Selasa, 22 Maret 2022

MEMBANGUN SEKOLAH SEBAGAI KOMUNITAS PENDIDIKAN

 Oleh: Sergius Lay OFMCap

1.      Catatan Pengantar

Dalam sebuah syair lagunya yang sangat puitis, Thomas Merton[1] mengatakan bahwa: “tidak seorang pun manusia seperti sebuah pulau”, membicarakan tentang pentingnya kehadiran orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Manusia tidak hidup sendiri tetapi selalu dalam relasi dengan orang lain. Keberadaan bersama orang lain ini menempatkan semua hidup pribadi di dalam sebuah komunitas.[2]

Setiap cara berada kita dengan orang lain dapat membentuk sebuah komunitas. Tentu cara hidup ini terdiri dari orang-orang yang memiliki motif dan tujuan yang sama, yang secara prinsip didasarkan pada spiritualitas pendiri dari setiap “komunitas” yang bersangkutan. Salah satu aspek mendasar dalam kehidupan komunitas ialah keterlibatan, partisipasi dan kerja sama dari seluruh komponen yang ada di dalamnya. Problem-problem kekomunitasan dapat muncul mana kala ketika semua anggotanya tidak berhasil menciptakan dan atau mempertahankan sebuah iklim yang baik dalam hal peningkatan-peningkatan kualitas relasi dan bekerja dengan kesadaran, tanggung jawab dan keseriusan, yang pada akhirnya memperbaiki juga “proyek hidup bersama”.[3]


Refleksi kita tentang dunia sekolah sebagai komunitas pendidikan adalah sebuah tema yang mengajak kita melihat mengapa dimensi kekomunitasan dalam hidup bersama di sekolah menyentuh dengan sangat kuat eksistensi ciri khas hidup kita, terutama pada aspek kebersamaan dalam bidang pedagogis, formatif dan etis pada dunia pendidikan kita dewasa ini. Untuk menjamin sebuah kualitas hidup berkomunitas, kita butuh mengaktifkan dan mempromosikan sebuah pemahaman yang menekankan pada aspek partisipatif, kolaboratif dan tanggung jawab dari seluruh anggota yang ada di sebuah sekolah yang bersangkutan.[4]

 

2.      Dasar Biblis: Kesatuan Tritunggal Maha Kudus

Kitab Suci yang sampai kepada kita adalah hasil refleksi iman umat, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dan membingkai ke-allah-an Tritunggal: Bapa, Putra dan Roh Kudus. Allah Bapa yang menciptakan segalanya termasuk manusia, Allah Putra adalah wujud kehadiran Bapa yang datang menyelamatkan serta mengembalikan umat Allah kepada maksud utama penciptaan, sebagaimana hakikat dari tujuan penciptaan, dan Allah Roh Kudus diutus untuk menyertai dan menguatkan serta memberanikan umat manusia dalam ziarahnya menuju tanah terjanji itu.

Ke-allah-an Tritunggal ini adalah satu kesatuan dalam hakikat dan terbagi dalam perannya dalam sejarah keselamatan manusia dan seluruh ciptaan Allah. Ketiganya adalah satu kesatuan yang diikat oleh suatu misi dan visi yang sama. Relasi dalam hakikat Tritunggal inilah yang menyatukan seluruh visi dan misi keselamatan: “pembangunan Kerajaan Allah” (Kel. 34,4-9; 2 Kor 13,11-13 dan Yoh. 3,16-18). Inilah makna dari sebuah komunitas Kerajaan Allah yang diikat oleh nilai-nilai fundamental: kasih, damai dan keadilan.

Komunitas kampus adalah bentuk hidup bersama yang terdiri dari orang-orang yang percaya dan terpanggil dalam suatu kegiatan belajar dan mengajar (perkuliahan), juga dalam arti tertentu disebut juga sebagai sebuah keluarga, sebuah kelompok, sebuah komunitas yang diikat oleh nilai-nilai kasih, damai dan keadilan. Model hidup komunitas seperti ini harus menyatakan model relasi kesatuan Tritunggal Maha Kudus, yang seharusnya diwarnai oleh kesatuan dan keeratan relasi dan hubungan yang selalu saling menyempurnakan. “Kita adalah satu tubuh di dalam Kristus Yesus”.

 

3.      Membangun Sekolah sebagai Komunitas Pendidikan

Secara sosiologis, seluruh bentuk lembaga, institusi dan organisasi adalah juga sebuah komunitas. Tidak ada seorang pun yang hidup terlepas dari sebuah komunitas. Sejak lahir dan seluruh hidup manusia selalu langsung diikat dalam sebuah komunitas dan kematian adalah sebuah perpisahan secara definitif dari komunitasnya.

Berikut ini akan diuraikan bagaimana seharusnya kita membangun sebuah sekolah sebagai komunitas pendidikan serta aspek-aspek lain yang terkait dengan “bangunan sekolah” sebagai komunitas pendidikan.

 

3.1         Arti Komunitas dan Komunitas Pendidikan

Komunitas didefinisikan sebagai sebuah kebersamaan orang-orang yang hidup pada wilayah yang sama dalam kondisi-kondisi dan dengan gaya hidup serta hubungan kedekatan yang familiaritas. Inilah dasar dari sebuah kolektivitas yang dilihat sebagai komunitas ketika semua anggota bertindak dan bertingkah laku secara resiprokal, serta mengakui akan pentingnya nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, kepentingan-kepentingan kolektif yang berlaku umum, baik pada tingkat pribadi maupun bersama.[5]

Definisi di atas menunjukkan bahwa komunitas bukan merupakan sebuah kumpulan pribadi-pribadi, melainkan sebuah kolektivitas dalam mana semua anggotanya bertindak secara resiprokal di antara mereka. Kebersamaan kita didefinisikan sebagai komunitas karena semua anggota hidup bersama dalam lingkungan yang sama dengan norma dan kebiasaan yang sama pula serta terintegrasi di antara mereka. Melalui aktivitas belajar, baik formal, informal maupun non formal, dunia kampus menjadi komunitas pendidikan, di mana pengajar, pendidik dan pembina atau “guru” mengajar dan sekaligus belajar dari “para murid”. “Para guru” terpanggil untuk mempersiapkan para “murid baru” ke dalam lingkungan komunitasnya.

 

Banyak ilmu sosiologi yang dapat menolong kita untuk mengerti tentang komunitas pendidikan serta segala nilai yang ada dalamnya. Pemikiran ini ditulis untuk sekedar melihat dimensi kekomunitasan dari sudut pandang sosiologi yang diajukan oleh beberapa sosiolog, seperti Ferdinand Tonnies, Talcott Parsons, dan Thomas Sergiovanni.  Kita akan berangkat dari teori sosiologi Tonnies dengan konsep-konsep dasar kemasyarakatan tentang Gemeinschaft dan Gesellschaft.

 

3.1.1   Komunitas Pendidikan menurut Ferdinand Tönnies

Tönnies mendefinisikan Gemeinschaft sebagai hidup real dan organis, kebersamaan yang akrab, dan diasosiasikan sebagai bentuk hidup yang saling percaya, intim dan eksklusif; sedangkan Gesellschaft dihadirkan sebagai bentuk hidup mekanik, dan diasosiasikan  kepada semua yang bersifat publik, serta tidak ada saling ketergantungan secara intimitas satu sama lain, di mana setiap orang berada tidak hanya untuk kepentingannya sendiri tetapi selalu dalam sebuah relasi dengan yang lain. Teori tentang Gemeinschaft dan Gesellschaft dari Tönnies, menolong kita untuk mengerti definisi tentang hidup bersama yang dilihat sebagai komunitas pendidikan.[6]

Bentuk Gesellschaft adalah organisasi formal yang dalam kenyataannya didominasi oleh norma, aturan dan nilai-nilai. Dalam arti ini, hidup bersama harus menjadi dan berbentuk sebuah organisasi. Norma, peraturan dan nilai-nilai ini harus ditetapkan, baik bersama maupun oleh otoritas, dengan tujuan menjadi stabilitas komunitas itu. Komunitas sebagai suatu bentuk lembaga / institusi (Gesselschaft) harus menambahkan corak Gemeinschaft yang menghadirkan sebuah gaya hidup yang didasarkan pada familiaritas, intim, eksklusif serta ketergantungan satu sama lain secara natural. Tipe komunitas dan karakter-karakternya yang diusulkan oleh Tönnies, dapat diadaptasikan dan dimasukkan ke dalam kehidupan dunia kampus kita. Kehidupan keluarga, kedekatan-kedekatan intimitas dan humanis, relasi afektif dan hubungan timbal balik antara anggota di lingkungan komunitas kita, adalah karakter-karakter fundamental dalam membangun sebuah kampus sebagai komunitas pendidikan, walaupun bentuknya itu harus juga diletakkan pada kondisi-kondisi yang diatur seperti dalam sebuah lembaga / institusi.

 

3.1.2   Komunitas Pendidikan menurut Talcott Parsons

Pemikiran tentang Gesellschaft dan Gemeinschaft menurut Tönnies, ditemukan juga dalam pemikiran Talcott Parsons. Menurut Parsons, masyarakat adalah sebuah sistem, dan dalam keseluruhan sistem ini, terdapat sub-sub sistem yang memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam kehidupan sosial. Komunitas kita sebagai sebagai sistem harus juga merealisasikan fungsinya melalui aktivitas-aktivitas pendidikan dan pembinaan yang terorganisasi dengan baik dan teratur.

Parsons menggunakan model “pattern variables” yang mengetengahkan bahwa dalam hidup berkomunitas, harus diperhatikan dan dihidupi secara bersamaan dua bidang yang saling bertentangan ini tetapi saling melengkapi dan menyempurnakan dalam tataran operasionalnya.  Pasangan variabel itu ditunjukkan melalui relasi-relasi sosial antara seluruh anggota dalam komunitas: afektifitas dan tanpa afektifitas, spesifisitas dan universalitas; penerimaan yang tidak bersyarat atas pribadi dan penerimaan bersyarat dari prestasi-prestasi pribadi; berorientasi terhadap kolektivitas dan orientasi diarahkan kepada diri sendiri. Variabel yang pertama merupakan ciri khas dari suatu Gemeinshaft dan variabel kedua merupakan ciri Gesellschaft. Pasangan variabel itulah yang harus ada secara bersama dalam sebuah hidup berkomunitas pendidikan.[7]

 

3.1.3   Komunitas Pendidikan menurut Thomas Sergiovanni

Wacana mengenai komunitas pendidikan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pemikiran Thomas Sergiovanni. Melalui pendefinisian tentang komunitas pendidikan dan dasar-dasar pedagogis, Sergiovanni mengusulkan bagaimana seharusnya membangun sebuah bentuk hidup bersama seperti kampus sebagai satu komunitas pendidikan. Komunitas pendidikan, menurut Sergiovanni, adalah relasi yang menghubungkan secara menyeluruh dan bersama dari semua anggota, baik “guru” maupun “murid” dalam bentuk yang sangat khusus, terutama dalam hal nilai-nilai transendental dan humaniora serta ide-ide yang saling berbagi di antara mereka.

Dalam prospektif ini, konsep komunitas pendidikan membantu kita semua untuk mentransformasi diri dari sebuah kumpulan “ke-aku-an” kepada sebuah “ke-kita-an” kolektif. Begitulah komunitas kita harus menjadi komunitas otentik dan menjadi tempat di mana relasi-relasi dari tipe kekeluargaan, spasi dan waktu menyerupai apa yang disebut dengan kedekatan, kode dari nilai-nilai serta ide-ide yang saling berbagi. Untuk membangun dunia kampus sebagai komunitas pendidikan, perlu mengaktualisasikan beberapa konsep yang mendukung realisasinya: yaitu menjadi hidup bersama yang relasional, komunitas yang memahami kebutuhan-kebutuhan dari para anggotanya; cara hidup bersama yang demokratis; komunitas dari orang-orang yang profesional; komunitas dari para “pembelajar” dan komunitas yang dipimpin oleh seorang leader, bukan manajer.

 

4.      Karakteristik Komunitas Pendidikan

Konsep tentang komunitas pendidikan menawarkan kepada kita sebuah strategi untuk mereformasi bentuk pendidikan dan pembinaan yang menekankan pada keterlibatan dari seluruh anggota agar berpartisipasi secara aktif, tidak hanya menekankan secara ketat aturan dan norma, melainkan juga terutama melalui penciptaan-penciptaan relasi yang humanistis dan alamiah, yang menolong seluruh anggota untuk dapat bertumbuh secara bersama dan terus-menerus, serta saling menyemangati untuk meningkatkan sebuah peranan aktif dalam pencarian kesempurnaan diri sendiri dan komunitas itu sendiri.

Dari seluruh pandangan di atas, secara singkat mau mengatakan bahwa kehidupan kita di kampus, yang adalah tempat hidup dan belajar bersama, harus berbentuk komunitas pendidikan dengan corak Gesellschaft (dengan tekanan pada penegakan aturan dan norma secara konsekuen), tetapi dengan tetap juga mengedepankan pola relasi yang berciri Gemmeinschaft (yang menekankan aspek relasi dan intimitas-familiaritas).

Ketika kita berbicara tentang kampus, tanpa ragu kita memikirkan sebuah komunitas pendidikan, karena di dalamnya setiap orang saling mengajar dan saling belajar. Secara teoretis-pedagogis, seperti dikatakan oleh Bertagna, konsep komunitas pendidikan mengijinkan kita untuk melihat dan manganalisis pengalaman sosial seluruh tindakan dari semua anggota di dalam komunitas pendidikan. Pertama ialah bahwa dalam komunitas pendidikan disebut sebagai proses sosialisasi. Di sana ada tindakan sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan, kultur, akal budi dan religius (rohani) yang menjadi entitas-entitas fundamental dalam proses pendidikan. Kedua ialah dalam komunitas pendidikan butuh untuk mempertahankan dan menyemaikan tradisi (kultur dan agama serta ilmu pengetahuan). Nilai-nilai dan keutamaan dimengerti sebagai warisan yang wajib ditransferkan kepada generasi baru agar tidak hilang. Ketiga ialah, bahwa dalam komunitas pendidikan harus ditanamkan dan dikembangkan akal budi, iman dan kebenaran. Keempat ialah bahwa di dalam komunitas pendidikan, dimengerti sebagai tradisi dan sumber kebenaran adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Inilah tugas “para senior” dalam menerima dan menginisiasikan anggota baru ke dalam hidup berkomunitas.[8]

 

5.      Komunitas Pendidikan dan Pertumbuhan Pribadi

Jika kita bertanya tentang “apa itu komunitas” kita tentu akan menemukan banyak konsep atau banyak pengertian yang mungkin tidak asing lagi bagi kita. Misalnya komunitas sebagai tempat di mana merayakan liturgi, sebuah kebersamaan dari orang-orang yang saling berbagi dan mengkondisikan pekerjaan dan pelayanan, serta sebuah klub sosial yang saling bersahabat. Jika kepada kita ditanyakan apa itu komunitas pendidikan, jawaban mungkin akan sangat beraneka ragam.

Jika komunitas pendidikan adalah sebuah sistem tertutup, ia akan mengelola problem-problem perubahan dan memperbaharuinya dengan mempertahankan “status quo”, dan karena itu menyangkal perubahan itu. Sebaliknya jika komunitas pendidikan itu adalah sebuah sistem terbuka, maka akan menjadi tempat kesaksian: dalam arti komunitas pendidikan itu memberi ruang kepada pemusatan relasi kepada Allah serta relasi kepada sesama, atau dalam arti umum komunitas pendidikan itu dapat dan mampu membuka diri kepada realitas yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, komunitas pendidikan dapat dilihat dan dirasakan sebagai simbol kehadiran Allah: sebuah bentuk keberadaan dan relasi dengan Allah dan dengan semua manusia.

Jika kita memikirkan sebuah komunitas pendidikan yang baik, maka kampus sebagai sebuah komunitas harus dapat menjadi tempat di mana setiap pribadi, baik pengajar maupun yang belajar dapat bertumbuh dan berkembang menuju kesempurnaan. Inilah yang harus menjadi tujuan dari membangun sebuah kampus sebagai komunitas pendidikan. Komunitas pendidikan juga meminta agar setiap orang yang merupakan bagian dari komunitas itu harus dapat menjadi seorang “dosen/guru” dan sekaligus sebagai “mahasiswa/murid/siswa”. Tidak ada yang berada secara ketat dan permanen dalam prakteknya bahwa seseorang itu hanya berpredikat sebagai “guru/dosen” atau “mahasiswa/siswa”. Pada saat tertentu setiap anggota adalah “guru/dosen” dan bagian lain ia dapat menjadi seorang “siswa/mahasiswa”.

 

6.      Catatan Penutup

Membangun dunia kampus sebagai komunitas pendidikan. Demikianlah uraian yang telah diketengahkan dalam tulisan ini. Semua kita berada dan terus diikat di dalam sebuah komunitas. Komunitas kampus dapat menjadi sebuah komunitas pendidikan, jika semua anggota yang menjadi bagian dari komunitas itu secara bersama-sama memikirkan yang terbaik untuk membangun komunitas itu melalui kegiatan saling belajar dan saling mengajar.

Dalam sebuah komunitas pendidikan kampus, tidak terdapat perbedaan secara ketat dan ekstrim antara “yang mengajar” dan “yang belajar”. Mereka adalah satu kesatuan yang saling menyempurnakan. Karena itu, tidak ada satupun di antara mereka yang merasa bahwa “aku lebih penting dari orang lain di kampus ini”. Konsep yang harus dikembangkan ialah bahwa semua anggota adalah sama-sama penting dan terdapat suat sikap interdipendency aatau saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Saling ketergantungan ini akan lahir dalam sikap dan relasi yang baik dan konstruktif dari setiap anggota komunitas pendidikan kampus.

Komunitas pendidikan mengandung makna bahwa setiap orang harus bersedia dididik, diformat atau dibina menjadi pribadi yang integral untuk mencapai sebuah kesempurnaan, baik dari segi relasi-relasi formal-organisatif maupun dari segi non-formal dan in-formal praktis.

 

Referensi:

BERTAGNA G. Per una teoria della comunità educante, dalam CSSC, Costruire la comunità educante. Brescia: Editrice la Scuola, 2008.

Corradini L. Talcott Parson, dalam Prellezo J.M – Malizia G – Nanni C. Dizionario di Scienze dell’Educazione. Roma: LAS, 2008).

GALLINO L. Dizionario di Sociologia. Torino: UTET, 2009.

MALIZIA G., CICATELLI S., FEDELI C.M., PIERONI V. Il Progetto della Ricerca, dalam CSSC, Costruire la Comunità Educante, edisi 10. Brescia: Editrice la Scuola, 2008.

MANENTI, A. Vivere insieme. Aspetti Psicologici. Bologna: EDB, 2009.

MERTON, T. Nessun Uomo è Un’Isola. Milano: Garanzi, 1983.

REBOUL, O. I valori dell’Educazione. Milano: Editrice Ancora, 1992.

RIFAI M. Biografi dan Pemikiran Ferdinand Tonnies, dalam http://ensiklo.com/2014/08/biografi-dan-pemikiran-ferdinand-tonnies/. diakses pada tanggal 20 Juli 2016, pukul 20.00 wib.



[1] Cf. T. MERTON, Nessun uomo è unisola (Tidak Ada Manusia adalah sebuah Pulau), Milano, Garanzi, 1983, hlm. 20-24.

[2] Cf. A. MANENTI, Vivere insieme. Aspetti psicologici (Hidup Bersama. Aspek-aspek Psikologis), Bologna, EDB, 2009, hlm. 5-6.

[3] Cf. O. REBOUL, I valori delleducazione (Nilai-nilai Pendidikan), Milano, Editrice Ancora, 1992, hlm. 119-140.

[4] Cf. G. MALIZIA – S. CICATELLI – C. M. FEDELI – V. PIERONI, Il Progetto della ricerca, dalam CSSC, Costruire la comunità educante, decimo rapporto (Membangun Komunitas Pendidikan), Brescia, Editrice la Scuola, 2008, hlm. 92.

[5] L. GALLINO, Dizionario di Sociologia, Torino, UTET, 2009, hlm. 143.

[6] MUHAMMAD RIFAI, Biografi dan Pemikiran Ferdinand Tonnies, dalam http://ensiklo.com/2014/08/biografi-dan-pemikiran-ferdinand-tonnies/. diakses pada tanggal 20 Juli 2016, pukul 20.00 wib.

[7] L. CORRADINI, Talcott Parson dalam J. M. Prellezo – G. Malizia – C. Nanni., Dizionario di Scienze dell’Educazione (Roma, LAS, 2008), hlm. 834-846.

[8] Cf. G. BERTAGNA, Per una teoria della comunità educante, in CSSC, Costruire la comunità educante, hlm. 19-30.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RETREAT TAHUNAN KAPAUSIN KUSTODI GENERAL SIBOLGA 2023

  Para saudara dina dari Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga, pada tanggal 6 s/d 10 Noveember 2023, mengadakan retreat tahunan yang dilaksa...