Rabu, 18 Desember 2013

Peran Guru di Sekolah Katolik

A.   Kata Pengantar


Kehadiran guru dalam lingkungan sekolah atau di sekolah adalah sebuah aspek yang sangat vital dalam memperlancar keberlangsungan proses pendidikan kaum muda. Dalam seluruh proses pendidikan, kaum muda menjadi sentral edukatif, namun proses itu akan berlangsung secara efektif dan efisien, jika ada orang-orang yang bersedia mendampingi mereka.
Dalam konteks Sekolah Katolik, peran guru menjadi lebih penting mana kala dihadapkan pada situasi dan kondisi Sekolah Katolik yang memasukan ke dalamnya aspek-aspek kekatolikan yang spesifik. Setiap guru yang mengabdi di Sekolah Katolik, hendaknya menyesuaikan dirinya dengan kekhasan Sekolah Katolik, dan bukan malah Sekolah Katolik menyesuaikan dirinya dengan kekhususan dari pribadi-pribadi guru (yang juga berasal dari latar belakang berbeda).
Dalam  bagian ini, kita akan mencoba melihat peran guru di Sekolah Katolik serta beberapa aspek sosial, politik dan pastoral yang melingkungi misi dan visi Sekolah Katolik.


B.   Peran Puru sebagai Pengajar: Belajar dari Yesus Kristus

Dalam teologi Kristen, terdapat tiga tugas yang diterima oleh Yesus Kristus dari Bapa-Nya: bernubuat, mengajar, dan menguduskan. Dalam konteks pendidikan, tugas utama yang diterima Yesus adalah mengajar. Yesus adalah guru agung, dan seluruh kuasa mengajar diberikan kepada para rasul dan para murid-Nya. Tugas utama Yesus Kristus ialah “mengajarkan Kerajaan Allah” dan seluruh para rasul dan mudid juga melanjutkan tugas mengajarkan Kerajaan Allah ini kepada segenap ciptaan Allah dan sampai ke seluruh dunia.[1]

Sekolah Katolik sebagai bagian dari kerasulan pendidikan Gereja Katolik mengaktualkannya dalam mendidik kaum muda agar nilai-nilai Kerajaan Allah itu sungguh dirasa, diketahui dan dihidupi oleh segenap kaum muda. Nilai-nilai Kerajaan Allah yang memuat kasih, damai dan keadilan harus menjadi sebuah pengetahuan yang diajarkan, dibentuk melalui pengolahan akal budi serta dihidupi dalam kebersamaan sebagai ciptaan Allah.
Inilah tugas mulia yang dimiliki oleh Yesus Kristus, dan diterima dari Bapa-Nya dan kita semua diajak untuk ambil bagian dalam misi mengajar dan membentuk manusia muda masa kini sesuai dengan situasi yang dimiliki oleh jaman.


C.   Konteks Pendidikan, Politik dan Kegerejaan

Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan manusia yang sangat pelik karena terkait erat dengan banyak aspek kehidupan: politik, ekonomi, sosial budaya dan agama. Banyak orang mengatakan bahwa untuk memperbaiki situasi masyarakat dalam bidang ekonomi membutuhkan perbaikan dalam sektor pendidikan; walaupun banyak ahli juga yang mengatakan sebaliknya. Namun dalam konteks kita, pendidikan selalu dikaitkan dengan politik bangsa dan politik gereja. Praktek pendidikan selalu dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik serta visi – misi Gereja dalam memanusiakan manusia.

Arah pemikiran pendidikan sekarang justru telah mengalami perubahan atau pergeseran nilai, mulai dari pendidikan tradisional kepada pendidikan yang bersifat kontemporer – modern.[2] Pergeseran yang paling kuat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi serta efek dari globalisasi yang semakin menjungkir balikan tata-tata nilai tradisional kepada yang up to date. Dalam hal seperti ini, peran guru dalam proses mendidik juga mengalami pergeseran: mulai dari guru sebagai sumber pengetahuan kepada guru sebagai mediator pengetahuan. Para guru dipanggil untuk lebih menekankan terutama sebuah peran sebagai mediator antara peserta didik dan informasi, untuk menolong mereka dalam mengintegrasikan dalam sebuah bingkai organis dan sistematis tentang pengetahuan.[3]

Melalui sebuah pemikiran edukatif yang sangat berguna dari laporan Delors (UNESCO) “para guru akan memodifikasi hubungan mereka dengan para siswa, melewati dari peran “solista” (kesendirian) kepada “accompagnatore” (pendamping/teman) serta membantu siswa dalam mencari, mengorganisasi dan mengelola pengetahuan, menyibukkan diri dengan menuntunnya, terutama dalam mendampinginya. Dari bagian lain, mereka harus menunjukkan ketegasan mengenai nilai-nilai fundamental (kemanusiaan dan religius) yang harus mereka wujudkan dalam hidup masing-masing.[4]


D.   Kondisi para guru di Indonesia: antara sekarang dan yang akan datang
Para guru, sekolah dan siswa adalah tiga elemen yang selalu bermain bersama pada level politik, psikologis dan pedagogis dalam lingkungan pendidikan. Membicarakan kondisi para guru, selalu bersentuhan dengan kepentingan ekonomi, politik, didaktik, organisasi dan pelbagai aspek lain yang sangat vital dalam kehidupan mereka.

Dalam prinsip formasi dan pendidikan para calon guru dan guru, seharusnya ditekankan dua bentuk pendidikan guru yang sangat esensial: pendidikan awal dan pendidikan pelayanan. Pendidikan awal diikuti oleh para guru ketika sedang mengenyam ilmu pendidikan di Universitas-Universitas atau Perguruan Tinggi, melalui jurusan-jurusan yang tersedia dan menjadi minat dari setiap calon guru. Sedangkan pendidikan pelayanan lebih diikuti oleh para guru yang sedang bekerja di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah dan universitas/akademi atau perguruan tinggi.

Problem yang sangat mencolok untuk dunia pendidikan kita ialah bahwa tidak semua mahasiswa - mahasiswi di perguruan tinggi yang dipersiapkan untuk menjadi guru. Modal utama sebelum ke perguruan tinggi ialah bisa belajar ke perguruan yang lebih tinggi serta mendapatkan pekerjaan tanpa mempertimbangkan bagaimana nanti setelah menamatkan diri dari perguruan tinggi. Kebanyakan setelah menamatkan diri di perguruan tinggi baru mencoba mencari pekerjaan dan salah satunya ialah menjadi guru, yang mengajar di sekolah. Dari sekian banyak mahasiswa, mungkin berbakat untuk menjadi ahli penelitian dalam bidang geografi, fisika, sosiologi, ekonomi, akuntansi, dan lain-lain, dan karena itu kebanyakan dari mereka tidak siap untuk bekerja sebagai guru yang mengajar di sekolah.

Desakan ekonomi dan kebutuhan harian kadang memaksa sang calon guru untuk bekerja saja di sekolah tanpa mengetahui banyak aspek pedagogis, psikologis, psiko-pedagogis yang seharusnya dikuasai oleh setiap guru dalam seluruh proses belajar dan mengajar di sekolah. Kondisi ini tentu mempengaruhi kualitas mengajar calon guru dan prinsip belajar mengajar di sekolah akhirnya jatuh kepada “pentransferan” ilmu dari guru ke murid dan bukan lagi pada “pencarian bersama nilai-nilai kehidupan” yang berguna bagi seluruh komponen di sekolah.

Selain itu, problem mendasar yang sering dikeluhkan ialah upah dari pekerjaan yang dilakoninya di sekolah. Ini memang menjadi persoalan yang pelik dan rumit karena desakan kebutuhan yang semakin bertambah tanpa lagi melihat tingkat-tingkat kebutuhan seperti yang diteorikan oleh Abram Maslow (mulai dari kebutuhan biologis sampai aktualisasi diri). Dalam kenyataannya, para guru di Indonesia masih menyibukkan diri dengan urusan kebutuhan biologis, rasa aman dan harga diri.

Kenyataan-kenyataan seperti ini tentu mempengaruhi bagaimana situasi para guru di Indonesia untuk masa depan. Namun optimisme untuk menjadi guru yang lebih baik di masa mendatang tetap terbuka, hanya tergantung kepada bagaimana mereka mampu untuk menerapkan prinsip: “educarsi per educare” (mendidik diri untuk mendidik) dan “formarsi per formare” (membentuk diri untuk membentuk) pribadi-pribadi yang dididiknya.


E.   Kondisi khusus para guru di Sekolah Katolik

Sekolah-sekolah katolik lahir atas dasar inisiatif dari komunitas kristen atau komunitas gereja (Kongregasi Gereja Katolik untuk urusan Pendidikan, keuskupan, paroki dan asosiasi-asosiasi orang beriman Katolik), telah memiliki sejarah yang panjang dan hampir secara eksklusif terdiri dari para religius (biarawan/biarawati).

Misi penyebaran iman Katolik ke seluruh dunia memberi peluang yang sangat besar kepada aspek pendidikan. Karena itu para misionaris, selain menyebarkan Injil kepada “dunia-dunia baru”, juga mengutus biarawan - biarawati yang akan bekerja sebagai guru di tanah misi (di sekolah dan juga asrama).
Kondisi ini berubah ketika tugas misi diserahkan dari misionaris kepada biarawan-biarawati dalam melanjutkan misi pendidikan di tanah misi. Dengan segala aspek untung - ruginya, akhirnya secara perlahan, mereka mampu mendirikan sekolah-sekolah dan asrama di seluruh Indonesia.

Namun pertumbuhan biarawan - biarawati tidak secepat seperti yang diperkirakan, walaupun dari segi statistiknya cukup signifikan juga. Karena itu Gereja melibatkan kaum awam dalam dunia pendidikan pada umumnya dan dunia sekolah pada khususnya. Sejak keminiman kehadiran misionaris yang bekerja dalam bidang sekolah - pendidikan di Indonesia, gereja berharap agar semakin banyak kaum awam yang terlibat dalam dunia sekolah dan pendidikan.

Keterbatasan pengetahuan dan keahlian dalam banyak hal menyebabkan para guru bekerja seadanya namun dengan dedikasi edukatif yang sangat tinggi. Semboyan guru adalah “pahlawan tanpa tanda jasa” menjadi ciri khas komitmen dan dedikasi tinggi bagi para guru yang hidup pada waktu itu. Namun ketika situasi didesak oleh pelbagai kebutuhan ekonomi, gelar tersebut menjadi tinggal kenangan karena hidup, pekerjaan dan uang menjadi “tiga pilar” yang sangat dituntut dan diagungkan untuk mampu bertahan dan bersaing dalam pergulatan hidup para guru. Karena itu, tuntutan menjadi seorang guru yang profesional menjadi sebuah mimpi yang hampir sulit terealisir untuk kebanyakan guru yang sedang berada atau bertugas di institusi-institusi pendidikan katolik. Keterbatasan dana dari misionaris, yang sebelumnya menjadi andalan utama, tidak lagi menjadi harapan utama. Yayasan-yayasan pendidikan katolik harus mampu mengadakan dan mencari dana agar operasional bisa berjalan dengan baik dan output dari hasil belajar dan mengajar bisa tetap dipertahankan.

Pendidikan awal yang dilewati oleh para guru memang kebanyakan belum memberikan sebuah prestasi yang membanggakan, dan oleh karena itu, masih butuh pendidikan dalam pelayanan, atau yang disebut dengan istilah “aggiornamento”. “Aggiornamento” harus menekankan pada prinsip pengaturan manajemen kelas, manajemen sekolah, manajemen masalah serta manajemen hidup pribadi. Selain itu sangat perlu ditekankan pendampingan continiu untuk setiap guru dalam menyempurnakan profesionalitasnya sebagai guru. Karena itu terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan: mengintegrasikan persiapan dalam sebuah sistem yang mengatur formasi awal dan pengalaman harian dalam hal hidup profesi; mendapatkan sarana-sarana untuk “auto-formasi” yang permanen; memformasi dan mengkualifikasikan secara terus menerus tanggung jawab - tanggung jawab pendidikan awal dan lanjutan para guru; memusatkan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan sekolah sebagai sistem, tanpa melupakan kebutuhan-kebutuhan setiap pribadi, grup dan masing-masing sekolah; mencoba metode-metode, model-model pembinaan baru dalam relasi dengan masalah-masalah pendidikan dan kemasyarakatan yang baru; serta memperdalam penelitian tentang pendidikan lanjutan dan keefektifannya.


F.   Para Guru di Sekolah Katolik dan Pastoral Gereja
Terdapat suatu hubungan yang sangat erat antara tugas yang dipercayakan kepada Sekolah Katolik dan misi keselamatan Gereja.[5] Hubungan itu dirakit oleh pewartaan iman yang sama dengan promosi kemanusiaan dan bertujuan kepada pembentukan dan pendidikan integral manusia.[6] Dalam jenis pendidikan dan pembinaan ini, Gereja berperan dalam membantu setiap Sekolah Katolik agar menyelaraskan seluruh modelnya secara integral dan tidak melakukan pendidikan secara setengah-setengah kepada setiap peserta didik. Dan ini semua dinampakan melalui misi evangelisasi Gereja, mewartakan Injil kepada segenap manusia dan mendidik manusia menjadi manusia yang cerdas secara intelek dan secara spiritual.

Pastoral yang teratur harus memperbaharui diri dan mengfigurasikan diri kembali atas dasar perkembangan jaman dan menyesuaikan diri dengan situasi socio-kultural dan menjawab pelbagai perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Di setiap negara, setiap sekolah sebagai instituti dipromosikan untuk menjamin kepada semua kegiatan pengajaran, dalam kerangka dari sebuah kultur baru dan masuk dalam “sarana-sarana yang berasal dari warisan bersama manusia, dan itu semua diadaptasikan kepada kesempurnaan moral dan kepada pembentukan manusia”; bahwa itu adalah sebuah instituti sipil bahwa gereja dipanggil untuk “memasukan rohnya dan menampakkannya kepada dunia”. Oleh karena itu, tindakan pendidikan para guru katolik dan pelayanan mereka dilihat sebagai sebuah “panggilan yang mengagumkan dan penting”.

Kriteria-kriteria yang mengorientasikan penerjemahan pada tingkat operasional untuk suatu evangelisasi baru dapat diindikasikan secara spessifik dalam empat hal berikut: pemusatan kepada Kristus dalam rencana penyelamatan Allah Bapa untuk seluruh manusia; pelegitimasian otonomi realitas dunia yang dalam diri mereka lebih mendasar yang adalah ciptaan Allah dan membawa dalam dirinya sendiri finalitas akhir hidup mereka dalam Allah; manusia yang diciptakaan, dalam setiap kondisi eksistensinya, sebagai jalan pewartaan dan misi Gereja; stigma, menghormati dan menginternalisasi sekolah dan budaya sebagai lingkungan yang secara khusus diarahkan kepada pengajaran, kepada pembinaan dan kepada pendidikan pribadi manusia.[7]
Selain kriteria-kriteria di atas, butuh juga membuat referensi kepada discernimento (pemantauan dan penyeleksian) yang diartikan sebagai elemen dasar, hati dan gaya berpastoral dalam konteks evangelisasi baru. Dalam menghadapi tantangan globalisasi melalui teknologi informasi, dibutuhkan discernimento comunitario (bersama) sebagai sebuah komunitas atau keluarga sekolah.

Setiap guru di Sekolah Katolik harus mengerti dan paham bahwa pendidikan, secara kekristenan, yang terinspirasikan, dibangun tanpa ragu sebuah prospektif, sebuah perjalanan pembinanaan dan sebuah pendidikan yang berkesinambungan, bertujuan dan punya nilai tidak hanya pada tingkat intelletuale dan cognitivo melainkan juga religioso (hubungan dengan hal yang transenden), morale (kesadaran dan norma-norma etika), etico-politico (kebaikan bersama atau bene comune, pribadi dan komunitas), etico-sessuale dan menghargai setiap kebiasaan-kebiasaan (berada sebagai laki-laki dan perempuan, cinta dan seksualitas), professionale (pekerjaan sebagai tanggung jawab dan panggilan khusus manusia, kepada pelayanan masyarakat dan seluruh ciptaan).

Kepada mereka yang dipanggil untuk berkarya dalam bidang pembinaan dan pendidikan jaman ini, ditemukan sebuah social question (pertanyaan sosial) – pertanyaan edukatif – yang lahir dari warisan rasionalitas teknik-scientifik jaman modern dan berjalan bersama dengan politeisme etis, kehilangan sentralitas pribadi manusia, dan lain sebagainya. Penting di sini untuk mempertanyakan diri, terutama bagi sekolah katolik, bagaimana Sekolah Katolik berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis kehidupan yang sedang terjadi dalam kenyataan (konsumerisme, hedonisme, globalaisasi, perkembangan teknologi informasi, dan lain sebagainya)?


G.  Guru di Sekolah Katolik[8]

1.   Motivasi dan Karakteristik Guru di Sekolah Katolik

Pertanyaan tentang identitas guru di Sekolah Katolik, tidak dapat disamaratakan dengan sekolah-sekolah publik lainnya, namun mengandung suatu misi dan visi yang sama, yaitu bahwa mereka semua berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pertanyaan fundamental ialah “manakah alasan-alasan yang membawa seorang guru memilih untuk mengajar”? Apakah karena saya suka untuk membentuk kepribadian anak-anak (peserta didik)? Apakah karena saya mau mencari kesempatan untuk berkembang secara pribadi menuju kepada kedewasaan berpikir dan hidup? Apakah demi sebuah status dalam kehidupan social kemasyarakatan? Apakah demi sebuah pekerjaan atau demi mempertahankan hidup dan mempertahankan keluarga? Apakah demi panggilan untuk mendidik dan mengubah mentalitas generasi? Atau hanya demi suatu sarana untuk mengatasi pengangguran dalam kehidupan masyarakat?

Pertanyaan yang lain lagi, “manakah motiv-motiv seseorang untuk mengajar di Sekolah Katolik”? Apakah untuk mendidik nilai-nilai kekristenan atau kekatolikan? Apakah kondisi-kondisi pekerjaan yang menjamin kedisiplinan? Apakah untuk kebutuhan pekerjaan? Apakah sebuah panggilan? Apakah karena saya percaya akan program pendidikan Sekolah Katolik? Karena melihat bahwa Sekolah Katolik memiliki sebauh kualitas yang dapat dibanggakan? Atau sebagai batu loncatan untuk nanti bisa mendaftar ke PNS? Atau manakah yang memotivasi kita untuk mengajar di Sekolah Katolik?


2.   Formasi dan Praktek Didaktik

Formasi: awal dan formasi pelayanan
Formasi para guru untuk sekolah katolik, seharusnya diselaraskan dengan kebutuhan jaman, di mana dituntut dua jenis formasi seperti yang telah kita lihat sebelumnya: formasi awal dan formasi pelayanan. Formasi awal mewajibkan setiap calon guru mengikuti seluruh pendidikan keguruan secara baik dan terorganisasi oleh Perguruan Tinggi. Harus disadari bahwa tidak semua mahasiswa belajar di Perguruan Tinggi dipersiapkan untuk mengajar di sekolah. Pendidikan Guru memiliki sebuah kekhususan karena tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan yang dipelajari melalui jurusan yang diambilnya, melainkan juga bagaimana mentransferkan ilmu itu di ruang kelas kepada generasi baru (orang-orang muda). Mungkin seorang mahasiswa yang pintar lebih cocok menjadi seorang peneliti di lembaga swadaya masyarakat daripada menjadi seorang guru di kelas.

Selain formasi awal, formasi pelayanan juga sangat penting untuk memperbaharui pengetahuan para guru yang up to date agar keilmuan yang didapat dalam lima tahun lalu, tidak diajarkan secara sama pada saat ini. Bentuk-bentuk metode dan model belajar serta mengajar perlu mendapat perhatian serius. Inilah proses aggiornamento yang seharusnya diketahui oleh para guru dan diikuti, yang difasilitasi secara pribadi atau oleh lembaga di mana seorang guru itu bekerja.

Praktik Didaktik
Didaktik tidak dapat direduksikan kepada tindakan sederhana bahwa guru mengajar dari tempat duduknya, tetapi bagaimana menguasai sebauh kuantitas dari kegiatan-kegiatan yang berasal dari pilihan metodologis dan valutatif, atau dari aktifitas-aktifitas teknologi.

Terdapat sembilan aspek yang menunjukkan profesionalitas seorang guru di Sekolah Katolik dalam menjawab kebutuhan didaktik di kelas, yang sekaligus bisa menilai bahwa seorang guru termasuk sebagai “guru”.

Yang pertama ialah menyangkut sikap atau tingkah laku secara umum. Terdapat lima karakteristik penting, yang menyatakan bahwa seorang guru memiliki sikap atau tingkah laku sebagai seorang guru di Sekolah Katolik: keinginan akan pembaharuan; kapasitas berdialog; kapasitas untuk bekerja pada saat-saat sulit dan emergency; memiliki otoritas moral atas para murid yang bisa dibanggakan; mengutamakan kebenaran dan rendah hati; permissivisme; memberikan kesaksian tentang nilai-nilai kristiani; pengajaran kooperatif; perhatian yang tinggi kepada pribadi manusia; perehatian khusus serta bantuan kepada siswa-siswi yang tidak berprestasi di kelasnya; memiliki arah, pedoman dan sebagai tutor yang dapat menolong siswa; melalukan penelitian mengenai koerensinya antara kultur yang diajarkan dan iman yang dihidupi dan lain sebagainya.

Aspek yang kedua ialah kerja sama antara sekolah dan orang tua. Siswa, sekolah dan orang tua dilihat sebagai “tri-tunggal” yang berada bersama dalam seluruh proses pendidikan. Pada jaman dulu, sekolah ditugaskan mendidik dan orang tua membebaskan dirinya dari mendidik. Perkembangan anak di rumah tidak dipedulikan oleh sekolah. Keluarga menyerahkan anaknya ke sekolah untuk dididik dan setelah itu keluarga bebas. Yang bertanggung jawab satu-satunya dalam pendidikan anak yaitu sekolah. Pada jaman ini, peran orang tua menjadi sangat vital dalam pendidikan anak. Sekolah, melalui para guru dan wali kelas serta semua organ yang ada di sekolah, harus sama-sama tahu tentang perkembangan siswa. Bila perlu guru harus mengenal juga anak dari cerita-cerita orang tua, sehingga memiliki kesinambungan dalam mendidik. Perkembangan hidup sosial di rumah (tekanan utama) harus dilajutkan di sekolah secara seimbang oleh intelektualnya. Inilah sebuah prinsip kontinuitas dalam proses pendidikan. Kadang guru alergi kepada orangtua atau orangtua alergi kepada guru, dan anak dikorbankan dalam proses formasinya. Guru kelas dan guru lainnya harus melihat bahwa dia atau mereka adalah orangtua kedua bagi si anak selama mereka berada di sekolah.

Penelitian tentang kontinuitas, atau berkesinambungan. Wujud kerja sama tidak hanya antara orangtua dan sekolah (guru-guru dan organ lainnya), tetapi juga kontinuitas antara sekolah dan extrascuola dan, pada seluruh sistem persekolahan, antara sebuah keteraturan dan hal-hal lain yang “tidak teratur”. Sekolah katolik selalu dilihat sebagai bagian, secara organik dari keluarga, komunitas kegerejaan, masyarakat sipil, institusi pendidikan. Karena pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah tetapi juga dalam kontinuitas dengan seluruh komponen yang ada di dalam masyarakat.

Sarana didaktik; adalah menjadi penting dalam proses belajar mengajar di kelas. Sarana didaktik bisa berupa buku paket (guru dan siswa), surat khabar dan terbitan majalah-majalah lain; material audiovisual atau multimedia; laboratorium, perpustakaan dll; material yang dihasilkan oleh guru secara pribadi dan di dalam kelas; dan teks-teks lain yang mendukung kegiatan belajar mengajar.

Metodologi belajar dan mengajar. Ini adalah salah satu kemampuan yang dituntut dari para guru. Terdapat banyak metode dalam kegiatan belajar: pelajaran frontal; pelajaran dialogis; kerja kelompok; aktifitas penelitian; kunjungan-kunjungan kebudayaan; melakukan kontak dengan ahli atau pribadi-pribadi yang punya kemampuan dalam bidang-bidang tertentu; menghubungkan ilmu-ilmu secara interdisiplinaris; dan lain-lain. Manakah dari semua jenis metode ini yang sering kita praktekan di kelas?

Sarana evaluasi belajar. Untuk mengetahui perkembangan siswa dalam belajarnya, diperlukan sarana evaluasi yang cocok. Ada pelbagai jenis atau sarana evaluasi yang dapat membantu kita dalam melihat perkembangan siswa: ujian obyektif; verifikasi lisan; coloqium individual; membuat grafik prestasi; observasi sistematis; kerja kelompok; portfoglio; pertanyaan dan jawaban terbuka; dan lain-lainnya. Kita bisa bertanya diri, mana sarana evaluasi belajar yang sering kita buat?

Soal pemilihan buku-buku paket. Manakah kriteria-kriteria untuk memilih dan menentukan buku-buku paket untuk guru atau siswa? Apakah kita hanya menunggu perintah dari perintah soal penggunaan buku-buku paket, ataukah para guru memiliki kreatifitas untuk membuat bahan ajar sendiri setelah mendapat banyak informasi dari buku-buku yang tersedia, atau malah guru hanya memfokuskan kepada satu-satunya buku yang ada?

Aktifitas ekstrakurikuler, menjadi aspek penting lainnya dalam memperkembangkan potensi-potensi di luar inteligensi yang dimiliki guru. Selama ini, kita tahu bahwa ada kegiatan ekstrakurikuler siswa; tetapi para guru juga seharusnya punya kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung penambahan pengetahuan bahan ajarnya kepada siswa, seperti: kunjungan ke museum atau perpustakaan; kunjungan kepada usaha-usaha atau tempat-tempat penelitian keilmuan; partisipasi dalam kegiatan seminar atau debat atau konferensi; aktifitas olah raga; dan lain-lain yang mungkin memperkaya pengetahuan untuk mengajar.
Penggunaan sarana teknologi sebagai “lapangan belajar”.

H.   Kesimpulan dan Refleksi

Untuk menjadi seorang guru dengan peran sebagai mediator, “guru kerohanian”, partisipatif dalam hidup keguruan Yesus Kristus, adalah hal yang sangat sulit. Kenyataan bahwa masih banyak hal yang harus dipikirkan dalam rangka pengembangan ciri guru yang dibutuhkan oleh sekolah katolik: kondisi realitas sosial, formasi awal dan pelayanan, menyesuaikan diri dengan finalitas Sekolah Katolik, keprofesionalan seorang guru, menyelaraskan dengan politik institusi sekolah dan pendidikan, orientasi, motivasi dan nilai-nilai yang dianut, merupakan aspek-aspek yang sangat menentukan bagaimana peran seorang guru dapat berfungsi dengan baik dan tataran pelaksanaannya.

Sebagai bentuk refleksi dari pendalaman yang kita lihat bersama ini, cobalah untuk memikirkan dan merenungkan beberapa pertanyaan yang ada di bawah ini:

Bagaimana Anda mempraktikan peran Anda sebagai guru di sekolah dan di kelas: sebagai “solista” atau sebagai “mediator”. Manakah indikasi-indikasi yang memperkuat jawaban Anda dan bagaimana Anda mencoba memperbaharuinya?
Bagaimana cara Anda mengaplikasikan visi dan misi Gereja bahwa seorang Guru di Sekolah Katolik harus bertindak sebagai “guru ilmu pengetahuan” dan sebagai “guru kerohanian”?
Manakah karakter-karakter yang dibutuhkan oleh seorang guru untuk dapat menyelaraskan perannya  sebagai seorang “guru biasa” dengan “guru agung” dalam diri Yesus Kristus?
___________________________
[1] PAUS YOHANES PAULUS II, Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), Jakarta, Sekretariat KWI – OBOR, 1991, kan. 747-833.
[2] A. CAVALLI, Gli Insegnanti nella Scuola che Cambia (Para Guru dalam Sekolah yang Sedang Berubah), Bologna, Il Mulino, 2000, hal. 34-97.
[3] G. MALIZIA, Politica Educativa (Politik Pendidikan), Roma, IFREP, 2008, hal. 6-168.
[4] J. DELORS (ed.), Nell’educazione un tesoro. Laporan UNESCO dari Komite Internasional tentang Pendidikan Abad ke 20, Armando, Roma, 1999, hal. 135.
[5] KONSILI VATIKAN II, Gaudium et Spes, no. 4.
[6] J. MARITAIN, Educazione Integrale, Roma, FrancoAngeli, 2000, hal. 8-48.
[7] Diskursus dari PAUS YOHANES PAULUS 2 pada Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu dan Budaya (UNESCO), Paris 2 Juni 198. Artikel ini dapat ditemukan dan didowload dari www.vatican.va/holyfather/JhonPaulI/spechees.
[8] CSSC (PUSAT STUDI SEKOLAH KATOLIK), Il Ruolo degli Insegnanti nella Scuola Cattolica (Peranan para Guru dalam Sekolah Katolik), Brescia, La Scuola, 2006, hal. 5-397.

* Sergius Lay, OFMCap.-
Email: giuslay.zone@gmail.com

*Penulis adalah seorang guru SMA Bintang Laut Telukdalam, Nias Selatan dan pemerhati pendidikan, lulusan program S-2 Pendidikan pada Fakultas Ilmu-Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma, Italy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RETREAT TAHUNAN KAPAUSIN KUSTODI GENERAL SIBOLGA 2023

  Para saudara dina dari Ordo Kapusin Kustodi General Sibolga, pada tanggal 6 s/d 10 Noveember 2023, mengadakan retreat tahunan yang dilaksa...