Oleh: Sergius Lay OFMCap
1.
Catatan Pengantar
Dalam sebuah syair lagunya yang sangat puitis, Thomas Merton[1]
mengatakan bahwa: “tidak seorang pun manusia seperti sebuah pulau”,
membicarakan tentang pentingnya kehadiran orang lain dalam kehidupan
sehari-hari. Manusia tidak hidup sendiri tetapi selalu dalam relasi dengan
orang lain. Keberadaan bersama orang lain ini menempatkan semua hidup pribadi
di dalam sebuah komunitas.[2]
Setiap cara berada kita dengan orang lain dapat membentuk sebuah komunitas.
Tentu cara hidup ini terdiri dari orang-orang yang memiliki motif dan tujuan
yang sama, yang secara prinsip didasarkan pada spiritualitas pendiri dari
setiap “komunitas” yang bersangkutan. Salah satu aspek mendasar dalam kehidupan
komunitas ialah keterlibatan, partisipasi dan kerja sama dari seluruh komponen
yang ada di dalamnya. Problem-problem kekomunitasan dapat muncul mana kala
ketika semua anggotanya tidak berhasil menciptakan dan atau mempertahankan
sebuah iklim yang baik dalam hal peningkatan-peningkatan kualitas relasi dan
bekerja dengan kesadaran, tanggung jawab dan keseriusan, yang pada akhirnya
memperbaiki juga “proyek hidup bersama”.[3]
2.
Dasar Biblis: Kesatuan Tritunggal Maha
Kudus
Kitab Suci yang sampai kepada kita adalah hasil refleksi iman umat, baik
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dan membingkai ke-allah-an Tritunggal:
Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah Bapa yang menciptakan segalanya termasuk manusia,
Allah Putra adalah wujud kehadiran Bapa yang datang menyelamatkan serta
mengembalikan umat Allah kepada maksud utama penciptaan, sebagaimana hakikat
dari tujuan penciptaan, dan Allah Roh Kudus diutus untuk menyertai dan menguatkan
serta memberanikan umat manusia dalam ziarahnya menuju tanah terjanji itu.
Ke-allah-an Tritunggal ini adalah satu kesatuan dalam hakikat dan
terbagi dalam perannya dalam sejarah keselamatan manusia dan seluruh ciptaan
Allah. Ketiganya adalah satu kesatuan yang diikat oleh suatu misi dan visi yang
sama. Relasi dalam hakikat Tritunggal inilah yang menyatukan seluruh visi dan
misi keselamatan: “pembangunan Kerajaan
Allah” (Kel. 34,4-9; 2 Kor 13,11-13 dan Yoh. 3,16-18). Inilah makna dari
sebuah komunitas Kerajaan Allah yang diikat oleh nilai-nilai fundamental:
kasih, damai dan keadilan.
Komunitas kampus adalah bentuk hidup bersama yang terdiri dari
orang-orang yang percaya dan terpanggil dalam suatu kegiatan belajar dan
mengajar (perkuliahan), juga dalam arti tertentu disebut juga sebagai sebuah
keluarga, sebuah kelompok, sebuah komunitas yang diikat oleh nilai-nilai kasih,
damai dan keadilan. Model hidup komunitas seperti ini harus menyatakan model
relasi kesatuan Tritunggal Maha Kudus, yang seharusnya diwarnai oleh kesatuan
dan keeratan relasi dan hubungan yang selalu saling menyempurnakan. “Kita
adalah satu tubuh di dalam Kristus Yesus”.
3.
Membangun Sekolah sebagai Komunitas Pendidikan
Secara sosiologis, seluruh bentuk lembaga, institusi dan organisasi adalah
juga sebuah komunitas. Tidak ada seorang pun yang hidup terlepas dari sebuah
komunitas. Sejak lahir dan seluruh hidup manusia selalu langsung diikat dalam
sebuah komunitas dan kematian adalah sebuah perpisahan secara definitif dari
komunitasnya.
Berikut ini akan diuraikan bagaimana seharusnya kita membangun sebuah sekolah sebagai komunitas pendidikan serta aspek-aspek lain yang terkait dengan
“bangunan sekolah” sebagai komunitas pendidikan.
3.1
Arti Komunitas dan Komunitas Pendidikan
Komunitas didefinisikan sebagai sebuah kebersamaan orang-orang yang
hidup pada wilayah yang sama dalam kondisi-kondisi dan dengan gaya hidup serta
hubungan kedekatan yang familiaritas. Inilah dasar dari sebuah kolektivitas
yang dilihat sebagai komunitas ketika semua anggota bertindak dan bertingkah laku
secara resiprokal, serta mengakui akan pentingnya nilai-nilai, norma-norma,
kebiasaan-kebiasaan, kepentingan-kepentingan kolektif yang berlaku umum, baik
pada tingkat pribadi maupun bersama.[5]
Definisi di atas menunjukkan bahwa komunitas bukan merupakan sebuah
kumpulan pribadi-pribadi, melainkan sebuah kolektivitas dalam mana semua
anggotanya bertindak secara resiprokal di antara mereka. Kebersamaan kita
didefinisikan sebagai komunitas karena semua anggota hidup bersama dalam
lingkungan yang sama dengan norma dan kebiasaan yang sama pula serta
terintegrasi di antara mereka. Melalui aktivitas belajar, baik formal, informal
maupun non formal, dunia kampus menjadi komunitas pendidikan, di mana pengajar,
pendidik dan pembina atau “guru” mengajar dan sekaligus belajar dari “para murid”.
“Para guru” terpanggil untuk mempersiapkan para “murid baru” ke dalam lingkungan
komunitasnya.
Banyak ilmu sosiologi yang dapat menolong kita untuk mengerti tentang
komunitas pendidikan serta segala nilai yang ada dalamnya. Pemikiran ini
ditulis untuk sekedar melihat dimensi kekomunitasan dari sudut pandang sosiologi
yang diajukan oleh beberapa sosiolog, seperti Ferdinand Tonnies, Talcott Parsons,
dan Thomas Sergiovanni. Kita akan
berangkat dari teori sosiologi Tonnies dengan konsep-konsep dasar kemasyarakatan
tentang Gemeinschaft dan Gesellschaft.
3.1.1 Komunitas
Pendidikan menurut Ferdinand Tönnies
Tönnies mendefinisikan
Gemeinschaft sebagai hidup real dan
organis, kebersamaan yang akrab, dan diasosiasikan sebagai bentuk hidup yang
saling percaya, intim dan eksklusif; sedangkan Gesellschaft dihadirkan sebagai bentuk hidup mekanik, dan diasosiasikan kepada semua yang bersifat publik, serta tidak
ada saling ketergantungan secara intimitas satu sama lain, di mana setiap orang
berada tidak hanya untuk kepentingannya sendiri tetapi selalu dalam sebuah relasi
dengan yang lain. Teori tentang Gemeinschaft
dan Gesellschaft dari Tönnies,
menolong kita untuk mengerti definisi tentang hidup bersama yang dilihat
sebagai komunitas pendidikan.[6]
Bentuk Gesellschaft adalah
organisasi formal yang dalam kenyataannya didominasi oleh norma, aturan dan
nilai-nilai. Dalam arti ini, hidup bersama harus menjadi dan berbentuk sebuah
organisasi. Norma, peraturan dan nilai-nilai ini harus ditetapkan, baik bersama
maupun oleh otoritas, dengan tujuan menjadi stabilitas komunitas itu. Komunitas
sebagai suatu bentuk lembaga / institusi (Gesselschaft)
harus menambahkan corak Gemeinschaft yang
menghadirkan sebuah gaya hidup yang didasarkan pada familiaritas, intim,
eksklusif serta ketergantungan satu sama lain secara natural. Tipe komunitas
dan karakter-karakternya yang diusulkan oleh Tönnies, dapat diadaptasikan dan
dimasukkan ke dalam kehidupan dunia kampus kita. Kehidupan keluarga,
kedekatan-kedekatan intimitas dan humanis, relasi afektif dan hubungan timbal
balik antara anggota di lingkungan komunitas kita, adalah karakter-karakter fundamental
dalam membangun sebuah kampus sebagai komunitas pendidikan, walaupun bentuknya itu
harus juga diletakkan pada kondisi-kondisi yang diatur seperti dalam sebuah lembaga
/ institusi.
3.1.2 Komunitas
Pendidikan menurut Talcott Parsons
Pemikiran tentang Gesellschaft dan Gemeinschaft
menurut Tönnies, ditemukan juga dalam pemikiran Talcott Parsons. Menurut Parsons, masyarakat adalah sebuah sistem, dan
dalam keseluruhan sistem ini, terdapat sub-sub sistem yang memiliki fungsi-fungsi
tertentu dalam kehidupan sosial. Komunitas kita sebagai sebagai sistem harus
juga merealisasikan fungsinya melalui aktivitas-aktivitas pendidikan dan
pembinaan yang terorganisasi dengan baik dan teratur.
Parsons menggunakan model “pattern variables” yang mengetengahkan
bahwa dalam hidup berkomunitas, harus diperhatikan dan dihidupi secara bersamaan
dua bidang yang saling bertentangan ini tetapi saling melengkapi dan
menyempurnakan dalam tataran operasionalnya. Pasangan variabel itu ditunjukkan melalui
relasi-relasi sosial antara seluruh anggota dalam komunitas:
afektifitas dan tanpa afektifitas, spesifisitas dan universalitas; penerimaan
yang tidak bersyarat atas pribadi dan penerimaan bersyarat dari
prestasi-prestasi pribadi; berorientasi terhadap kolektivitas dan orientasi
diarahkan kepada diri sendiri. Variabel yang pertama merupakan ciri khas dari
suatu Gemeinshaft dan variabel kedua
merupakan ciri Gesellschaft.
Pasangan variabel itulah yang harus ada secara bersama dalam sebuah hidup
berkomunitas pendidikan.[7]
3.1.3 Komunitas
Pendidikan menurut Thomas Sergiovanni
Wacana mengenai komunitas pendidikan memiliki pengaruh
yang sangat besar dalam pemikiran Thomas Sergiovanni. Melalui pendefinisian tentang
komunitas pendidikan dan dasar-dasar pedagogis, Sergiovanni mengusulkan bagaimana
seharusnya membangun sebuah bentuk hidup bersama seperti kampus sebagai satu
komunitas pendidikan. Komunitas pendidikan, menurut Sergiovanni, adalah relasi
yang menghubungkan secara menyeluruh dan bersama dari semua anggota, baik “guru”
maupun “murid” dalam bentuk yang sangat khusus, terutama dalam hal nilai-nilai transendental
dan humaniora serta ide-ide yang saling berbagi di antara mereka.
Dalam prospektif ini, konsep komunitas pendidikan
membantu kita semua untuk mentransformasi diri dari sebuah kumpulan “ke-aku-an”
kepada sebuah “ke-kita-an” kolektif. Begitulah komunitas kita harus menjadi
komunitas otentik dan menjadi tempat di mana relasi-relasi dari tipe
kekeluargaan, spasi dan waktu menyerupai apa yang disebut dengan kedekatan,
kode dari nilai-nilai serta ide-ide yang saling berbagi. Untuk membangun dunia
kampus sebagai komunitas pendidikan, perlu mengaktualisasikan beberapa konsep
yang mendukung realisasinya: yaitu menjadi hidup bersama yang relasional,
komunitas yang memahami kebutuhan-kebutuhan dari para anggotanya; cara hidup
bersama yang demokratis; komunitas dari orang-orang yang profesional; komunitas
dari para “pembelajar” dan komunitas yang dipimpin oleh seorang leader, bukan manajer.
4.
Karakteristik
Komunitas
Pendidikan
Konsep tentang komunitas pendidikan menawarkan
kepada kita sebuah strategi untuk mereformasi bentuk pendidikan dan pembinaan
yang menekankan pada keterlibatan dari seluruh anggota agar berpartisipasi
secara aktif, tidak hanya menekankan secara ketat aturan dan norma, melainkan
juga terutama melalui penciptaan-penciptaan relasi yang humanistis dan alamiah,
yang menolong seluruh anggota untuk dapat bertumbuh secara bersama dan terus-menerus,
serta saling menyemangati untuk meningkatkan sebuah peranan aktif dalam
pencarian kesempurnaan diri sendiri dan komunitas itu sendiri.
Dari seluruh pandangan di atas, secara singkat
mau mengatakan bahwa kehidupan kita di kampus, yang adalah tempat hidup dan
belajar bersama, harus berbentuk komunitas pendidikan dengan corak Gesellschaft (dengan tekanan pada
penegakan aturan dan norma secara konsekuen), tetapi dengan tetap juga mengedepankan
pola relasi yang berciri Gemmeinschaft (yang
menekankan aspek relasi dan intimitas-familiaritas).
Ketika kita
berbicara tentang kampus, tanpa ragu kita memikirkan sebuah komunitas pendidikan,
karena di dalamnya setiap orang saling mengajar dan saling belajar. Secara teoretis-pedagogis,
seperti dikatakan oleh Bertagna, konsep komunitas pendidikan mengijinkan kita
untuk melihat dan manganalisis pengalaman sosial seluruh tindakan dari semua
anggota di dalam komunitas pendidikan. Pertama
ialah bahwa dalam komunitas pendidikan disebut sebagai proses sosialisasi. Di
sana ada tindakan sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan, kultur, akal budi dan
religius (rohani) yang menjadi entitas-entitas fundamental dalam proses
pendidikan. Kedua ialah dalam
komunitas pendidikan butuh untuk mempertahankan dan menyemaikan tradisi (kultur
dan agama serta ilmu pengetahuan). Nilai-nilai dan keutamaan dimengerti sebagai
warisan yang wajib ditransferkan kepada generasi baru agar tidak hilang. Ketiga ialah, bahwa dalam komunitas
pendidikan harus ditanamkan dan dikembangkan akal budi, iman dan kebenaran. Keempat ialah bahwa di dalam komunitas
pendidikan, dimengerti sebagai tradisi dan sumber kebenaran adalah satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Inilah tugas “para senior” dalam menerima
dan menginisiasikan anggota baru ke dalam hidup berkomunitas.[8]
5.
Komunitas Pendidikan
dan Pertumbuhan Pribadi
Jika kita bertanya tentang “apa itu komunitas” kita
tentu akan menemukan banyak konsep atau banyak pengertian yang mungkin tidak
asing lagi bagi kita. Misalnya komunitas sebagai tempat di mana merayakan
liturgi, sebuah kebersamaan dari orang-orang yang saling berbagi dan
mengkondisikan pekerjaan dan pelayanan, serta sebuah klub sosial yang saling
bersahabat. Jika kepada kita ditanyakan apa itu komunitas pendidikan, jawaban
mungkin akan sangat beraneka ragam.
Jika komunitas pendidikan adalah sebuah sistem
tertutup, ia akan mengelola problem-problem perubahan dan memperbaharuinya
dengan mempertahankan “status quo”,
dan karena itu menyangkal perubahan itu. Sebaliknya jika komunitas pendidikan
itu adalah sebuah sistem terbuka, maka akan menjadi tempat kesaksian: dalam
arti komunitas pendidikan itu memberi ruang kepada pemusatan relasi kepada
Allah serta relasi kepada sesama, atau dalam arti umum komunitas pendidikan itu
dapat dan mampu membuka diri kepada realitas yang berada di luar dirinya. Oleh
karena itu, komunitas pendidikan dapat dilihat dan dirasakan sebagai simbol kehadiran
Allah: sebuah bentuk keberadaan dan relasi dengan Allah dan dengan semua
manusia.
Jika kita memikirkan sebuah komunitas pendidikan
yang baik, maka kampus sebagai sebuah komunitas harus dapat menjadi tempat di
mana setiap pribadi, baik pengajar maupun yang belajar dapat bertumbuh dan
berkembang menuju kesempurnaan. Inilah yang harus menjadi tujuan dari membangun
sebuah kampus sebagai komunitas pendidikan. Komunitas pendidikan juga meminta
agar setiap orang yang merupakan bagian dari komunitas itu harus dapat menjadi
seorang “dosen/guru” dan sekaligus sebagai “mahasiswa/murid/siswa”. Tidak ada
yang berada secara ketat dan permanen dalam prakteknya bahwa seseorang itu
hanya berpredikat sebagai “guru/dosen” atau “mahasiswa/siswa”. Pada saat
tertentu setiap anggota adalah “guru/dosen” dan bagian lain ia dapat menjadi
seorang “siswa/mahasiswa”.
6. Catatan Penutup
Membangun dunia kampus sebagai komunitas
pendidikan. Demikianlah uraian yang telah diketengahkan dalam tulisan ini. Semua kita berada dan terus
diikat di dalam sebuah komunitas. Komunitas kampus dapat menjadi sebuah komunitas
pendidikan, jika semua anggota yang menjadi bagian dari komunitas itu secara
bersama-sama memikirkan yang terbaik untuk membangun komunitas itu melalui
kegiatan saling belajar dan saling mengajar.
Dalam sebuah komunitas pendidikan kampus, tidak
terdapat perbedaan secara ketat dan ekstrim antara “yang mengajar” dan “yang
belajar”. Mereka adalah satu kesatuan yang saling menyempurnakan. Karena itu,
tidak ada satupun di antara mereka yang merasa bahwa “aku lebih penting dari
orang lain di kampus ini”. Konsep yang harus dikembangkan ialah bahwa semua
anggota adalah sama-sama penting dan terdapat suat sikap interdipendency aatau
saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Saling ketergantungan ini akan
lahir dalam sikap dan relasi yang baik dan konstruktif dari setiap anggota
komunitas pendidikan kampus.
Komunitas
pendidikan mengandung makna bahwa setiap orang harus bersedia dididik, diformat
atau dibina menjadi pribadi yang integral untuk mencapai sebuah kesempurnaan,
baik dari segi relasi-relasi formal-organisatif maupun dari segi non-formal dan
in-formal praktis.
Referensi:
BERTAGNA G. Per una teoria della comunità educante, dalam CSSC, Costruire la comunità educante. Brescia:
Editrice la Scuola, 2008.
Corradini L. Talcott Parson, dalam Prellezo J.M – Malizia G – Nanni C. Dizionario di Scienze dell’Educazione.
Roma: LAS, 2008).
GALLINO L. Dizionario di Sociologia. Torino: UTET, 2009.
MALIZIA G., CICATELLI S., FEDELI C.M.,
PIERONI V. Il Progetto della Ricerca,
dalam CSSC, Costruire la Comunità Educante,
edisi 10. Brescia: Editrice la Scuola, 2008.
MANENTI, A. Vivere insieme. Aspetti Psicologici. Bologna: EDB, 2009.
MERTON, T. Nessun Uomo è Un’Isola. Milano: Garanzi, 1983.
REBOUL, O. I valori dell’Educazione. Milano: Editrice Ancora, 1992.
RIFAI M. Biografi dan Pemikiran Ferdinand Tonnies, dalam
http://ensiklo.com/2014/08/biografi-dan-pemikiran-ferdinand-tonnies/. diakses
pada tanggal 20 Juli 2016, pukul 20.00 wib.
[1] Cf. T. MERTON, Nessun uomo è un’isola (Tidak Ada Manusia adalah sebuah Pulau),
Milano, Garanzi, 4°1983, hlm. 20-24.
[2] Cf. A. MANENTI, Vivere insieme. Aspetti psicologici (Hidup
Bersama. Aspek-aspek Psikologis), Bologna, EDB, 2009, hlm. 5-6.
[3] Cf. O. REBOUL, I valori dell’educazione (Nilai-nilai
Pendidikan), Milano, Editrice Ancora, 1992, hlm. 119-140.
[4] Cf. G. MALIZIA – S. CICATELLI – C. M. FEDELI – V. PIERONI, Il Progetto della ricerca, dalam CSSC, Costruire la comunità educante, decimo rapporto (Membangun Komunitas Pendidikan), Brescia, Editrice la Scuola, 2008, hlm. 92.
[5] L. GALLINO, Dizionario
di Sociologia, Torino, UTET, 2009, hlm. 143.
[6]
MUHAMMAD RIFAI, Biografi dan Pemikiran
Ferdinand Tonnies, dalam http://ensiklo.com/2014/08/biografi-dan-pemikiran-ferdinand-tonnies/.
diakses pada tanggal 20 Juli 2016, pukul 20.00 wib.
[7]
L. CORRADINI, Talcott Parson dalam J.
M. Prellezo – G. Malizia – C. Nanni., Dizionario
di Scienze dell’Educazione (Roma, LAS, 2008), hlm. 834-846.
[8] Cf. G. BERTAGNA, Per una teoria della comunità educante, in CSSC, Costruire la comunità educante, hlm. 19-30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar