adalah satuan ekonomi dasar. Sebagai satuan ekonomi dasar keluarga menyediakan bagi manusia kebutuhan sehari-harinya akan makanan, perumahan dan pakaian. Semua yang termasuk dalam keluarga bersangkutan dan yang mampu menyumbangkan kerja atau pendapatan mereka untuk perawatan rumah tangga diharapkan terlibat dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga tersebut.
Kedua, Keluarga adalah satuan pendidikan dasar. Perkembangan intelektual dan moral pribadi manusia amat bergantung pada pendidikan di dalam keluarga. Dalam keluarga inilah masing-masing individu anak menerima pengetahuan dan pemahaman pertama tentang dunia di sekitarnya. Dalam keluarga inilah mereka pertama kali diajarkan tentang cinta kasih timbal balik tanpa pamrih. Di dalam kehidupan keluarga ini juga mereka mengalami berbagai macam nilai-nilai kehidupan seperti keadilan, kesediaan untuk menolong sesama, tenggang rasa, kejujuran, keikhlasan, ketekunan dan lain sebagainya.  Pendidikan yang dialami ini tidak hanya dirasakan oleh pihak anak semata tetapi juga membawa serta pengaruh edukatif bagi orang tua itu sendiri. Orang tua ditantang untuk menampilkan kemampuan dirinya yang terbaik guna menggapai tujuan agung dan mulia yakni sebuah keluarga yang bahagia. Tanggungjawab orang tua merupakan suatu stimulus bagi orang tua itu sendiri. Demikianlah “anak-anak dengan cara mereka sendiri ikut serta menguduskan orang tua mereka” (GS 48).
Ketiga, Keluarga adalah persekutuan spiritual dasar bagi manusia. Kehidupan keluarga yang berlandaskan pada kasih, kepercayaan, penghormatan dan penghargaan dapat membawa sebuah wahana spiritual. Di sana terdapat sebuah sikap yang saling bertukar pendapat, keyakinan, nilai dan tingkah laku, sharing pengalaman kegembiraan dan dukacita, keberhasilan dan cobaan, kerinduan untuk berkomunikasi, bersahabat, keindahan, permainan,dan rekreasi. Hal-hal tersebut   tidak ditemukan dalam kelompok manapun selain mendapat kepenuhannya yang paling dasar dalam lingkaran orangtua, saudara-saudari dan sanak kerabat. Keluarga menyediakan sentuhan pribadi, lingkungan insani yang hangat, persahabatan dan kasih sayang yang sangat dibutuhkan orang dimana saja. Keluarga adalah rumah tangga iman yang dipanggil untuk mewariskan iman para leluhur, membudidayakan tradisi keagamaan serta menterjemahkan keyakinan-keyakinan religius ke dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai tradisi dan perayaan ini memberi kepada keluarga suatu cita rasa keikatsatuan dan jati diri religius.

Keluarga Kudus Nazareth
Dalam lingkup keluarga,  Yusuf, Maria dan Yesus mengalami dan merasakan kepenuhan akan kebutuhan jasmani maupun rohani yang sangat mendalam. Berdasarkan pada latarbelakang masing-masing, mereka diutus untuk bersatu membentuk sebuah keluarga baru yang di dalamnya saling memberi dan menerima, mendidik dan dididik. Mereka saling belajar satu sama lainnya baik dalam menyelesaikan berbagai macam masalah kehidupan maupun dalam meningkatkan perkembangan rohaninya. Walau mereka memiliki keterikatan batin yang kuat namun ketiganya tetaplah pribadi-pribadi yang tidak melebur dalam pribadi yang lainnya. Masing-masing tetap memiliki kekhasannya, pribadi yang mandiri dan utuh serta yang memiliki perannya masing-masing. Dalam pemahaman yang lebih jauh, mereka memiliki kesamaan  problem yang membutuhkan keterlibatan dari masing-masing pribadi mereka. Kepadanya, masing-masing mereka harus mampu mengambil sebuah tindakan tegas untuk ikut serta dalam karya keselamatan Allah atau tidak. Karena itu dalam kebebasan, tanpa paksaan dari apapun  dan siapapun keputusan penting harus mereka ambil. Sambil berdiri dihadapan misteri Ilahi, mereka menemukan bahwa mereka hanya mempunyai satu hidup yang harus dihidupi yakni hidup demi Allah. Menerima kenyataan tersebut dan menghayatinya berarti mereka menerima rahmat dan menemukan bahwa semua yang dari kehidupan adalah baik.
Kehadiran Keluarga Kudus Nazareth ini diawali dengan memperlihatkan tokoh Yusuf keturunan Daud yang kemudian menurunkan daftar silsilah Yesus. Laki-laki yang rendah hati ini berdiri pada awal dan fajar keselamatan. Dialah yang menurut hukum Yahudi memberikan kaitan Yesus dengan umat Israel. Pribadi Yusuf  dipilih Allah untuk menjadi ayah biologis dari Yesus. Pilihan Allah terhadap Yusuf ini tidak hanya didasarkan pada sebuah  sikap kebetulan semata, yang pada waktu itu dia sedang bertunangan dengan Maria tetapi juga karena merupakan rencana yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri. Injil Matius menegaskan bahwa manusia Yesus termasuk  dalam deretan keluarga-keluarga dan generasi-generasi Daud yang rajawi, ahli waris janji-janji mesianik. Seorang Mesias yang akan datang berasal dari keturunan Daud (Mat 1:1-17). Tokoh Yusuf kemudian dihadapkan pada sebuah pilihan hidup yang sangat penting. Ikut terlibat dalam tawaran yang telah Allah berikan kepadanya, yakni untuk menjadi Bapa bagi penyelamat dunia ataukah tidak. Allah memberikan kebebasan kepadanya untuk memutuskan apakah ia tetap mengambil Maria sebagai istrinya dengan konsekuensi bahwa menerima Maria yang telah mengandung ataukah tidak. Berkat kekuatan dan peneguhan malaikat yang datang melalui mimpinya, ia memutuskan untuk tetap mengambil Maria  sebagai istrinya. Kepercayaan dan penyerahan diri secara total dalam rencana karya penyelamatan Allah ini memberikan konsekuensi kepadanya untuk berani bertanggungjawab terhadap keputusan yang telah dipilihnya tersebut. Sebagai seorang kepala keluarga ia harus mampu menjaga, melindungi, mendidik dan memberikan nafkah kepada keluarganya. Kenyataannya bahwa Ia dengan setia dan penuh iman menaruh seluruh kepercayaannya kepada Allah. Bersama Maria istrinya yang sedang mengandung, ia pergi ke Bethlehem untuk mendaftarkan diri kepada Kaisar dan mencari penginapan bagi istrinya untuk melahirkan Putra pertamanya. Dalam pencariannya, tidak satupun tempat penginapan yang mau menampung istrinya sehingga kandang dombapun dijadikannya sebagai tempat penginapan. Tidak hanya itu, sesudah kelahiran puteranya, ia diajak Tuhan untuk membawa keluarganya ke tanah Mesir yang kemudian menetap di Nazareth. Dengan kata lain, berkat kesetiaan, kepercayaan dan penyerahan dirinya secara total kepada Allah,  Ia memberanikan dirinya untuk mau menanggung segala resiko dan terus menerus mencari kehendak Allah bagi dirinya.
Maria, yang dalam kerendahan hatinya, mampu menjadi suri teladan bagi keluarganya. Maria adalah makhluk yang tiada duanya dalam dirinya sendiri dan yang mempunyai relasi dengan Allah  secara istimewa. Maria dilukiskan oleh para penginjil sebagai seorang tokoh yang unggul. Keunggulannya nyata dalam cara hidup dan sikap hatinya yang miskin serta rendah hati di hadirat Allah (Luk 1:38). Para penginjil menyebut Maria sebagai kaum anawim yakni kaum yang merasa diri bukan apa-apa dan tidak mempunyai apa-apa di hadapan Allah. Semua harapan mereka ada di hadapan Allah dan hanya dalam Dia mereka mencari dan menemukan keselamatan kekal. Atas dasar imannya, Maria mengenal cara Allah terlibat dalam sejarah hidup umat pilihannya. Tindakan Allah seperti menciptakan alam semesta, membebaskan bangsa terpilih, penyeberangan laut merah, mukjizat-mukjizat di padang gurun dijadikan sebagai sasaran madah pujian bagi Allah (Luk1:46-55). Karena itu Allah berkenan memberikan kerelaan dan memberkatinya. Bentuk konkret rahmat Allah dan penyertaan Allah dalam dirinya dirasakan oleh orang lain. Melalui dirinya kehadiran Allah semakin dirasakan  melindungi, menyelamatkan, menggembirakan, dan memuaskan kerinduan. Elisabeth saudarinya menyebutnya berbahagia. Sebab, Allah telah mempercayakan tugas pelayanan yakni menjadi Bunda Ilahi dan rencana Allah tersebut diterimanya dengan rela hati.
Kesatuan Maria dengan Puteranya, Yesus Kristus terjalin dalam iman dan kasih (LG 53). Cinta kasih yang tiada taranya dan yang dibangun atas dasar penyerahan total kepada Allah. Walaupun kehidupannya begitu dekat dengan Allah dan Putranya Yesus, namun Maria yang bereksistensi di dunia tetap merupakan sebuah peziarahan iman. Artinya, Maria masih terus mencari jalannya rencana Allah yang tidak diberitahukan terlebih dahulu. Maria tidak pernah luput dari segala problem penderitaan dan godaan. Namun Ia menjadi teladan bagi para beriman sebab ditengah duka derita insani, ia tetap mempertahankan pengabdiannya kepada Tuhan. Ia tidak pernah melarikan diri dari kesulitan-kesulitan yang muncul sebagai konsekuensi imannya. Bahkan ia dituntut untuk tetap setia pada Tuhan hingga peristiwa penyaliban Puteranya dan Maria mampu melaksanakannya dengan sepenuh hatinya.
Yesus sebagai Putera dari Maria danYusuf  hidup dan dididik dalam pengalaman dan pengaruh iman yang teguh. Walau secara rohani Ia adalah Putera Allah, namun secara manusiawi Ia tetap tunduk dan taat kepada kedua orang tuanya.  Ia mau diasuh dan dididik oleh manusia dalam wujud Yusuf dan Maria. Secara ekonomis Ia tidak mengalami kekurangan sebab ayahnya seorang tukang kayu. Tukang kayu pada zaman itu seringkali digolongkan ke dalam kelompok kelas menengah ke atas. Secara pendidikan Ia dididik dan dibesarkan dalam tradisi Yahudi. Sehingga seluruh pengalaman inderawinya itu sungguh-sungguh terpatri dalam diriNya. Dan secara spirituil Ia sungguh merasakan cinta dan kasih yang begitu besar dari kedua orang tuanya. Cinta kasih yang mengarahkan dirinya untuk sungguh-sungguh mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah BapaNya melalui peristiwa penyaliban. Sebuah pengorbanan yang tak dapat dinilai dengan apapun. Cinta kasih inilah yang pada akhirnya menjiwai seluruh kehidupan pribadi dan ajaranNya.
Walau posisinya sebagai anak, namun Yesus tetap memberikan pengaruh positif bagi keluarganya. KedudukanNya sebagai Putera Allah meneguhkan Iman kedua orang tuanya. Kedua orangtuanya sungguh merasakan kehadiran Allah yang begitu dekat bahkan sekaligus terlibat aktif dalam kehidupan mereka. Di dalam keluarga yang sederhana itu, Allah Putra, Imam abadi utusan Bapa, menjadi manusia. Ia memancarkan cahya kabar gembira dengan tidak  membiarkan mereka menghadapi kesulitan dan tantangan hidup sendirian.
Atas dasar inilah hubungan cinta kasih timbal balik antara ayah, ibu dan anak terjalin. Keluarga Kudus Nazareth saling hormat penuh cinta, bersatu dan berdoa bersama. Dalam  keluarga Nazareth yang beriman itu, tampak gambaran manusia yang hidup dalam pelayanan, kerukunan dan kedamaian.  Yesus, Maria dan Yosef merupakan  pribadi-pribadi yang sungguh murni dalam kesetiaan, iman, pengharapan dan pelayanan. Mereka mampu menangkap dan menjawab panggilan Tuhan.

Cinta 
Gabriel Marcel menyatakan demikian  bahwa hubungan manusia dengan manusia lain selalu ditandai dengan kata “kehadiran”.  Kehadiran di sini tidak diartikan sebagai berada ditempat yang sama dalam kategori-kategori ruang dan waktu melainkan komunikasi antara dua orang  tanpa mencapai taraf kehadiran. Keduanya baru dapat dikatakan hadir bila mereka saling mengarahkan diri satu sama lain dengan cara yang berbeda dari cara mereka menghadapi objek-objek. kehadiran orang lain yang oleh Immnuel Levinas menyebutnya sebagai pertemuan kita dengan “mukanya” membawa kita melampaui ciri-ciri fisiknya. Dalam muka ini, orang lain menyatakan diri sebagai betul-betul yang lain dari saya. Muka sabagai muka ini tidak dapat kita kuasai, kita pegang (hidung, mulut) ataupun diperbudak. Hal yang dapat dilakukan berhadapan dengan muka ini adalah hanya dengan meniadakannya (ia dibunuh). Namun dalam ketelanjangan dan ketidakberdayaan muka itu menyampaikan himbauan ampuh yakni “jangan membunuh”. Karena itu, dalam setiap pertemuan dengan orang lain dan sebelum segala sikap dan komunikasi yang sengaja, kita berhadapan dengan tuntutan dasar etika yakni “Jangan Membunuh Aku!”.
Sebaliknya dalam pandangan satu-satunya yang membawa ke individu-individu tertentu hanya dapat ditangkap dan direalisasikan melalui dan di dalam yang oleh Max Scheler menyebutnya sebagai sikap cinta. Jadi nilai persona sebagai individu hanya dapat kita tangkap melalui cinta. Mencintai memberikan sebuah pendasaran melampaui segala rasionalisme-rasionalisme belaka (sifat-sifatnya perbuatannya, tindakannya, kelakuannya). Masing-masing fakta tersebut terus menerus berubah atau bahkan menghilang tanpa kita dapat berhenti mencintai pribadi itu. Karena itu alasan yang terus menerus berganti-ganti yang suka kita berikan kepada kita sendiri, mengapa kita mencintai seseorang, menunjukan bahwa alasan-alasan itu hanya dicari-cari belakangan dan diantaranya tidak ada yang sungguh-sungguh menjadi alasannya. Kesatuan persona yang dialami tidak dapat dikenal dan tidak dapat ditangkap dalam pengetahuan objektif semata. Persona hanya dapat kita tangkap apabila kita “ikut melaksanakan” sikap-sikapnya dari sudut pengetahuan dalam “pengertian” dan dalam “ikut mengalami” yang secara etis “menjadi pengikut”.

Pelayanan Kristiani
Dalam ajaran Kristiani, kasih kepada sesama mempunyai warna yang khas. Ketika ditanyai oleh seorang ahli Taurat, manakah hukum yang paling utama, Yesus menjawab: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu; itulah hukum yang pertama dan utama. Dan hukum yang kedua adalah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat 22:37-39). Mengasihi Allah dan mengasihi sesama merupakan sebuah sikap yang dituntut oleh orang yang menyebut dirinya sebagai pengikut Kristus. Mengasihi Allah harus diimbangi juga dengan sikap mengasihi sesama. Sebab ia tidak mungkin mampu mengasihi Allah yang tidak dilihatnya sebelum ia mengasihi saudara yang dilihatnya. Karena itu Yesuspun berkata: “Aku mengasihi Allah dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta” (1Yoh 4:20).
Dalam kasih kepada sesama kasih kepada Allah menjadi nyata. Kasih kepada sesama merupakan pengejewentahan kasih kepada Tuhan. “Barang siapa mengasihi sesama manusia ia sudah memenuhi hukum kasih (Rm.13:8.10). Allah sungguh menjadi nyata dalam diri sesamanya. Maka ia ditantang untuk tidak hanya berhadapan dengan kehidupannya semata melainkan juga harus berhadapan dengan kehidupan orang lain. Ia harus “memandang sesama tanpa kecuali, sebagai dirinya yang lain terutama dengan mengindahkan perihidup beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup yang layak.” (Gaudium et Spes 27).
Henri J.M. Nouwen menyatakan setiap orang Kristiani adalah pelayan yang berusaha untuk hidup dalam terang Injil Yesus.  Pelayanan memuat pemahaman  bahwa sebuah usaha yang dilakukan sendiri, dengan kepahitan dan kegembiraannya, putus asa dan harapannya, siap dipakai oleh mereka yang ingin menggabungkan diri dalam pencarian itu tetapi tidak tahu jalannya.  Oleh karena itu pelayanan sama sekali bukanlah suatu hak istimewa. Sebaliknya pelayanan adalah inti hidup kristiani. Tidak seorangpun dapat disebut Kristiani  jika dia bukan seorang pelayan. Masing-masing orang Kristiani, imam dan umatnya dapat menjadi pembawa pelayanan dalam perubahan sosial tanpa harus terperangkap dalam manipulasi dunia yakni dalam bahaya kekuasaan dan kesombongan. Menurutnya terdapat tiga perspektif perubahan yakni Pertama, Perspektif Harapan. Pengharapan yang dimaksudkan bukanlah sebuah pengharapan yang bersifat fisik semata yakni berfikir agar apa yang diinginkan terpenuhi. Seolah-olah menantikan Santa Clause yang tugasnya memenuhi semua keinginan dan kebutuhan khusus. Jika keinginan konkret ini tidak terpenuhi maka kekecewaan, sakit hati, marah atau tidak peduli mulai menghinggapi dirinya sendiri. Dalam hal ini Nouwen mengkritik keras sikap para pelayan Kristiani dan imam yang menjadi korban dari cara berpikir ini. Karena itu menurutnya yang paling hakiki bagi harapan adalah menginginkan sesuatu, tetapi kita berharap pada. Dalam pengharapan orang tidak menuntut jaminan, tidak menetapkan sejumlah syarat untuk tindakannya, tidak meminta tanggungan tetapi menantikan segala sesuatu dari yang lain tanpa memberi batas pada kepercayaannya. Orang yang penuh harapan dapat memberikan seluruh tenaga, waktu dan kemampuannya bagi orang-orang yang dilayaninya. Dia tidak cemas akan hasil kerjanya sebab dia percaya bahwa Tuhan akan memenuhi janji-janjinya.
Kedua, Kesediaan menerima yang kreatif. Dengan mengembangkan kesediaan untuk menerima dalam diri sendiri maupun orang lain  seorang pelayan Kristiani dapat mencegah agar orang tidak jatuh dalam godaan kekuasaan.
Ketiga, Berbagi tanggung jawab. Menjadi pembawa perubahan sosial, berarti siap berbagi kepemimpinan dengan orang lain. Konsekuensinya bahwa tidak ada satu pemimpin yang bekerja sendiri tanpa melibatkan orang lain dalam pekerjaannya.
Atas dasar pelayanan kasih, pelayanan Kristiani akan mencapai puncaknya ketika teringat akan sabda Yesus “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13). Mengapa orang mau memberikan hidupnya bagi sahabat-sahabatnya? Satu jawaban yang dapatdiperoleh yakni untuk memberikan hidup baru. Semua funsi pelayanan adalah memberikan hidup baru. Semua bertujuan untuk membuka perspektif baru, menawarkan pemahaman baru, memberikan kekuatan baru, memutuskan rantai kematian dan kehancuran, dan menciptakan hidup baru yang dapat diakui. Dalam arti semua ini mengajar, berkotbah, pelayanan pastoral, berorganisasi dan merayakan merupakan tindakan pelayanan yang melebihi keahlian profesional. Sebab dalam tindakan-tindakan itu pelayan dituntut untuk memberikan hidupnya bagi sahabat-sahabatnya. Mengajar menjadi pelayanan jika guru melangkah lebih jauh daripada sekedar menyampaikan ilmu. Ia bersedia memberikan pengalaman hidupnya sendiri kepada muridnya sehingga kecemasan yang melumpuhkan dapat disingkirkan, pemahaman yang membebaskan dapat terjadi dan belajar yang sesungguhnya dapat berjalan. Kotbah menjadi pelayanan jika pengkotbah melangkah lebih jauh daripada sekedar “menceritakan kisah” dan membuat diri pribadinya yang paling dalam  tersedia bagi para pendengarnya mereka mampu menerima sabda Allah. Pastoral menjadi pelayanan jika  orang yang menyediakan dirinya untuk menolong melangkah lebih jauh dari sekedar menjaga keseimbangan antara memberi dan menerima. Kesediaan untuk mengambil resiko atas hidupnya sendiri dan tetap setia pada kawanannya yang menderita, juga kalau nama dan ketenarannya berada dalam bahaya. Organisasi menjadi pelayanan jika orang yang berorganisasi melangkah lebih jauh daripada sekedar menginginkan hasil yang nyata  dan memandang dunianya dengan harapan yang tak pernah padam untuk diperbaharui seutuhnya. Perayaan menjadi pelayanan jika orang yang memimpin perayaan melangkah lebih jauh daripada sekedar upacara-upacara yang memberikan rasa aman dan ketaatan aturan formalitas belaka menuju ke penerimaan yang taat kepada kehidupan sebagai anugerah. Oleh karena itu, kalau orang ingin menjadi seorang pelayan, hendaknya dia bergembira dengan membuat  kelemahannya menjadi kebanggaannya sehingga kekuasaanYesus tinggal dalam dirinya… karena jika ia lemah maka ia kuat. (2Kor12:9-10).

VIKTOR SATU  S.S.
Daftar Pustaka
Henri J.M. Nouwen, Pelayanan yang Kreatif, Kanisius 1986
Dokumen Konsili Vatikan II
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi, Kanisius 1996.
Proff. Ignasius Suharyo, Pr., Dunia Perjanjian Baru, Kanisius 1991
Karl-Heinz Peschke, SVD., Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam  Hidup Pribadi, Ledalero 2003
Etika Kristiani Jilid IV: Kewajiban Moral dalam  Hidup Pribadi, Ledalero 2003
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX jilid II: Prancis, PT. Gramedia Pustaka Utama 1996.
A. Eddy Kristiyanto, OFM., Maria dalam Gereja: Pokok-Pokok Ajaran Konsili Vatikan II Tentang Maria dalam Gereja Kristus, Kanisius 1987
Franz magnis Suseno, Etika abad kedua Puluh, Kanisius 2006
Dr. Nico Syukur Dister, OFM., Kristologi: Sebuah Sketsa, Kanisius 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RETREAT TAHUNAN KAPAUSIN KUSTODI GENERAL SIBOLGA 2023

  Para saudara dina dari Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga, pada tanggal 6 s/d 10 Noveember 2023, mengadakan retreat tahunan yang dilaksa...